Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MIRIP dengan umumnya kecenderungan seni rupa belakangan ini, pameran Club Obsolom Yudi Yudoyoko tampak seperti main-main. Tapi agaknya ada perbedaan antara pameran main-main yang sudah jamak belakangan ini dan pokok yang ditampilkan Yudi di Vivi Yip Art Room, Jakarta, hingga 17 November. Istilah ”obsolom” merujuk pada ruang privat, tempat orang sungguh bebas untuk menjadi dirinya sendiri, lepas dari semua norma sosial.
Yudi membuat banyak gambar, dengan spidol warna-warni di atas kertas, dicetak berulang di atas kanvas, serta gambar-gambar yang disusun untuk ”seni” membungkus dinding. Gambar-gambar Yudi tampak membuat dekonstruksi pesan. Melakukan dekonstruksi merupakan upaya merobohkan pusat atau tertib pemaknaan yang selama ini dianggap sebagai satu-satunya sumber makna. Umpamakan saja kita tinggal menimba air dari sumur yang sudah ada.
Sebuah gambar tentunya dibuat untuk menyampaikan suatu pesan. Tapi upaya menjejerkan atau menautkan sebuah gambar dengan konteks yang lain dapat melahirkan dekonstruksi pesan, mengubahnya menjadi sama sekali berbeda. Misalkan foto almarhum mantan presiden Soeharto yang dipasang di rumahnya adalah sebuah potret. Tapi, jika citra itu digandakan lalu dikenakan sebagai ”wajah kedua” oleh mahasiswa yang berdemo di pengadilan, lahirlah pesan politik.
Strategi estetik Yudi adalah menggandengkan citra dari dua atau lebih gambar, bahkan bisa seakan tanpa batas, seperti pada ”seni” wallpaper-nya. Cara lain adalah menumpangkan gambar di antara berbagai teks, atau sebaliknya ”menerangkan” gambar dengan tulisan yang malah memprovokasinya. Berbagai macam citra gambar terkesan begitu jamak dan menggambarkan aneka keganjilan, disusun semarak menjadi lembaran pembungkus dinding. Tubuh perempuan dengan berbagai dandanan, robot, kartun binatang, berbagai simbol budaya pop, citra phallus dan vagina, diaduk dengan bermacam tulisan. Kita paham sebagian artinya, sisanya tak terbaca, tapi terdorong untuk menikmatinya. Ya, seakan-akan semua itu muncrat begitu saja, dari dunia ”obsolom” kita sendiri. Itulah misalnya Loveland (pembungkus dinding, ukuran tak terbatas, 2009).
Kurator pameran ini, Rifky Effendi, menyebut gambar-gambar Yudi lebih-kurang sebagai ”karnivalesk”. Yakni, membuat pertautan pelbagai elemen, merayakan perbedaan, menghapuskan tingkat-tingkat dengan cara yang meriah, dan kadang kala kurang ajar. Pendek kata, tidak ”normatif” atau ”paradigmatis” sebagai gambar.
Karma dan La Concha Sagrada (berukuran sama, 100 x 80 sentimeter, 2009) adalah gambar-gambar yang dicetak di atas kanvas, hitam-putih. Berbagai gambar, dari yang terkesan cabul sampai pseudo-religius, disusun mirip ”leksikon” gambar. Gods and Lovers (300 x 280 sentimeter, 2009), foto dan gambar yang dicetak digital di atas kanvas, adalah sisa lembaran dan pola potongan untuk tempat duduk yang berisi gambar seperti motif rajah. Gambar adalah serangkaian motif yang menyembunyikan pesan, sekaligus mempersembahkan semacam aura kepadanya.
Puluhan gambar (semuanya dari 2009) yang dikerjakan dengan spidol berwarna di atas kertas—tak jarang mengingatkan kita akan tata letak sampul majalah underground—mengesahkan kekurangajaran yang ”karnivalesk” itu. Yang terasa pada gambar-gambar itu, misalnya, perempuan seksi dengan kepala tikus Mickey hitam, atau prajurit Romawi mengusung salib dengan berbagai logo merek terkenal, adalah gairahnya untuk ”membunyikan” lagi berbagai hal yang tersembunyi dari yang ragawi. Bahwa tubuh adalah bahasa karena tubuh pada hakikatnya adalah ”flexion”, untuk mengutip seorang filsuf. Dan dari sanalah agaknya berbagai ”reflection” bisa muncul. Simaklah, misalnya, gambar tubuh yang seakan tertindih oleh huruf-huruf kapital: ”BIG BODY NO HEAD BIG HEAD NO BRAIN BIG BRAIN NO SENSE”.
Agaknya, yang ”karnivalesk” dan sekaligus reflektif itu yang memberikan bobot khusus pada kekaryaan Yudi Yudoyoko dalam pameran ini. Serapan dari lingkungan seni dan masyarakat yang baru, Amerika Latin?
Yudi Yudoyoko belajar seni rupa di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (lulus 1989). Sejak 2003, ia memang pindah dan bergiat di dua negara, Argentina dan Uruguay, dan merasa betah di sana. Ini pamerannya yang pertama sejak hijrahnya.
Hendro Wiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo