Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

<font color=#FF9900>Menuliskan Kembali</font> yang Dihapuskan

Pameran seni rupa berangkat dari penelitian tentang pembantaian etnis Cina di Blitar dan masa kecil sang perupa. Lebih asyik mendokumentasikan daripada mengolah masalah nasib dan kodrat.

16 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Orang-orang harus dibangunkan.
Kesaksian harus diberikan
agar kehidupan bisa terjaga

(Rendra)

SEBUAH lukisan hitam-putih segera menyambut begitu kita memasuki ruang utama Galeri Nasional Indonesia, awal November ini. Bidang gambar sekitar 2 x 3,5 meter dibagi dua, tak simetris: sebelah kiri, sepasang pengantin; sebelah kanan, kerumunan orang berdiri dan jongkok, di depan mereka sejumlah tengkorak. Lukisan ini mengesankan sebuah foto—dan akhirnya pengunjung akan tahu, lukisan ini merupakan pembesaran dari foto. Di ruang utama itu dipamerkan juga sejumlah foto, beberapa dibesarkan dengan media kanvas dan cat minyak atau akrilik.

Inilah pameran yang jarang. F.X. Harsono menyuguhkan karya beragam media (lukisan, foto, film video, instalasi) berangkat dari sebuah penelitian. Temuan dari penelitian itu ia wujudkan dalam berbagai media tadi.

Pada mulanya adalah sealbum foto hasil jepretan bapak Harsono di rumahnya di Blitar, Jawa Timur. Foto-foto itu, seperti bisa dilihat dalam pameran ini, merupakan dokumentasi penggalian jenazah. Bukan satu-dua jenazah, melainkan banyak (191 konon), dan itu adalah jenazah korban pembantaian etnis Cina di Blitar pada 1947 dan 1948. Penggalian itu, bisa dilihat pada catatan di foto, dilakukan pada 1951.

Keingintahuan Harsono membawanya mencari tahu siapa tengkorak-tengkorak itu dan mengapa terjadi pembantaian. Ini baru dilakukannya sekian tahun kemudian sejak ia melihat album itu, dan sayang sekali sang bapak sudah tiada. Tapi memang, bapak itu, seorang fotografer, menolak menjawab setiap kali ditanya soal foto-foto tersebut—termasuk ketika seorang wartawan hendak mewawancarainya.

Terungkaplah kemudian bahwa itu pembantaian pada awal Indonesia merdeka, ketika keadaan sehari-hari belum normal, apalagi pada tahun tersebut ada pendaratan tentara Sekutu yang diboncengi Belanda. Tapi kenapa pembantaian etnis Tionghoa? Buku Tionghoa dalam Pusaran Politik, Mengungkap Fakta Sejarah Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia karya Benny G. Setiono—yang juga dijadikan rujukan oleh Harsono—punya jawaban.

Menurut buku itu, pembantaian kala itu, terutama di kota-kota di Jawa Timur, terjadi setelah sejumlah tahanan di Penjara Kalisosok, Surabaya, dilepaskan dan dipersenjatai dan direkrut ke dalam pasukan resmi. Mereka dibiarkan berbuat apa saja, antara lain untuk membantu pengosongan kota yang akan dibumihanguskan menjelang pendaratan Sekutu. Bisa jadi para etnis Tionghoa yang di kota tak hendak mengungsi, maka terjadilah pembantaian itu. Tentu, ini hanya sebuah dalih; banyak hal yang bisa dibayangkan yang menjadi pemicu pembantaian itu: dari kondisi kejiwaan para tahanan, tiadanya logistik yang diberikan oleh induk pasukan, sampai niat mengail di air keruh.

Hanya, di ruang pameran hal-hal itu tak termasuk yang diolah menjadi karya seni rupa. Harsono lebih menampilkan ”dokumentasi” yang diperbesar, diperjelas. Misalnya, foto-foto penggalian korban pembantaian itu. Memang, ada satu instalasi berupa jajaran kotak transparan (serat kaca? Kaca?), dengan cahaya dari lampu merah bak lampu di kamar gelap tempat mencetak foto. Judul karya instalasi ini memang itu, Darkroom. Tapi isi kotak, lagi-lagi, adalah dokumentasi foto-foto itu.

Memasuki ruang samping, kita melihat sejumlah foto, dan film video. Yang di sini lebih menggambarkan Harsono sendiri—foto dokumentasi masa kecil, gedung sekolah, foto-foto Harsono bersama narasumber, foto keluarga Tionghoa, kliping iklan pernikahan, foto atlet Tionghoa, foto Bung Karno bersalaman dengan seseorang (mestinya orang Tionghoa). Di ujung ruang samping ini, sebuah karya instalasi. Di tengah, sebuah kursi rotan tua, meja dengan sebatang kuas dan sebotol tinta Cina. Di lantai, penuh ditempeli kertas dalam ukuran dan tulisan yang sama: kertas itu kira-kira dua kali folio, bertuliskan huruf Cina. Judul instalasi ini: Memori tentang Nama/Yang Dihapus Kutulis Ulang. Huruf Cina itu ternyata adalah nama Cina Harsono, Oh Hong Boen. Tempelan kertas itu memang mengesankan kerja berulang-ulang, kerja menulis nama itu tadi: Oh Hong Boen.

Sampai di sini barulah tergambarkan tema keseluruhan pameran ini, The Erased Time, waktu yang terhapus atau dihapuskan. Ini menunjuk pada Memori tentang Nama. Harsono berusaha menuliskan kembali nama yang dihapus itu: Oh Hong Boen. Dan ini bukan sekadar nama. Ia mempertanyakan identitasnya sebagai manusia: mengapa harus Cina, mengapa harus bukan Cina. Adakah darah seseorang ditentukan oleh etnisnya?

Ini masalah klasik, ketika seseorang berbeda—dalam hal apa saja, dari etnis sampai sekadar sikap politik, dari kelakuan sampai selera—dengan lingkungannya, apa yang harus diperbuat? Bagaimana keberadaan yang niscaya itu bisa berdamai dengan lingkungan yang ternyata berbeda? Setidaknya dua masalah muncul di sini: jauh di dalam diri, dan yang bersifat pergaulan, yang sosial. Ringan terasa bilamana masalah ini tak melibatkan rasa dengan segala bentuknya: cinta, putus asa, dan sebagainya. Teringat kisah Ular Putih, percintaan antara jin dan manusia. Mana yang harus dikorbankan: cinta itu, atau yang asyik-masyuk ini menentang kelaziman lingkungan dengan segala risiko demi asmara sepenuhnya?

Keluar dari ruang pameran saya tak membawa masalah seperti ketika keluar dari Teater Besar Taman Ismail Marzuki, ketika lakon Ular Putih yang disajikan dengan sangat bagus oleh Teater Koma, sekian tahun lalu, usai. Mungkin, karya-karya seni rupa yang disajikan dalam pameran ini ”masih” terasa sebagai sebuah dokumentasi dan belum karya seni. Saya hanya sayup-sayup merasakan adanya konflik batin, pertanyaan tentang nasib dan kodrat ketionghoaan dalam pameran ini. Itu semua lebih saya tangkap melalui pemahaman.

Pembantaian itu, kodrat dilahirkan sebagai etnis Cina, tentulah mudah dimengerti dari pembesaran foto dokumentasi dengan sangat apik, dan berbagai dokumentasi masa kecil. Namun masalah itu tak menyuruk ke hati, lebih ke kepala. Mungkin kita masih diminta menunggu karya Harsono yang total, yang menyuguhkan pikir dan rasa mengenai masalah eksistensi diri itu. Tapi setidaknya pameran ini mengingatkan kita kembali pada masalah-masalah yang dihadapi dan dialami oleh etnis Cina (dan sejenisnya). Seperti sepotong sajak Rendra itu—Orang-orang harus dibangunkan./ Kesaksian harus diberikan/ agar kehidupan bisa terjaga.

Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus