Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

"Mereka Tetap Rasis"

11 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ayahnya seorang indo dari Surabaya, ibunya Belanda tulen. Alfred Birney salah seorang pengarang pascakolonial di Belanda sekarang. Lahir di Den Haag, 1951, ia tumbuh dewasa di berbagai kota di Belanda. Sebenarnya, hingga usianya 30 tahun, Birney seorang pemain gitar. Ia banyak menulis tentang musik. Namun, suatu ketika, saat berlatih kungfu, tangan kirinya cedera dan ia memutuskan untuk menulis novel.

Hingga kini ia telah menulis 11 buku, di antaranya enam novel dan sebuah kumpulan cerita pendek. Tema favoritnya adalah ketidakpastian tempat berpijak: Nederland atau Indonesia. Tokoh-tokohnya tak mampu hidup nyaman di kedua negeri itu, mewakili para indo pengembara yang memiliki negeri leluhur tapi tak punya tanah air.

Masalah eksistensial ini ia tuangkan dalam De Onschuld van Een Vis (Ikan tanpa Salah). Kamis dua pekan lalu, Rana Akbari Fitriawan dari Tempo mewawancarai pengarang berambut gondrong itu usai peluncuran novelnya di Toko Buku QB World Book, Bandung. Berikut ini petikannya.

Mengapa Anda memilih tema indo? Apakah karena Anda juga seorang indo?

Ya, saya tak dapat lari dari kenyataan bahwa saya memang indo. Sejak saya kecil, orang selalu bertanya, "Hei, Nak, kamu lahir di mana?" Saya jawab, "Di Den Haag, Nederland." Dia berkata lagi, "Tapi kamu tidak terlihat seperti orang Belanda. Ibumu berasal dari mana?" Saya jawab, "Belanda." Dia bertanya lagi, "Ayahmu berasal dari mana?" Saya jawab, "Indonesia." Maka, dia berkata, "Oh, berarti kamu orang Indonesia." Saya katakan, "Bukan. Saya asli Belanda." Tapi dia berkata lagi, "Ya. Tapi ayahmu dari Indonesia, orang Indonesia. Jadi, kamu sama dengan ayahmu, berarti kamu orang Indonesia." 

Hingga sekarang, Anda masih merasakan perlakuan seperti itu?

Itu tidak hanya saya rasakan sebagai generasi kedua indo di Nederland, tapi juga oleh anak saya. Dia berusia 11 tahun dan kerap ditanya seperti itu. Jadi, saya tidak hanya menjawab pertanyaan orang-orang Belanda, tapi juga pertanyaan anak saya.

Berapa jumlah orang indo di Nederland?

Kurang-lebih setengah juta orang, terbagi dalam tiga generasi. Ayah saya lahir di Surabaya. Dia termasuk generasi pertama. Tulisan saya dianggap penting oleh orang indo yang posisinya sama seperti saya. Sebab, orang "Belanda asli" (Dutch) tidak mengerti apa yang saya bicarakan. Mereka hanya mengatakan, "Ini tidak benar." Mereka menyangkal kenyataan ini dengan mengatakan, "Saya tidak rasis. Saya hanya bertanya kamu berasal dari mana." Begitulah cara mereka berkilah. Padahal saya sudah menuliskannya secara gamblang. Mereka juga sudah membaca tulisan-tulisan saya yang lain. Tapi mereka tidak mengerti. Mereka tetap rasis!

Lalu, Anda memilih pembaca Indonesia untuk membagi pemikiran Anda?

Dua tahun yang lalu saya ke Indonesia saat membahas novel saya, Lalu Ada Burung. Saat itu saya melihat ternyata orang Indonesia punya pemikiran berbeda dalam menyikapi orang indo. Saya terkejut sekaligus senang. Setelah itu, saya kembali ke Belanda. Tidak lama kemudian saya mendapat informasi bahwa novel saya mendapat sambutan cukup bagus di sini. Maka, saya merasa lebih comfortable di sini. Saya tidak harus menjelaskan tentang apa pun yang berkaitan dengan indo. Walaupun tentu saja saya juga harus menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar itu, masyarakat Indonesia menanyakannya secara terbuka. Mereka jauh bisa lebih menghargai keberadaan kami.

Adakah penulis lain yang juga menulis tentang orang indo? Apa perbedaan spesifik antara Anda dan mereka?

Ada beberapa penulis, sekitar lima enam orang. Di antaranya Mariam Bloom. Perbedaannya mungkin dalam gaya. Mereka menulis lebih pada segala sesuatu tentang indo, sedangkan saya mencoba memberi warna sastra dan seni. Setiap buku yang saya tulis saya usahakan dengan cara pengungkapan yang baru. Saya menulis dengan cara yang belum saya tulis di buku-buku saya sebelumnya. Bagi saya, tidak cukup hanya mendeskripsikan keberadaan seorang indo.

Bagaimana proses lahirnya Ikan tanpa Salah?

Sejak semula saya sudah punya gambaran seperti apa buku yang akan saya tulis. Kemudian saya pikirkan apa yang akan saya lakukan dengan gambaran itu. Novel Ikan tanpa Salah saya selesaikan dalam 12 bulan, tapi masih kurang tiga halaman terakhir—yang terus saya perbaharui sampai memakan waktu tiga bulan. Sampai tiba-tiba saya mendapat ide yang cocok, dan tiga halaman itu bisa saya selesaikan dalam sehari saja. Sedangkan novel Lalu Ada Burung saya tulis dalam tiga tahun.

Ada novel Anda lainnya yang juga bercerita tentang indo?

Ada, tapi tidak mirip seperti Ikan tanpa Salah, karena novel ini lebih spesifik. Tapi saya juga menulis beberapa esai yang menceritakan persoalan ini, khususnya tentang perlakuan rasis yang harus diterima oleh para indo.

Apa novel terbaru yang sedang Anda garap saat ini?

Novel terbaru saya dalam bahasa Inggris, berjudul The Lost Song.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus