Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Jauh hari sebelum anggota DPR dan pemerintah ramai membahas Rancangan KUHP (RKUHP) yang menyangkut LGBT, tepatnya pada 1 April 2001, empat sejoli pasangan sejenis --tiga pasangan laki-laki, satu perempuan-- berdiri dengan jantung berdebar keras di Balai Kota Amsterdam. Hari itu, hanya beberapa detik lewat tengah malam, negeri Belanda "menyalib" Swedia dan Denmark. Dua negara Skandinavia ini telah melahirkan peraturan yang membolehkan pasangan gay dan lesbian mendaftarkan diri sebagai "mitra" yang diakui negara dan berhak mengadopsi anak, tapi Belanda lebih dari itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belanda yang telah bertahun-tahun menghadapi aneka tekanan dari kelompok-kelompok homoseksual telah melegalkan aturan yang memperkenankan pasangan homoseksual menikah di catatan sipil. Pasal 30 KUHP Belanda yang baru ini berbunyi huwelijk tussen personen van gelijk geslacht atau "pernikahan dapat dilakukan oleh dua orang dengan orientasi seks yang berbeda atau sama." Jelas sekali, bila dibandingkan dengan Pasal 292 RKUHP Indonesia yang menyatakan bahwa "orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama jenis—yang diduga belum dewasa—bakal diancam pidana penjara paling lama lima tahun," perubahan di Negara Kincir Angin tersebut terbilang "revolusioner."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ada dua alasan untuk bergembira sekarang," kata Walikota Amsterdam Job Cohen yang mewakili pemerintah sekaligus menjadi sohibul bait dalam acara itu di hadapan empat pasangan itu. "Kalian merayakan perkawinan, dan juga merayakan hak untuk menikah," katanya. Sejak itu, sepanjang 1 April 2001 sampai 1 Januari 2011, menurut situs web Radio Netherlands, 20 persen dari 55.000 homoseksual yang berdomisili di Belanda telah melangsungkan pernikahan.
Inilah buah perjalanan panjang yang dimulai dari suatu amandemen konstitusi yang menegaskan larangan diskriminasi berdasarkan alasan apa pun pada 1983, pengesahan undang-undang kemitraan terdaftar yang membolehkan pasangan homo dan heteroseksual hidup layaknya suami-istri tanpa ikatan pernikahan pada 1998, dan pemungutan suara di Majelis Rendah Belanda yang akhirnya dimenangi kelompok pro-perkawinan sejenis dengan 109 suara setuju dan 33 menentang pada 21 Desember 2000. Dan apa yang terjadi kemudian di antara masyarakat internasional benar-benar mencengangkan: dalam waktu 17 tahun tak kurang dari 26 negara --sebagian besar negara Eropa-- mengikuti langkah Belanda melegalkan pernikahan sesama jenis.
Sekedar perbandingan, di kawasan Asia, perkawinan sejenis tampaknya memang masih jauh panggang dari api. Kendati begitu, dalam praktiknya beberapa negara seperti Hongkong, Thailand dan Singapura mengakui hubungan sesama jenis sebatas urusan pengakuan imigrasi. Pengakuan yang meliputi praktek imigrasi negara-negara yang membolehkan pasangan sesama jenis berkebangsaan asing yang bekerja di kedutaan besar, universitas, atau bisnis, untuk mendapatkan hak tinggal berdasarkan hubungan sesama jenis itu.
Peserta bersorak saat mengikuti parade Somosgay di Asuncion, Paraguay, 1 Juli 2017. Para penyuka sesama jenis itu menuntut kesetaraan gender untuk para kaum LGBT. AP Photo/Jorge Saenz
Di Belanda sendiri, meski menurut sebuah penelitian 90 persen masyarakat dapat menerima keberadaan, status dan hak-hak yang sekarang telah dinikmati kelompok LGBT ini, alam pikiran orang banyak tak ikut berubah secara "revolusioner." Sebuah studi yang dilakukan para ilmuwan Amerika dan Belanda menyimpulkan bahwa anak muda homoseksual masih menjadi korban stigmatisasi tak mengenakkan dari masyarakat, lingkungan sekolah dan keluarga. Menghadapi persekusi seperti ini 2,2 persen homoseksual pernah mencoba melakukan bunuh diri, dan 10,3 persen pernah berniat bunuh diri.
Hukum juga melangkah maju dengan penuh kehati-hatian. Sebagian pasangan homoseksual di Belanda, menurut Jan Latten dari Netherlands Statistics, memilih tidak ikut serta berduyun-duyun mendatangi catatan sipil dan menikah. Bila dibandingkan dengan pasangan heteroseksual, mereka tak begitu mudah mengadopsi anak.
Kendati pasangan gay boleh mengangkat anak, tapi hukum adopsi di Belanda yang ketat rupanya tidak begitu saja memberikan hak adopsi kepada pasangan sejenis. Bahkan, seorang perempuan yang menikahi perempuan lain yang mempunyai anak biologis tidak serta-merta akan menyandang status "ibu angkat," karena untuk menjadi seorang ibu angkat yang sesungguhnya ia harus mendapatkan hak adopsi atas anak non-biologisnya.
IDRUS F. SHAHAB