Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

<font face=verdana size=1>Irshad Manji:</font><br />Tak Harus Seperti Arab

5 Mei 2008 | 00.00 WIB

<font face=verdana size=1>Irshad Manji:</font><br />Tak Harus Seperti Arab
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Meski pemikirannya dianggap bidah, Irshad Manji, 40 tahun, tak takut singgah di Jakarta. Dia datang untuk peluncuran bukunya, The Trouble with Islam Today, di dua kota, Jakarta dan Yogyakarta, dua pekan lalu. Manji kelahiran Uganda dan kini menjadi warga Kanada. Dia perempuan muslim dengan pandangan tak biasa. Bukunya menyulut kontroversi. Mereka yang tak suka bahkan mengancam membunuhnya.

Islam, kata Manji, tak boleh alergi kritik dan harus menghidupkan kembali tradisi ijtihad. Umat Islam, kata Manji, harus kritis atas dogma budaya, yang mungkin tak berasal dari doktrin agama. ”Ada yang kita kira Islam sebetulnya hanya tradisi Arab,” ujarnya.

Sehari sebelum meluncurkan bukunya di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa dua pekan lalu, Manji menerima Nezar Patria, Nugroho Dewanto, dan Grace S. Gandhi dari Tempo untuk wawancara. Mengapa dia takjub kepada Pancasila? Berikut ini petikan wawancara itu.

Konsep ijtihad seperti apa yang Anda tawarkan?

Ijtihad sebagai tradisi Islam berpikir kritis dan independen, berdebat, dan berbeda pendapat. Ijtihad bukan cuma hak, tapi juga kewajiban setiap muslim. Bukan cuma ulama yang berhak memutuskan sesuatu. Semua muslim berperan memajukan Islam. Kenyataannya sekarang, tradisi Arab sangat mempengaruhi kita menjalankan Islam. Kolonialisme terbesar yang dihadapi muslim tidak datang dari Amerika atau Israel, tapi dari Arab. Ini saya sebut imperialisme budaya Arab.

Dalam peta pembaruan pemikiran Islam, bagaimana Anda menyebut diri Anda sendiri?

Saya seorang reform-minded muslim dan berbeda dengan muslim moderat. Mereka mengutuk kekerasan yang dilakukan atas nama Islam, tapi menyangkal peran agama dalam kekerasan. Secara otomatis, mereka menyerahkan penafsiran kepada kaum fundamentalis. Reform-minded muslim bukan cuma mengutuk kekerasan, tapi juga mengakui bahwa agama memang dimanipulasi untuk membenarkan kekerasan. Daripada menyangkal, lebih baik kita mengakui ada teks agama yang mengandung kekerasan, seperti orang Kristen dan Yahudi liberal telah menginterpretasi ulang kitab sucinya untuk abad dan konteks baru. Kita harus melakukan hal yang sama terhadap ayat-ayat kekerasan kita.

Tapi, berbeda dengan pembangkang Islam, Ayaan Hirsi Ali, Anda tidak meninggalkan Islam?

Saya berpikir, mungkin masalahnya madrasah saya bukan pendidik yang bagus, lalu kenapa harus menghukum keyakinan saya? Saya justru ingin mempelajari Islam dan membuat penilaian apakah yang saya terima di madrasah adalah Islam sejati. Saya menghabiskan waktu di perpustakaan, melahap bacaan tentang Islam.

Anda belajar Islam sendiri, adakah hal baru?

Setelah 20 tahun mempelajari Islam, saya merasa mendapatkan pengetahuan, yang ironisnya tidak akan bisa saya dapatkan di madrasah. Misalnya tentang Khadijah, perempuan pebisnis hebat, bos sekaligus istri Nabi Muhammad. Khadijah pula pihak yang melamar. Bahkan Khadijah itu 15 tahun lebih tua daripada Nabi. Sangat revolusioner, sangat feminis.

Saya juga tahu tentang filsuf Ibnu Rusydi. Seribu tahun lalu, dia mengatakan, alasan kehancuran peradaban adalah perempuan ditempatkan di bawah lelaki. Tapi apakah kami belajar tentang itu di madrasah? Di madrasah, guru-guru saya justru mengajarkan sangat mustahil melihat perempuan itu setara.

Eh, menurut Anda, bagaimana posisi homoseks dalam Islam?

Hanya Tuhan yang tahu kebenaran di balik semuanya. Saya tidak bisa bilang bahwa Islam memperbolehkan homoseksualitas. Lebih mulia terus berdebat dan berbeda pendapat. Mungkin saja homoseksualitas itu berkah, bukan kesalahan. Bukan saya atau Anda yang bisa menentukan apakah lesbian dan gay itu sah. Saya ingin masyarakat bisa menjadi diri sendiri, tidak ada yang memaksa kita menaati satu aturan tertentu. Di atas itu semua, saya percaya Tuhan itu satu, Tuhan yang agung, yang berhak menentukan benar dan salah.

Bagaimana Anda memandang Indonesia, negeri berpenduduk muslim terbesar?

Saya bukan ahli Indonesia, tapi negeri ini adalah sumber harapan nyata. Saya tertarik kepada Pancasila, prinsip yang tidak ada di Arab. Soal kesatuan nasional yang datang dari keberagaman kepercayaan itu sangat tidak Arab, tidak tribal, dan sangat cocok untuk dunia postmodern ini. Saya percaya Indonesia bisa menunjukkan diri kepada dunia bahwa ada jenis Islam lain (dari Islam gaya Arab—Red.) yang bisa dipraktekkan. Mungkin, untuk soal ini, Anda menuduh saya naif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus