Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

'Provokasi Santri-santri' Batu Kapur

Pertunjukan teater yang digelar atas hibah Yayasan Kelola di penambangan Bangkalan, Madura, dan di Dewan Kesenian Malang. Interaksi tubuh dan batu kapur.

13 Juni 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPAT pemuda berkopiah hitam dan bersarung itu berdiri tegap di sebuah tebing miring. Di samping mereka, mesin alat berat backhoe menderu menggaruk-garuk sisi lain tebing. Ketika trompet saronen (instrumen tiup Madura) ditiup tanda pertunjukan dimulai, empat pemuda "santri" bertelanjang dada dan tak beralas kaki itu kemudian duduk bersila. Tangan mereka memutar-mutar gilis (alat tradisional Madura yang terbuat dari batu untuk menghaluskan jagung). Jagung diganti batu kapur.

Lewat pelantang suara, seseorang memanggil mereka. Satu per satu mereka pun menuruni tebing, mendekati penonton dengan berbagai cara. Ada yang berlari zigzag, ada yang berlari di tempat ala militer dengan mata melotot. Ada pula yang kejang-kejang seperti terkena setrum tegangan tinggi. Itulah adegan pembuka pertunjukan teater bertajuk Mini-mini#3 Batu karya Anwari. Sutradara alumnus Jurusan Seni Drama, Tari, dan Musik Universitas Negeri Surabaya tahun 2014 itu menggelar pertunjukan unik di penambangan batu putih di Desa Jaddih, Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan, Madura, Rabu sore dua pekan lalu.

Anwari memanfaatkan sebuah tanah lapang di lokasi penambangan batu kapur milik Haji Mustofa di Kecamatan Socah. Mustofa adalah pemilik tempat wisata kolam renang Goa Pote, yang juga terletak di lokasi tambang galian C terbesar di Bangkalan tersebut. Boleh dibilang lokasi pertunjukan di penambangan batu kapur itu begitu alami, terletak di sebuah lembah yang dikelilingi tebing bukit kapur. Di tebing itu ada ruangan-ruangan kecil tempat para penambang berteduh dari sengat­an matahari.

Pertunjukan teater ini hampir tanpa dialog, kecuali prolog sutradara di awal pentas. Para pemain menampilkan adegan seperti penambang batu kapur tengah ber­aktivitas. Karena itu, pentas ini dimulai pukul 16.00. Waktu ini dipilih lantaran aktivitas penambang sedang ramai. Ada suara mesin chain saw, suara alat berat backhoe, serta deru kendaraan pickup dan dump truck yang hilir-mudik. "Kami lebur dengan realitas kehidupan para penambang batu," kata Anwari. Mereka memulai pementasan pukul empat sore agar benar-benar menyatu dengan aktivitas alami lokasi tambang. "Kami juga meminjam alat berat agar jadi bagian dari pertunjukan," ujar Elyda K. Rara, produser pentas.

Menurut Elyda, pentas diawali dengan survei dua bulan sebelumnya. Setelah menemukan lokasi yang pas, tim meminta izin kepada pemilik tambang. Langkah selanjutnya adalah melakukan pendekatan kepada para penambang dan masyarakat sekitar. Agar masyarakat lokal mau menonton, panitia terpaksa "berbohong" dengan mengatakan pertunjukan yang akan digelar bukan teater, melainkan ludruk modern.

Bagi Anwari, sebetulnya pentas langsung di lokasi tambang tersebut cukup dilematis. Aktivitas penambangan sudah pasti merusak alam. Namun, di sisi lain, tambang batu juga merupakan sumber penghidupan mayoritas warga. Selain penambang, ada kuli angkut, sopir, dan pedagang yang perekonomiannya terbantu. Dari dua aspek itu, Anwari memilih menampilkan kehidupan para penambang ketimbang aspek lingkungan.

l l l

Suasana pementasan di Bangkalan yang langsung berada di lokasi penambangan tentu tidak bisa dibawa total tatkala Mini-mini#3 Batu dipentaskan di joglo Dewan Kesenian Malang (DKM), Jawa Timur, pada 4 Juni lalu. Anwari berusaha memindahkan realitas itu ke atas panggung. Ia membawa satu pickup batu putih dari Madura ke Malang. Batu-batu kapur putih itu diletakkan di depan pendapa DKM. Di pendapa juga ditayangkan di layar cuplikan rekaman pentas mereka di Bangkalan. Penonton di Malang bisa membayangkan bagaimana suasana pertunjukan di Madura dan bagaimana alat berat dihadirkan.

Sayatan gitar metal disertai tiupan saronen memulai pertunjukan. Paduan antara noise metal dan bunyi kering garang saronen menimbulkan paduan sensasi bunyi yang aneh. Empat aktor berkopiah dan bersarung berlari ke sudut-sudut DKM. Mereka kemudian masuk ke "kubangan" batu. Mereka menggetarkan kaki. Lalu mulai mengeksplorasi batu-batu. Penggunaan batu sebagai medium utama dalam teater kontemporer kita bukan pertama kali. Yang monumental tentulah pentas Merah Bolong teater Payung Hitam. Pertunjukan itu menggantung batu-batu besar. Batu kemudian diayun-ayunkan kencang. Tubuh para aktor berkelit di sela-sela ayunan batu. Juga ada gerojokan batu kerikil dari atas. Kurang sigap sedikit, tubuh aktor pasti terhantam batu dan terluka.

Selanjutnya, di Jakarta, pernah Teater Ghanta dalam forum Festival Teater Jakarta membawa batu bata ke panggung. Di panggung, mereka menyusun sebuah petak rumah. Masih ada beberapa lainnya, seperti komponis Wayan Sadra (almarhum) dan koreografer Parmin Ras Surabaya pernah membuat karya dengan menggebuk batu bata di panggung sehingga membuat panggung penuh "asap". Tapi mungkin materi batu kapur putih Madura (bhato kempung) baru Anwari yang menggunakan. Batu-batu putih itu bisa menjadi keunikan tersendiri. Yang diharapkan adalah bagaimana Anwari bisa menyajikan kejutan tak terduga bertolak dari kekuatan dan kelemahan batu kapur itu.

Kita lihat para aktor saling melempar dan menangkap batu. Ada adegan satu per satu batu ditata jadi tumpukan agak tinggi. Lalu batu-batu itu diserakkan dan kemudian ditata lagi. Ada adegan para aktor memecah batu. Ada adegan para santri menggigit pecahan batu. Juga para aktor membentuk pagar batu sekeliling. Seorang aktor mencoba memancing ketawa penonton dengan mempermainkan ketiaknya yang bisa menimbulkan bunyi.

Pentas yang menarik ini bisa lebih intens dan "meneror" apabila variasi dan interaksi antara para aktor berkopiah hitam dan batu kapur itu lebih beragam. Lempar tangkap batu itu, misalnya, bisa dieksplorasi lebih jauh. Adegan seorang perempuan menggoreng remah-remah batu di atas wajan, lalu mengelilingi para aktor pria sembari memukul wajan dan mengguyurkan remah-remah itu ke tubuh mereka, belum bisa dikatakan mencekam. Juga tatkala para aktor berpeci itu mengajak penonton masuk ke area batu, tidak ada permainan batu yang melibatkan penonton. Sepanjang pertunjukan, hantaman, pecahan, pukulan batu, atau tatkala gilis diputar-putar belum menjadi bunyi-bunyian yang bisa memperkaya sayatan cadas gitar dan tiupan saronen.

Adegan demi adegan, walhasil, belum dibina menjadi klimaks yang mengejutkan. Tatkala para "santri" itu memecahkan batu ke dahi, adegan tersebut seperti sebuah adegan sepintas lalu. Belum mampu membawa kita ke sebuah imajinasi tentang rasa keperihan tubuh para penambang. Tubuh-tubuh penambang tradisional yang setiap hari memiliki risiko tertimbun tanah longsor. Menyajikan sebuah karya yang sama dari luar ruangan yang "eksotis" seperti tempat penambangan kapur ke sebuah pendapa tentu harus dengan perhitungan-perhitungan dramatik dan provokasi yang berbeda. Musthofa Bisri (Bangkalan), Seno Joko Suyono (Malang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus