CHICHA
BISA dibayangkan bahwa film yang dibintangi oleh penyanyi
Chicha Koeswojo ini dihiasi pula dengan sejunlall nyanyian.
Tapi nyanyian-nyanyian merdu dari penyanyi kecil yang terkenal
itu diselipkan dengan baik dalam jalinan cerita yang terpadu
rapi. Di sini nyanyian tidak dimasukkan dengan paksa, bahkan
sebaliknya, nyanyian-nyanyian itu menduduki kedudukan pengucapan
liris yang tak terpisahkan dari jalan cerita.
Film untuk segala umur ini menarik bukan cuma untuk jadi
tontonan anak-anak, tapi juga buat orang-orang yang pernah jadi
kanak-kanak. Karya pertama sutradara muda Edward Pesta Sirait
ini (skenario: Asrul Sani) sebuah film yang segar. Permainan
Chicha hidup dan penuh nuansa. Tapi juga Irwan Sumadi mempunyai
andil yang besar. Yang barangkali juga menarik dicatat setelah
menonton film ini adalah kenyataan bahwa Chicha tidak
dieksploitir di sini. Chicha ternyata bukan cuma penyanyi, tapi
juga aktris yang berbakat.
THE CASSANDRA CROSSING
Ini adalah film yang sejenis dengan tontonan macam The Towering
Inferno atau Poseidon Adventure. Selain pameran teknik dan
kehebatan yang memang mendebarkan, kehebatan kerja kamera juga
boleh dipujikan. Sudah tentu para pemain yang masyhur-masyhur
itu juga memperlihatkan kebolehan yang istimewa.
Yang barangkali patut untuk disayangkan adalah bahan konflik
pokok yang menjadi penggerak utama jalannya cerita. Kuman-kuman
dari Amerika Serikat yang dibiakkan dalam laboratorium itu,
setelah menghebohkan, ternyata bukan kuman yang berbahaya.
Berkembang biak lewat udara, dalam waktu singkat juga bisa punah
sendiri oleh zat asam. Dan bahwa penelitian baru dilakukan
dengan saksama setelah usaha dua orang teroris mencoba
meledakkan kantor organisasi kesehatan internasional itu,
rasanya suatu hal yang cuma mempersederhana persoalan.
Yang juga dipersederhana adalah pilihan atas wilayah Polandia
untuk karantina para penumpang kereta yang berjumlah sekitar
1.000 orang. Dengan pilihan itu maka kereta yang berat itu harus
melalui Cassandra Crossing, yakni jembatan yang tidak lagi
dipergunakan sejak tahun 1948. Pihak Amerika yakin bahwa
jembatan itu tetap utuh dan disebut-sebut komputer sebagai
sumber informasi. Di akhir film, jembatan itu runtuh bersama
sebagian dari rangkaian kereta yang sedang melewatinya.
Pembunuhan massal oleh Amerika atau komputer salah informasi?
Pertanyaan itu nampaknya kurang dipersoalkan oleh Ceorge
Cosmatos yang menulis dan menyutradarai film ini. Karena itulah
maka film ini cuma menarik sebagai hasil pekerjaan tangan.
DETEKTIF DANG DUT
Ini pasti film guyon (komedi), apalagi di sana ada nama S. Bagyo
yang pelawak itu. Rupanya si Sutradara (Pitrajaya Burnama)
inginagar semua yang digunakan (pemain dan tehnik film) bisa
ikut melawak. Tapi sayang niat yang baik tidak ditunjang dengan
kemampuan, akibatnya lelucon yang kita dapat hanya setumpuk
kekonyolan saja.
Film ini mengajarkan kita bahwa kekonyolan saja belumlah cukup
untuk bahan lelucon. Patut disayangkan bahwa sutradara bekerja
setengah setengah, padahal film ini punya potensi untuk
menyindir para detektif/intel, seperti film Return of the Pink
Panther.
ANAK EMAS
Ceritanya bagus. Tapi sutradara Lilik Sudiyo kurang teliti.
Lilik ternyata masih ulet berusaha memeras air mata penonton.
Dalam film ini Adi Bing Slamet bermain cukup meyakinkan,
fotografi juga lumayan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini