Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Srintil Tak Ingin Berhenti Menari

Sebuah tafsir bebas atas novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Kelam, pedih, sekaligus erotik.

7 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sang Penari
Sutradara: Ifa Isfansyah
Skenario: Salman Aristo, Ifa Isfansyah, Shanty Harmayn
Pemain: Oka Antara, Prisia Nasution, Slamet Rahardjo, Dewi Irawan, Landung Simatupang, Lukman Sardi
Produksi: Salto Films, KG Production, Indika Pictures, dan Les Petites Lumieres

Sebuah tempat tahanan di Jawa Tengah, 1965.

Hitam. Gelap. Selajur sinar menyorot ratusan kepala yang tertunduk takut. Rasus, kini sudah menjadi bagian dari "mereka yang berkuasa", memegang senter itu dengan penuh harap. Tapi gelap menggagalkan hasratnya. Dia tak menemukan Srintil, satu-satunya perempuan yang mengisi hatinya. Mereka semua, penduduk Dukuh Paruk, dirundung tanda tanya. Mereka tak paham kenapa mereka digiring bak segerombolan sapi ke dalam ruang gelap itu. Tahun 1965 dan untuk tahun-tahun berikutnya, Dukuh Paruk dan sekitarnya akan basah oleh aliran darah. Bukan oleh hujan. Apalagi oleh musik yang mengalir dari calung.

Itulah pembukaan film Sang Penari yang diinspirasi novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Disebut "inspirasi" karena sutradara Ifa Isfansyah (Garuda di Dadaku, 2009), penulis skenario Salman Aristo, dan produser Shanty Harmayn bersama-sama menafsirkan novel itu dengan bebas merdeka. Tapi baik novel maupun film, yang akan beredar Kamis pekan ini, berhasil menunjukkan kelebihan mediumnya.

Sementara Ahmad Tohari membuka novelnya dengan memperkenalkan musim kemarau di Dukuh Paruk yang ditandai dengan pasangan burung bangau yang melayang meniti angin mencari mangsa, Ifa Isfansyah sengaja memulai film dengan drama terbesar di negeri ini: peristiwa berdarah September 1965, yang ikut melukai Dukuh Paruk yang sungguh terpencil, yang seolah-olah hampir tak terjangkau oleh peradaban kota.

Setelah adegan penyapuan "desa yang (dianggap) sudah merah" itu, kita dilempar ke Dukuh Paruk tahun 1953: Surti (Happy Salma), ibu Srintil, yang lenggak-lenggok tubuhnya mengusap hasrat penduduk. Dialah ronggeng yang dipuja, yang di dalam dunia rekaan Ahmad Tohari itu tugasnya bukan sekadar menari dan meladeni para lelaki, tapi juga menjadi kebanggaan warga desa. Seorang perempuan duduk di posisi itu karena dia dipilih oleh "leluhur" Ki Secamenggala, yang dianggap sebagai moyang semua warga Dukuh Paruk.

Tapi "skandal racun bongkrek" menjadi bencana "besar" yang merenggut nyawa Surti, sang ronggeng, dan beberapa warga desa. Srintil tumbuh menyaksikan kehebohan itu dengan perasaan bersalah. Menjadi ronggeng adalah cita-citanya karena "aku hanya ingin menari". Rasus (Oka Antara), kawan Srintil yang tumbuh bersamanya, ikut menyaksikan bahwa menjadi ronggeng di Dukuh Paruk bukan "hanya urusan nari, tapi juga urusan kasur, urusan dapur, urusan sumur", demikian ujar Srintil dewasa (Prisia Nasution).

Melalui berbagai gerunjal, akhirnya Kartareja (Slamet Rahardjo), yang berkuasa menobatkan seorang ronggeng, menyatakan "Srintil dipilih menjadi ronggeng". Calung menjerit, Kartareja memandang langit, dan Dukuh Paruk memekik. Mereka telah menemukan simbol kejayaan. Semua lelaki bersiap untuk bertarung, siapa yang bisa menembus upacara bukak kelambu: yang paling banyak duit, dialah yang mencicipi keperawanan Srintil. Ini semua tentu saja tak bisa diterima Rasus, yang sudah lama sangat mencintainya.

Jika judul film ini berubah menjadi Sang Penari dan menyatakan diri sebagai film yang "diinspirasi" novel Ronggeng Dukuh Paruk, kita segera paham. Tokoh Srintil dalam film ini menjadi ronggeng saat dia sudah berusia 16 atau 17 tahun, sedangkan Srintil versi Tohari mulai menari saat masih berusia 11-14 tahun. Berbagai adegan dalam film ini adalah tafsir yang sangat bebas yang mengambil novel itu sebagai inti cerita.

Srintil dan Rasus, sepasang kekasih yang diam-diam bercinta di balik "kewajiban" Srintil bukak kelambu, jelas menjadi korban: korban tradisi desa yang mengagungkan mitos ronggeng sebagai sumber kejayaan desa; korban patriarki yang menekan Srintil, yang meladeni beberapa lelaki dalam satu malam, dan belakangan mereka menjadi korban pertikaian politik.

Tapi ada yang implisit dari gambaran sosok Srintil. Srintil seolah-olah bukan korban karena dia digambarkan sebagai subyek yang secara sadar "memilih" menjadi ronggeng. Srintil digambarkan menikmati perannya sebagai simbol Dukuh Paruk dan meladeni beberapa lelaki dalam satu malam. Srintil menyebutnya "darma bakti", suatu konsep yang tidak bisa diterima oleh Rasus, yang lantas saja ngambek dan meninggalkan desa dengan hati terluka.

Pertikaian politik terbesar di negeri ini pun tergambar dengan serangkaian adegan yang mencekam. Masuknya orang-orang kiri yang diwakili Bakar (Lukman Sardi) digambarkan dengan cerdas. Ifa memilih warna merah dan pameran kalimat gagah yang tertulis di mana-mana. Warna merah itu menyelinap ke dalam pertunjukan ronggeng. Tak aneh, ketika peristiwa September 1965 pecah, tentara yang diwakili Sersan Slamet (Tio Pakusadewo) dan kelompoknya merangsek Dukuh Paruk, kita segera tahu: ronggeng habis, bersama segala yang dianggap berbau "merah". Dan selanjutnya: mayat-mayat yang menggenang. Segalanya serba gelap.

Untuk sebuah film dengan skala sebesar ini—dengan biaya hampir Rp 10 miliar dan proses pembuatan film sepanjang dua tahun—Ifa harus diakui merupakan sutradara yang lengkap. Dia berhasil menafsirkan novel karya Ahmad Tohari ke dalam rangkaian gambar yang bertutur dengan daya pikat yang luar biasa. Kamera Yadi Sugandi merekam kemiskinan sekaligus kecabulan dengan asyik, diiringi musik Titi dan Aksan Syuman yang berhasil memiliki hubungan yang harmonis dengan gambar (artinya: tidak mendominasi gambar, tidak menjerit, dan hanya muncul pada saat yang memang dibutuhkan). Pasangan itu memang penata musik terbaik selain trio Thoersi Argeswara dan juga trio Aghi Narotama, Bemby Gusti, dan Mondo Gascaro.

Tak hanya berhasil bertutur melalui gambar dengan fasih, Ifa mampu menggerakkan para pemainnya sebagai bagian dari jagat Dukuh Paruk yang meyakinkan. Sebagai dunia antah-berantah di Jawa Tengah yang hampir selalu berbicara Banyumasan dengan medok—silakan membaca teks, wahai penonton Jakarta—dan yang begitu yakin dengan mitos ronggeng yang meniup kegairahan desa. Tafsir Ifa pada akhir film—yang jauh berbeda dengan novel Tohari—juga menggambarkan ramuan kepedihan sekaligus harapan. Adegan akhir yang menggambarkan betapa Srintil masih tetap percaya pada kekuatan tari sebagai cahaya hidupnya.

Melalui karyanya yang kedua ini, Ifa sudah meyakinkan kita, film Indonesia tak perlu dirundung murung. Dia, seperti Srintil, akan menyalakan kegairahan kita.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus