Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah berbulan-bulan dicari, akhirnya pohon besar itu ditemukan pada November tahun lalu di sebuah desa, 12 kilometer dari pusat Kota Kediri, Jawa Timur. Bagian bawahnya, setinggi sekitar tiga meter, sangat besar, sepelukan tiga orang dewasa. Bagian atasnya lebih kecil, sepelukan dua orang dewasa.
"Saya membelinya Rp 25 juta dari seorang petani," kata Amrus Natalsya, seniman pendiri Sanggar Bumi Tarung. Pohon itu hendak diolahnya jadi patung perahu, jenis patung yang banyak dibuatnya sejak 1990-an dan laris diborong kolektor. Tapi kali ini lelaki kelahiran Medan, 21 Oktober 1933, itu ingin membuat perahu istimewa, patung terbesar yang pernah dibikinnya.
Namun, karena pohon itu berada di tengah ladang dan sawah yang sedang menguning, dia harus menunggu panen selesai sebelum menebang dan membawanya ke studionya di tepi Danau Lido, Sukabumi, pada Januari lalu. Selama enam bulan, Amrus dan tiga artisan pembantunya bekerja. Bagian bawah pohon itu dibelah dan dipahat menjadi layar, dan bagian atasnya menjadi badan perahu. Pahatannya kasar, ciri yang dipertahankan Amrus dalam mematung.
Patung Perahu Nabi Nuh sepanjang 4,75 meter dengan tinggi 3,5 meter itu menjadi patung terbesar di pameran 50 Tahun Sanggar Bumi Tarung di Galeri Nasional, Jakarta, pekan lalu. Pameran bertema "Kobarkan Terus Patriotisme, Daya Tarung Melawan Lupa" itu dibuka oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Taufiq Kiemas pada Kamis dua pekan lalu.
Pematung dari Akademi Seni Rupa Indonesia (kini Institut Seni Indonesia) Yogyakarta itu sengaja membuat perahu raksasa ini karena ingin menghasilkan suatu karya monumental di akhir hidupnya. "Kami sudah tua. Ini mungkin pameran terakhir kami dan kami ingin membuatnya pantas dikenang," katanya.
Sanggar Bumi Tarung berdiri pada 1961 dengan anggota para mahasiswa ASRI Yogyakarta. Dengan mengusung konsep "seni untuk rakyat", mereka bernaung di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan menyokong ajaran politik sebagai panglima yang digariskan Presiden Sukarno. Tapi, karena keterkaitan Lekra dan Partai Komunis Indonesia, sanggar itu pun turut terseret "badai politik" 1965. Dari sekitar 30 anggotanya, separuh meninggal karena dibantai atau disiksa di bui. Separuh lagi bertahan hidup hingga dibebaskan dari penjara tanpa pengadilan itu. Kini mereka sudah sepuh, rata-rata berusia 70 tahun ke atas. Yang masih hidup dan berkarya tinggal delapan orang, yakni Amrus, Djoko Pekik, Misbach Tamrin, Isa Hasanda, Suhardjija Pudjanadi, Adrianus Gumelar, Dj.M. Gultom, dan Soediono.
Sanggar itu ditegakkan dengan keberpihakan pada petani, buruh, dan rakyat yang tertindas. Konsep berkeseniannya "realisme revolusioner", realisme yang ingin mencapai tujuan revolusi, yakni masyarakat adil dan makmur. Dengan semangat itulah mereka menggelar pameran yang menampilkan total 90 karya 12 seniman, yang kebanyakan lukisan. Amrus menyumbangkan delapan patung dan enam "lukisan kayu", karya khasnya berupa lempeng kayu yang dicongkel membentuk gambar timbul. Karya-karya mereka diniatkan sebagai pernyataan mengenai situasi sosial-politik dewasa ini.
Perahu raksasa Amrus, misalnya, berbicara tentang masalah penggundulan hutan serta dampaknya bagi manusia dan makhluk hidup lain. Perahu itu mengangkut berbagai binatang, seperti kuda dan sapi. Di bagian kiri dan kanan lambungnya terdapat laci-laci yang bila ditarik keluar akan memperlihatkan binatang-binatang serta berbagai kotak dan drum di dalamnya. Semua binatang itu berdiri dalam barisan yang rapi.
Beberapa lukisan kayunya menggambarkan kronik revolusi, seperti Perjuangan Menuju Front I dan II. Amrus memang sedang menyusun seri lukisan kayu yang merekam pengalamannya tentang berbagai hal. Dia juga menyertakan beberapa lukisan yang ingin mengingatkan orang agar tak melupakan sejarah kelam negeri ini, seperti Semua Orang Bertanggung Jawab atas Perbuatannya (2011).
Lukisan surealistis seluas 4 x 2 meter itu menggambarkan semacam pengadilan di akhirat terhadap para pelaku tragedi 1965. Di situ ada malaikat yang memegang sehelai kain bertulisan "G30S" di hadapan orang-orang berjubah kuning yang berlutut dalam satu antrean. Di latar belakang berdiri tiga orang berjubah cokelat, hijau, dan merah—simbol dari kelompok nasionalis, agama ,dan komunis. Pengadilan itu disaksikan ratusan orang yang berdiri mengitari mereka, yakni para korban.
Djoko Pekik, si "pelukis 1 miliar", masih menampilkan lukisan-lukisan yang bersapuan kasar dan tebal serta bertema sederhana. Yang paling mengesankan adalah Fatamorgana/Ngiler (2009). Lukisan cat minyak di kanvas seluas 140 x 110 sentimeter itu menampilkan wajah mirip Susilo Bambang Yudhoyono bermahkota Raja Jawa sedang menjulurkan lidahnya, yang meneteskan liur, disambut mulut dua orang di bawahnya.
Isa Hasanda menampilkan semacam apropriasi dari lukisan Leonardo da Vinci berjudul sama, The Last Supper (2003). Dia menggambarkan 12 orang dari berbagai suku di Indonesia (ditandai pakaian dan ikat kepala khasnya) yang duduk melingkari tumpeng nasi kuning yang sedang didoakan seorang imam.
Misbach, yang dulu banyak merekam penggusuran dan peristiwa sosial lain, kini menyajikan sejumlah lukisan cat minyak yang bertema Sukarno. Patriotisme vs Imperialisme (2011), misalnya, menggambarkan Sukarno di tengah para tokoh dunia, seperti Che Guevara, Yasser Arafat, Mao Zedong, dan Gandhi. Ada pula Bung Karno dan Para Seniman (2011), yang menggambarkan Sukarno sedang berbincang akrab dengan para seniman, seperti Basuki Abdullah dan S. Sudjojono.
Adrianus, yang banyak membuat sketsa dan telah pula membukukan sketsanya tentang tahanan politik di Pulau Buru, kali ini menampilkan juga beberapa lukisan cat minyak. Pembaruan (2010) adalah lukisan terbesarnya, seluas 3 x 5 meter dengan format kanvas seperti "T" terbalik. Isinya merupakan potongan-potongan adegan di penjara dan seorang lelaki berlutut dengan tangan terikat sebagai pusat. Seri lukisan Berakhirnya Kekuasaan Tirani (2010) tampak lebih halus dan simbolis, yang menggambarkan seorang jenderal yang tongkatnya jatuh dan jenderal tua yang terduduk tak berdaya.
Meski berlatih di bawah satu atap dan satu ajaran, para seniman Sanggar Bumi Tarung berkembang sendiri-sendiri, baik dalam teknik maupun bentuk ungkapan. Amrus, Misbach, dan Djoko bisa dibilang sebagai seniman yang paling menonjol di antara rekan-rekan mereka. Adapun lukisan Ng. Sembiring dan Muryono masih menggambarkan pemandangan alam yang asri dan tenang, mengingatkan kita pada gaya klasik Hindia molek. Lukisan cukil kayu Suhardjija Pudjanadi masih terlihat seperti poster, tapi lukisan cat minyaknya, Mencari Sesuap Nasi (2008), lebih simbolis dan halus menggambarkan alam benda. Yang patut dicatat adalah Dj.M. Gultom, yang karyanya tak banyak dipamerkan tapi terlihat sangat menjanjikan, seperti lukisan Arca dan Bebek-bebek (2011), yang sangat realistis-fotografis.
Misbach mengakui tak semua anggota Sanggar mencapai mutu artistik yang diharapkan, karena pada akhirnya semua kembali kepada diri masing-masing. Bahkan, "Meski mereka dulu menderita dan tersiksa dalam penjara, lukisan mereka masih seperti dulu, seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa pada diri mereka," katanya.
Sanggar Bumi Tarung adalah satu dari sedikit sanggar dari masa 1960-an yang masih bertahan hingga kini. Pameran ini bukanlah retrospeksi atas perjalanan mereka, karena karya yang dipamerkan hanya dari masa dua dekade terakhir. Ia lebih tepat menunjukkan perkembangan mutakhir dari sebuah kelompok seni berbasis ideologi politik kiri beserta segenap pencapaian dan kegagalannya.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo