Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Ahmad Tohari</font><br />Roh Novel Sudah Terwakili

7 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari adalah karya penting dalam kesusastraan Indonesia. Berthold Damshauser, peneliti sastra Jerman, menyatakan lebih dari 50 skripsi dan tesis di Leiden dan Lund University, Swedia, lahir dari novel itu. Bahkan, pada 1990-an, novel itu menjadi bacaan wajib mahasiswa jurusan sastra Asia Timur di sana.

Ronggeng Dukuh Paruk: Catatan buat Emak pertama kali diterbitkan Gramedia pada 1982, yang disusul Lintang Kemukus Dini Hari (1985) dan Jentera Bianglala (1986). Pada 2003, Gramedia menerbitkan kembali ketiga bagian itu menjadi satu buku.

Ahmad Tohari lahir di Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, pada 13 Juni 1948. Dia sempat kuliah di Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta, dan Fakultas Ekonomi serta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Soedirman, Purwokerto, tapi tak satu pun diselesaikannya. Selain menulis novel tentang ronggeng, dia melahirkan novel lain, seperti Di Kaki Bukit Cibalak, Senyum Karyamin, Bekisar Merah, Lingkar Tanah Lingkar Air, dan Orang-orang Proyek.

Meski sempat berdiam di Jakarta memimpin majalah Amanah, Tohari kini lebih memilih menikmati kampung halamannya. Ia kini memimpin Pondok Pesantren Al-Falah di Tinggarjaya sembari memimpin majalah Ancas, majalah bulanan berbahasa Banyumas. Berikut ini wawancara Aris Andrianto dari Tempo tentang novel Tohari yang diangkat ke film.

Sejak kapan Indika Pictures dan Salto Films meminta izin mengadaptasi novel Anda menjadi film?

Pada 2001, Indika Pictures datang dan membicarakan pembuatan film ini. Tapi saat itu pembicaraan buntu. Dua tahun berikutnya, produser Salto Films datang dan membicarakan rencana mengangkat novel menjadi film.

Apa Anda langsung setuju?

Soal pembuatan film, saya sepakat saja. Pembicaraan awal hanya soal tawar-menawar harga. Setelah sepakat, kami setuju proses produksi. Sebagai novelis, saya sudah melepaskan hak atas tafsir teks novel kepada pembaca, termasuk kepada sutradara film. Saya tidak bisa memaksakan tafsir tunggal saya atas teks novel saya. Saya kira novel saya ini hanya sebagai sumber inspirasi.

Tidak khawatir ada salah persepsi atas teks tersebut?

Sebagai penulis, saya sadar akan adanya perbedaan kedua media. Saya menggunakan teks bahasa, sedangkan sutradara menggunakan kamera. Saya juga yakin pencapaian dari novel akan berbeda dengan pencapaian dalam film. Baik film maupun novel nantinya akan mempunyai kekuatan dan kelemahan masing-masing.

Apakah Anda mengikuti proses pembuatan filmnya?

Saya sudah melihat filmnya. Pernah pula mengikuti satu kali proses pengambilan gambar. Mereka juga sudah melakukan wawancara dan berdiskusi beberapa kali dengan saya. Saya kira roh novel cukup terwakili. Ada empati terhadap masyarakat kecil. Di beberapa bagian, saya salut terhadap film ini. Dramatisasi aspek politik, yang saya malah tidak terlalu berani, di film ini ada. Seperti adegan mayat mengapung, di novel saya tidak ada.

Novel ini dulu diangkat jadi film Darah dan Mahkota Ronggeng. Bagaimana hasilnya dibanding yang sekarang?

Dibanding yang dulu, ini yang paling serius. Cukup mendekati novel aslinya, meski saya sadar pencapaian bahasa akan berbeda dengan pencapaian kamera. Tapi, jika dibandingkan dengan yang lama, ini lebih mengena. Yang dulu kurang menghayati kebudayaan lokal. Pada akhirnya, hanya keseksian yang diumbar. Kemungkinan lain, film itu dibuat sebelum terbitnya buku kedua dan ketiga. Jadi hanya membaca buku pertama.

Banyak orang menilai ronggeng sama dengan pekerja seks….

Dalam kebudayaan Banyumas, ronggeng adalah pengikat kebudayaan. Ronggeng merupakan pemangku dunia perempuan yang akan mengimbangi dunia laki-laki. Kalau memang ada uang dan seks, itu memang wajar. Dalam konteks kebudayaan masa itu, itu hal lumrah. Saat ini menjadi tidak wajar karena penari ronggeng juga mempunyai suami. Jadi, kalau bicara konteks sekarang, ya memang seperti pelacur atau pekerja seks. Saat ini ronggeng sudah bersih karena menjadi showbiz.

Bagaimana dengan tradisi buka kelambu?

Itu lazim digunakan dalam ritual calon ronggeng. Saya tak mengada-ada. Calon ronggeng ditempatkan di ranjang berkelambu sebelum dinobatkan menjadi ronggeng. Maknanya adalah menyiapkan calon ronggeng yang telah dipingit dan sudah waktunya menghadapi masyarakat. Soal buka kelambu, ada yang mengatakan calon ronggeng dirampas keperawanannya oleh sang dukun saat ritual. Ada yang mengatakan hanya ritual duduk dan membuka kelambu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus