Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kesaksian Teater Kubur

Teater kubur mementaskan On/Off. Total meski kini penuh dialog verbal.

4 Oktober 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melihat negeri ini tak ubahnya melihat sebuah rumah dengan pintu dan jendela tercerabut dari engselnya. Segalanya terbuka, dan apa pun dapat keluar-masuk dengan bebasnya. Siapa pun dapat masuk dengan gagasan, pemikiran, dan nilai-nilai.

Kesaksian inilah yang hendak ditam­pilkan Teater Kubur lewat pertunjukan On-Off (Rumah Bolong) sebagai salah satu penyaji dalam Festival Salihara Ketiga, pada 25 dan 26 September 2010, di Galeri Salihara, Jakarta Selatan. Karena tuntutan artistik, mereka menyulap ruang pameran menjadi panggung pertunjukan berbentuk arena. Disutradarai Dindon W.S., selama kurang lebih 90 menit, 17 aktor Teater Kubur menyita perhatian penonton yang memadati ruang tersebut.

Adegan dibuka dengan potret sebuah rumah yang dilanda konflik karena perbedaan kepentingan. Seorang nenek yang menceracau dengan petuah tentang moral, bibi dan ibu yang penuh mimpi tentang perubahan, Salmin dan Salmon, bapak yang dalam ketidakberdayaannya tidak berhenti khawatir tentang segala sesuatu. Lalu muncul Jon, anak yang memasuki rumah dengan begitu banyak tawaran perubahan di berbagai bidang: tokoh dengan berbagai atribut masuk dari segala penjuru, memasuki rumah mengiming-iming pembaruan.

Barangkali memang kompleksitas inilah yang hendak disampaikan Teater Kubur sebagai kesaksian. Berbagai persoalan kemudian menyeruak ke atas panggung, muncul dan hilang. Masalah penjarahan hutan oleh oknum pejabat, terorisme, tenaga kerja wanita, untuk menyebut beberapa.

Apa yang terutama memaku penonton untuk bertahan adalah kenyataan bahwa hampir semua aktornya bermain secara intens, total dan matang. Kemunculan tokoh Wong Edan yang dimainkan oleh Usamah, misalnya, yang begitu lentur dan jenaka, sangat menyegarkan. Ditambah oleh permainan grouping yang nyata-nyata membutuhkan proses latihan yang panjang serta harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan saksama.

Permainan bambu pada saat menjelang akhir pertunjukan adalah salah satu hasil eksplorasi yang menarik, ketika tokoh Salmon (­dimainkan Andi Bersama), dalam perjuangannya untuk bertahan di rumahnya, bermonolog sambil terus bergerak, berupaya memanjat bambu yang terus berubah bentuk, berpindah, layaknya upaya yang terus-menerus tak menemukan jalannya.

Pesona tersebut semakin kuat dengan penataan musik yang sugestif dari Fahmi Alatas dan Syahrial Tando, yang pada beberapa bagian memanfaatkan eksotika dari beberapa khazanah etnik Nusantara secara tepat guna.

Teater Kubur didirikan pada 13 Juli 1983 oleh Dindon dan teman-temannya. Setelah tiga kali menang dalam Festival Teater Jakarta, Teater Kubur dita­balkan sebaik grup senior. Sejak itu mereka dikenal sebagai kelompok teater dengan karya-karya yang eksperi mental dan memberi warna yang berbeda dalam mendekati pertunjukan. Karya tersebut antara lain Tombol 13, Sandiwara Dol, Donga-Dongo, Jas dalam Toilet, dan Sirkus Anjing.

Membandingkan On-Off (Rumah Bolong) dengan karya-karya terdahulu niscaya akan ditemukan spirit yang sama, baik pada kesiapan dan totalitas pemain maupun penyutradaraan. Sebelumnya, Teater Kubur ditengarai sebagai kelompok yang menyusun pertunjukannya melulu dengan peristiwa, tanpa alur yang runtut dan jelas. Namun kali ini justru terlalu banyak dialog yang terkesan cerewet dan banal. Fokus pertunjukan menjadi kabur, karena terlalu sarat persoalan.

Percakapan antara Wong Edan dan Nenek (dimainkan oleh Srikuwati) terasa berpanjang-panjang, meski dimainkan secara baik. Di samping itu, penggunaan kalimat yang terkadang puitik, dan di saat lain terlalu biasa, akhirnya mengganggu pertunjukan yang metaforik ini.

Pada 2008, On-Off (Rumah Bolong) dipentaskan di Setagaya Public Theatre, Tokyo, Jepang. Konon, untuk kepentingan tersebut mereka harus terlebih dulu mengirimkan naskah tertulis yang mengangkat sejumlah isu. Boleh jadi, hal ini yang membuat Dindon menjadi gamang dan kesaksian ini pada beberapa bagian banyak yang verbal.

Ags. Arya Dipayana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus