Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada obyek berlumuran citra darah. Tak ada sesuatu yang mengesankan kebengisan. Tak ada kalimat yang memekikkan kesakitan. Padahal pameran di Akili Museum di perumahan mewah Puri Kembangan, Jakarta, itu bertajuk War. Semua obyek yang dihadirkan terasa ”terkendali”. Itulah S. Teddy. Perupa Yogya ini menjauhi cara mengekspresikan kekerasan secara liar.
Mendengar kabar bahwa Teddy bakal mengadakan pameran tunggal tentang perang pada awal tahun ini, ingatan segera melayang ke Love Tank di Museum Nasional Singapura tahun lalu. Ini instalasi yang luar biasa. Teddy membuat tujuh replika tank model M1 Abrams yang dipakai oleh tentara Amerika untuk menghajar tentara Irak di gurun. Dari yang sebesar aslinya sampai ke setengahnya. Tank-tank itu dicat pink dan dibubuhi banyak gambar hati (cinta). Teddy kemudian menumpuk-numpuk tank itu hingga menyerupai sebuah pagoda. Kita melihat bagaimana Teddy mampu menjinakkan barang pembunuh menjadi jalan padmasana.
Maka tak salah bila dalam pameran ini kita menanti kejutan. Paling tidak kemampuan Teddy mengalegorikan barang-barang perang lain. Masih banyak benda bekas peralatan perang lain yang bisa disatire kan atau dikomedikan. Hamad Khalaf, perupa asal Kuwait, misalnya, pernah membawa sepatu bot, selongsong peluru, helm, atau masker bekas Perang Iran-Irak ke berbagai galeri kita yang lalu ditorehinya gambar adegan perang mitologi Yunani.
Namun Teddy tidak mengambil jurusan Hamad. Begitu masuk museum, kita disambut sebuah tank kecil bermoncong palus. Judulnya cukup bermain semiotik: Sex and Destroy. Namun, dari segi bentuk, ingatan kita bisa melayang ke kerajinan asbak atau kentongan di Bali, yang sering mengeksplorasi unsur ereksi palus.
Yang langsung membetot adalah sangkar-sangkar berisi patung kepala. Satu per satu, bila kita amati, kepala itu matanya redup. Ekspresinya tak berdaya, seolah sudah tak merasakan kesakitan lagi. Lebih sayu daripada raut sedih wajah topeng panji.
Menarik untuk mengamati bagaimana Teddy membuat variasi komposisi letak kepala dalam kurungan-kurungan itu. Tengok Prisoner of the War. Sebuah kepala kecil di sudut atas, menggantung dan menjulurkan rantai. Ruang kurungan tampak lengang. Atau Stag Head, yang menghadirkan potongan kepala tergolek dalam sangkar dengan volume kepala hampir sebesar kurungan. Sementara The Truth Ways menampilkan kepala berhidung bak Pinokio, memanjang membengkokkan jeruji. Ujung hidung itu berbentuk seorang perwira.
Teddy juga menyajikan patung badut ikon McDonald’s. Patung itu membawa pisau daging. Ia membubuhi badan si badut dengan motif loreng-loreng dan memberinya judul The Butcher. Teddy tampak mengolok militerisme. Namun, lantaran di Bienalle Yogya kemarin banyak karya yang menggunakan ikon McDonald’s, karya ini jadi terasa kurang menggigit. Karya berjudul Funatic berbentuk corong segitiga dengan dua bolong mata lebih menarik. Karya ini mengingatkan orang pada Ku Klux Klan.
Teddy juga memamerkan bongkahan-bongkahan tembok. Di sebuah seri bongkahan ditulisnya: War for Who dan kemudian War for What. Bongkahan-bongkahan berjudul Tragical Script ditorehinya huruf Jawa hanacaraka. Kita tak tahu apa artinya. Tapi kita bisa menduga Teddy pernah mengunjungi Berlin dan inspirasinya berasal dari bekas bata Tembok Berlin yang cuilannya pun kini diperdagangkan.
Yang paling berhasil dalam pameran yang dikuratori oleh Alia Swastika ini adalah karya patung yang dari segi bentuk mengingatkan kita pada ikatan molekul dalam kimia. Patung itu berupa ranting-ranting molekul. Namun Teddy mengubah ujung-ujung ikatan yang biasanya berupa bulatan berisi nama unsur kimia menjadi tengkorak kecil.
Dengan karya ini, Teddy seolah ingin menyatakan bahwa materi molekul yang membangun manusia sudah berunsur gen kekerasan. Bahwa sifat homo homini lupus inheren dalam diri manusia. Karya ini berhasil dalam metafora. Mereka yang suka pada teori antropologi baru, misalnya, bisa ingat Rene Girard, yang menyatakan volume otak manusia membesar bukan karena kemampuan bahasa tapi karena manusia ”mencari akal” bertahan diri dengan membunuh.
Karya lain yang mirip gagasan itu adalah Seed of Violence. Karya ini berbentuk binatang-binatang aluminium kecil tanpa mata dengan tubuh penuh duri lancip. Karya ini akan lebih berhasil bila Teddy membuat dalam jumlah ratusan atau bahkan ribuan lalu dihamparkan di halaman rumput rumah Akili yang luas. Itu akan mengesankan koloni ”virus jahat” tengah mengendap-endap, berusaha menyebar, menyerang kita.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo