Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demit-demit itu muncul lagi. Dulu, pada zaman Orde Baru, demit-demit itu hidup di bawah pohon beringin yang wingit. Kini mereka berada di hutan Kalimantan.
Itulah pementasan Kutukan Kudungga, Raja Salah Raja Disembah oleh Butet Kartaredjasa dan kawan-kawan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat dan Sabtu dua pekan lalu. Pementasan ini mengingatkan pada pentas Teater Gandrik, Dhemit, pada 1987, yang naskahnya ditulis Heru Kesawamurti (almarhum). Inilah salah satu pertunjukan terkuat Gandrik. Kala itu penonton tahu, para demit tersebut menyindir Partai Golkar.
Kutukan Kudungga adalah pementasan kelima dari program "Indonesia Kita" setelah pentas Laskar Dagelan Jogja, Beta Maluku, Kartolo Mbalelo, dan Mak Jogi. Inilah proyek panjang Butet. Rangkaian pentas di bawah tajuk "Indonesia Jenaka" ini telanjur diminati penonton Jakarta sebagai tontonan ringan yang harus full tawa. Menarik memperhatikan bagaimana siasat Butet dari pentas ke pentas merancang energi banyolan itu.
Dalam pertunjukan kali ini, kru teater semuanya teater Gandrik Yogya. Penonton bisa menduga pentas ini kekurangan aktor dari Kalimantan. Sebab, pemain asli Kalimantan yang dimunculkan hanya penari enggang dan tari hudog. Ini berbeda dengan pentas Mak Jogi, yang mengangkat khazanah Melayu, yang melibatkan pula penyair Melayu, seperti Hoesnizar Hood dan Hasan Aspahani.
Agus Noer, yang menulis skenario, tak kekurangan akal. Kalaupun aktor demit semuanya wong Jowo, mereka disebut demit transmigran. Juga pelawak Marwoto, yang menjadi anggota staf penebang hutan, ya karena itu cerminan banyak orang Jawa bekerja di Kalimantan.
Dengan kru yang sudah solid, tidak susah bagi sutradara Djaduk Ferianto untuk mengembangkan dagelan. Struktur cerita sederhana saja. Para demit mengadu kepada roh leluhur. Mereka sepakat mengadakan perlawanan terhadap manusia. Lawakan mereka juga "humor Mataraman" yang nyerempet-nyerempet politik. "Jangan Partai Demit (PD), nanti dikira nyindir partai buatan manusia," kata sesosok demit.
Marwoto dan Susilo Nugroho atau akrab disapa Den Baguse Ngarso diandalkan sebagai duet pengocok perut. Susilo sebagai pemilik CV Babad Alas berambisi mengeksploitasi kekayaan alam Kalimantan. Marwoto, sang karyawan, semula sependapat, tapi ragu tatkala para demit mulai mengganggu. Apalagi ketika anaknya (Fakhri Bagus Pratama) diculik demit.
Susilo, yang tak percaya akan hal mistis, tak mengindahkan peringatan Marwoto. Bersama asistennya (Whani Darmawan), Susilo pun membawa kekayaan alam Kalimantan. Hingga mereka pun terkena Kutukan Kudungga. Adegan-adegan lucu adalah saat bagaimana demit yang "tak tampak" itu menggoda Marwoto dan Susilo.
Untuk menambah riuh suasana, Djaduk menggandeng band aliran metal, Kapital, ke panggung. Juga, agar berbau penyadaran lingkungan, ia menampilkan anak-anak asuh Dik Doank untuk menyanyikan sebuah lagu karyanya, Alam Guruku, serta tiga lagu karya Dik Doank, Penebang, Ayo Main di Luar, dan Hilang.
Memang pementasan ini lebih terasa "mendadak Gandrik". Teater Gandrik yang dipaksakan. Namun penonton tak peduli. Pokoknya gerrr.
Suryani Ika Sari, SJS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo