Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH DARA
Sutradara dan Skenario: Mo Brothers
Pemain: Shareefa Danish, Ario Bayu, Julie Estelle, Sigi Wimala
Produksi: Guerilla Visuals, Merah Production, Nation Pictures, Gorylah Pictures
"MALAM ini, semuanya tak akan baik-baik saja.…”
Demikian dua sekawan Mo Brothers memulai dongengnya. Sebuah dongeng yang dimulai dengan gelap malam dan langit yang menumpahkan hujan. Di dalam mobil, sekelompok kawan, di antara mereka ada abang-adik Aji (Ario Bayu) dan Ladya (Julie Estelle), tengah mengarungi gelap malam itu menuju Jakarta. Aji dan istrinya, Astrid (Sigi Wimala), yang hamil delapan bulan, akan berangkat ke Australia keesokan hari. Seorang perempuan muda dan cantik melintas, memelas, dan dengan mudah kita tahu bahwa gerombolan anak muda itu jatuh kasihan dan mengajak sang perempuan, Maya (Imelda Therinne), nebeng mobil mereka ke rumahnya.
Dan malam itu, segalanya berubah. Maya mengajak mereka ikut masuk ke rumahnya, bertemu dengan sang ibu bernama Dara (Shareefa Danish) yang berdandan begitu rapi, rambut bersanggul, berbicara dengan nada yang sangat ganjil. Anak-anak muda itu diberi sajian makan malam yang lezat luar biasa, tapi yang membuat mereka semua lemah tak berdaya.
Dan adegan horor itu pun dimulai. Mereka keluarga kanibal yang hidup pada 1920-an, ketika musik keroncong dan udara kolonialisme masih meruap. Tetapi Mo Brothers (yang terdiri atas dua sekawan Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel) tidak berputar-putar pada soal sejarah, dan bahkan hanya selintas menyentuh psikologi. Mereka betul-betul menikmati kata slasher, sebuah subgenre film horor yang belakangan seperti mengalami sebuah ”kebangkitan” di Eropa dan Amerika. Sebuah ”cabang” aliran horor yang tak menghadirkan hantu, setan, pocong, kuntilanak sebagai pihak antagonis, melainkan seorang (atau sekelompok) psikopat yang membunuh korbannya dengan menggunakan pisau, gergaji, atau peralatan lain yang kemudian memuncratkan darah ke kamera. Acara peluncuran air mancur darah ini adalah ”peran utama” film slasher.
Tentu saja subgenre ini sudah lahir sejak 1930-an di Amerika, meski tak meledak. Adalah film Psycho (Alfred Hitchcock, 1960) yang dianggap sebagai ”ibu” dari semua film horor slasher. Setelah Psycho, muncul ratusan epigon film slasher hingga 1980-an, dan pada 1990-an film slasher menemukan bentuk yang lebih baru, khas Amerika dan disukai penonton muda: Scream (Wes Craven, 1996).
Film Rumah Dara karya Mo Brothers sebetulnya lebih mengingatkan pada film-film slasher yang lahir di Prancis belakangan ini, seperti Frontieres (Xavier Gen, 2007), yang juga melibatkan beberapa anak muda, di antaranya ada perempuan hamil yang terpaksa melahirkan.
Keluarga Dara, sebuah keluarga misterius beranggotakan ibu Dara, seorang matriarch berwajah awet muda, berkulit licin, dan berbicara dengan nada dalam (yang maksudnya ingin berkesan keji, tapi ditampilkan berlebihan oleh Shareefa Danish) berputri Maya, Adam, dan Armand. Dan perlahan-lahan, satu per satu, pesta pembantaian dimulai; dengan gergaji atau dengan pisau. Pokoknya tubles, iris, muncrat. Muncrat tepat ke layar lebar, menembus hingga wajah Anda!
Menyaksikan film slasher seperti ini memang harus segera menanggalkan segala paradigma kita terhadap genre film-film yang mementingkan plot dan tetek-bengek perenungan. Film Rumah Dara langsung menyatakan dirinya sebagai film penuh darah yang dieksekusi dengan baik. Plot cerita sudah jelas, rangkaian peristiwa mudah diterka. Lalu apa? Duo Mo ini menyajikan sebuah dongeng yang terasa begitu nyata, bukan karena plot yang realistis, tetapi karena kemampuan dan ketelitian teknis yang sama sekali tak meninggalkan ruang untuk protes.
Adegan penggergajian tubuh (manusia yang masih hidup), yang terlihat begitu nyata, dilakukan seorang lelaki tambun berkacamata yang tampak te-nang, dingin, seolah bersahaja. Di tengah muncratan darah itu, dia berhenti sejenak, mengusap kacamatanya yang penuh darah, dan mulai menggergaji lagi. Adegan menggebrak, tata suara Khikmawan Santosa menusuk telinga serta musik Zeke Khaseli dan Yudhi Arfani justru tidak jatuh pada kubangan klise musik horor (tidak genjreng seperti umumnya film horor; tidak menguik-nguik, tetapi musik yang dipilih malah mengalun mengiris dan lirih)
Para pemain dalam film ini, terutama Ario Bayu, Julie Estelle, dan Mike Lucock, tampil bagus.
Dengan debut ini, duo Mo Brothers tentu diharapkan melanjutkan langkahnya kepada film yang memberikan porsi psikologi yang lebih dalam. Itulah sebabnya mereka tengah merencanakan film berikutnya, berjudul Killers, yang menurut Timo Tjahjanto ”bagaimana seseorang mengatasi bagian gelap dalam dirinya”. Ditunggu!
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo