Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI bibir pantai berpasir putih kehitaman, Meli Melda jongkok mencari remis. Tangannya lincah mengumpulkan kerang, satu demi satu, ke dalam ember hitam tak jauh dari jangkauannya. Bersamanya, tampak pula puluhan wanita lain. Mereka, yang sebagian besar mengenakan kerudung sederhana, berpeluh berburu remis dan lokan (kerang besar).
”Anak SD juga cari remis. Kadang remis yang besar harganya bisa Rp 100 per buah. Kami bisa mendapat Rp 50 ribu sehari,” kata Meli, dalam adegan film Di Balik Pasir.
Film garapan Andi Faisal dari Bingkai Indonesia itu merupakan satu di antara 23 film yang diputar dalam South to South Film Festival (StoS) di Culture Centre Francais, Salemba, Jakarta, dua pekan lalu. Ini festival ketiga, sejak pertama kali digelar pada 2006. Menurut Koordinator Nasional Jatam Siti Maemunah, festival tiga hari (22-24 Januari 2010) bertema We Care ini ingin mengajak orang menyelamatkan lingkungan. Film-film yang diputar mengangkat cerita dari Indonesia, Brasil, Inggris, Peru, Prancis, Kanada, dan Amerika Serikat. ”Agar masyarakat kota terhubung dengan yang di sana,” katanya.
Film Di Balik Pasir termasuk yang diharapkan bisa mengilhami. Film yang digarap selama sebulan ini mengisahkan suksesnya perjuangan masyarakat di sekitar pantai Penago Baru, Kabupaten Seluma, Bengkulu. Mulanya, mereka setiap hari ke pantai yang berhadapan langsung dengan Samudra Indonesia itu untuk menyambung hidup. Tapi kegiatan itu terusik sejak 2005. Ketika itu perusahaan tambang asal Hong Kong, PT Famiaterdio Nagara dan PT Fine Wealthy Limited, memulai pengerukan bijih besi di bawah lapisan butiran pasir putih kehitaman di pantai Penago. Remis jadi sulit dijumpai. Truk pengangkut bijih besi melindas dan mengeruk pasir, rumah remis.
Setahun perusahaan itu beroperasi juga membuat pendapatan Syafrudin, warga Rawa Indah, menurun dan kesulitan menangkap ikan. ”Dulunya, cukup 300 meter dari pinggir pantai kami sudah dapat ikan. Sekarang harus menempuh 1 kilometer baru bisa dapat ikan. Kadang tidak dapat sama sekali,” katanya, seperti dikutip dari buku Kabar dari Pulau yang dikeluarkan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Desember 2009.
Menurut ayah tiga anak ini, beberapa ikan menghilang, seperti ikan gebur, purau, kakap, kadar, dan belanak. Ikan-ikan ”lari” karena bisingnya mesin tambang dan bau minyak solar, serta sisa tailing yang banyak dibuang di pinggir pantai. ”Saya tinggal mengandalkan kebun sawit, atau jadi kuli panen sawit, dan buruh tani,” ia berujar. Seorang warga lain menyesalkan juga tanah keramat yang dipatok untuk penggalian.
Pada 2006, penolakan warga terhadap pertambangan itu menguat. Mereka unjuk rasa menuntut perusahaan hengkang, memblokade, sampai timbul konflik—pemukulan. Warga berkirim surat kepada Bupati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Seluma agar perusahaan ditutup, tapi tak digubris. Demonstrasi disertai aksi dorong-dorongan di depan pagar kantor bupati akhirnya tak terelakkan.
Penduduk berbagai desa, yang semula bertikai, memilih berdamai dan bersatu padu untuk mengusir perusahaan tambang itu. Ikut pula Meli Melda dan puluhan perempuan. Mereka berteriak kencang, ”Usir, usir.”
Menurut Andi Faisal, beberapa adegan diambil dari potongan dokumentasi, yang diselipkan di film berdurasi 30 menit ini. Selebihnya adalah wawancara dan aktivitas warga, yang kurang-lebih sedikit membosankan dibanding film Hollywood. Tergambar bagaimana akhirnya perusahaan menghentikan eksploitasi pada 2007.
Berbeda dengan pergelaran sebelumnya, festival kali ini menggelar kompetisi blog (32 peserta), fotonovela (30), dan film dokumenter (67). Tahun ini, StoS Award untuk film terbaik diberikan kepada Yuli Andari dengan judul Satu Harapan. ”Film ini menyajikan banyak isu dari satu personifikasi seorang ibu di Flores. Isu lingkungan, kemiskinan, kesehatan, problem pendidikan, masyarakat, dan kesetaraan gender sekaligus dalam satu paket film,” kata Wicaksono, salah satu anggota dewan juri.
Martha W. Silaban
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo