Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

<font color=#CC0000>Para Badut Mengguncang Jakarta</font>

Naskah drama tragedi Hamlet karya William Shakespeare dijungkirbalikkan menjadi tontonan yang kocak dan segar.

4 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lupakan iambic pentameter. Itu adalah ritme dan nada yang biasa kita dengar saat aktor membaca naskah karya William Shakespeare di atas panggung. Lupakan puisi dan kompleksitas karakter serta cerita drama Hamlet yang dikategorikan sebagai salah satu drama tragedi Shakespeare yang masih saja diperdebatkan, di luar Macbeth dan King Lear. Panggung Teater Salihara diobrak abrik. Tragedi disulap menjadi komedi. Di tangan sutradara dan aktor Bollywood, Rajat Kapoor, drama Hamlet tak lagi menjadi kisah intrik anggota istana, tapi sebuah panggung penuh cericit para badut dalam bahasa Inggris gibberish dengan aksen Italia dan Prancis. Bahasa gibberish yang seolah olah tak ada artinya itu ternyata dengan mudah kita pahami,bukan hanya karena kita sudah mengenal plot dan ka­rakter cerita ini, melainkan para aktor sungguh pandai menyelipkan bahasa Inggris (dengan aksen Italia).

Setelah melemparkan naskah drama yang kompleks itu, kita cukup mengingat tulang sumsum cerita. Keenam badut, Soso, Bouzo, Fifi, Fido, Nemo, dan Popo, dengan cerewet dan berisik mencoba membagi tugas untuk mementaskan Hamlet, karena itu adalah, ”Tragedi!” kata Popo sembari menirukan bahasa tubuh anggota mafia Italia dalam film The Godfather, dengan nada mencemooh.

Maka badut Soso (Atul Kumar) tampil sebagai Hamlet yang ke mana mana menggotong koper tua. Dia protes kepada Gertrude (Pooja Swaroop), sang ibu, yang terlalu lekas mengawini Paman Claudius saat ayah Hamlet baru saja meninggal. Penonton tak perlu lagi diperkenalkan pada plot ini. Kita tahu Claudius adalah pembunuh sang Raja. Dan kita tahu Hamlet, pangeran yang murung itu, mengetahui intrik tersebut dari Hantu sang Raja yang berkelebat setiap kali Hamlet tengah bersolilokui. Tapi bagaima­na cara Rajat Kapoor dan keenam aktornya merombak panggung Salihara yang serius menjadi komedi yang kontekstual?

Saat Hamlet bertemu dengan Hantu sang Raja, badut Fido mengeluarkan keahlian pantomim dengan bahasa tubuh yang lentur sekaligus kocak. Proses ini menjadi rangkaian acara tebak pantomim yang memecah gedung, karena Hamlet terus menerus menggerutu de­ngan lucu saat menafsirkan gerak tubuh sang Hantu. Setelah Hamlet paham, ia merancang strategi kesumat. Dan drama mulai memanas.

Keenam badut itu bergonta ganti menjadi karakter drama Hamlet, tapi sekaligus sesekali menjadi narator. Pagar antara penonton dan pemain runtuh seketika, karena setiap narator ada saja yang mengajak penonton berbincang. Entah Gertrude yang dengan kenes meng­ajak salah satu penonton lelaki berkencan; entah Hamlet yang mengajak penonton berdiskusi bahwa ”to be or not to be” adalah sebuah pertanyaan kita sehari hari, bahkan di dunia nyata yang modern ini. ”Apakah kita mau bangun pagi atau tidak, apakah kita mau kerja atau tidak… apa dilema Anda?” tanya Hamlet menodong seorang penonton perempuan.

Acara interaktif ini semakin riuh rendah karena para aktor rajin memasukkan referensi kebudayaan pop di berbagai dialog, misalnya tema Lion King yang disebut sebut oleh badut Fido sebagai tiruan kisah Hamlet. Sesekali dia juga memperlihatkan gaya moonwalk Michael Jackson, sedangkan Hamlet ngo­mel kenapa mereka harus mementaskan tragedi di Jakarta yang ”setiap hari sudah banyak tragedi”. Dan penonton pun menggelegar, menertawakan kepedihan.

Hamlet yang peragu dan labil di tubuh Atul Kumar yang tahun lalu diganjar sebagai aktor terbaik dalam Penghargaan Teater Mahindra di India—menjadi Hamlet yang pandai mengejek dirinya sendiri. Dia seolah geli karena ditugasi menjadi sosok yang selalu mengalami depresi berkepanjang­an. Kumar menunjukkannya dengan sengaja memperlakukan teks Shakespeare seperti tanah liat. Dia permainkan, dia tafsirkan dengan main main, terkadang persis sesuai dengan naskah, terkadang dia sengaja ”me­ngacaukan”. Misalnya bentakan Hamlet kepada Ophelia yang terkenal, ”Get thee to a nunnery: why wouldst thou be a breeder of sinners,” adalah kemarahan Hamlet yang tak tertahankan. Dalam naskah asli, kemarahan ini, salah satunya, disebabkan Hamlet merasa dikhia­nati dan dijebak oleh Ophelia yang bersekongkol dengan Polonius (ayah Ophelia) hingga dia menganggap Ophelia telah ”melacurkan” diri. Kata ”nunnery” adalah implikasi untuk sebuah rumah pelacuran di zaman itu. Tapi Hamlet versi sutradara Kapoor sengaja mengartikan ”nunnery” dengan makna ganda. Maka Hamlet, sang badut, mengusir Ophelia berkali kali untuk enyah ke tempat pelacuran. Atau, jika tidak, dia boleh juga pergi ke biara. Hamlet tak lagi peduli dan tak lagi mencintainya.

Pada satu saat, satu titik, Rajat Kapoor membiarkan drama ini menjadi sunyi. Ketika Ophelia akhirnya hilang ingatan, tak ada lagi yang jenaka di sana. Kita ikut tercekam dan merasakan kepedihan Hamlet. Di balik balut­an pupur putih itu, kita tetap tahu, ada kegetiran di dunia Hamlet yang sesungguhnya.

Namun badut adalah ba­dut. Setelah adegan yang me­nyayat, toh mereka mengguncangnya lagi dengan dialog cekatan dan komentar komentar sosial yang kocak.

Kehebatan dialog ini, menurut sutradara Rajat Kapoor, karena mereka mengadakan lokakarya selama tiga bulan. ”Mereka memilih tokoh badut masing-masing dan mengembangkan sesuai dengan karakternya,” kata Kapoor kepada Tempo. Dialog yang mereka improvisasikan itu dikembangkan bersama sesuai dengan inti naskah Shakespeare dan barulah skenario akhir ditulis. ”Tentu saja kami sesuaikan dengan setiap kota yang kami kunjungi,” kata Kapoor.

Kelompok teater ini sudah mementaskan naskah Hamlet di 70 kota di dunia dan mereka selalu mampu menyesuaikan dialog dengan suasana kota itu. Kosakata Salihara dan Jakarta berlompatan dalam dialog pembukaan mereka karena para badut mencoba ­memutuskan bagaimana mementaskan komedi ”di hadapan penonton yang serius seperti penonton Salihara”. Penonton geger dan tergelak. Dan Salihara berhasil menjadi tempat suaka bagi warga Jakarta.

Leila S. Chudori, Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus