Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ikan tanpa Salah (De Onschuld van Een Vis) Pengarang: Alfred Birney Penerjemah: Widjajanti Dharmowijono Penerbit: Galang Press, Yogyakarta, 2004, xv + 277 halaman
Darah campuran Indonesia-Belanda mengalir dalam tubuhnya. Ia pun terombang-ambing antara dua dunia dan penuh ketegangan akibat paradoks dalam dirinya. Malangnya, pribadinya lemah dan labil, tak pernah bisa bersikap. Ia tinggal di Nederland, tapi cara hidupnya Indonesia. Pola pikirnya tetap dibawa ke masa ketika ia masih di Indonesia sebagai perwira Belanda yang menginterogasi para pejuang Indonesia. Tubuhnya di Barat, jiwanya di Timur.
Dunia indo memang dunia simalakama. Mengutip Jakob Sumardjo, yang menulis pengantar novel ini, di luar kemampuannya, seorang indo terjebak dalam dunia yang saling bertentangan. Seorang Indo-Belanda bukan orang Belanda dan bukan orang Indonesia. Ia berada di mana? Berdiri sebagai orang Belanda, ia akan dicurigai dan dimusuhi orang Indonesia. Begitu pula sebaliknya. Posisi itu memunculkan sosok yang paradoks yang hidup dalam kegelisahan.
Cukup menarik, Alfred Birney, 53 tahun, melukiskan ketegangan seorang indo dalam novelnya, De Onschuld van Een Vis, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Ikan tanpa Salah. Ketegangan hidup seorang indo yang mengkompensasi kelemahannya dengan tindakan-tindakan keras terhadap anak-istrinya. Ketiga anaknyaJoshua, Eduard alias Edu, dan Ellahidup di tengah kediktatoran ayahnya.
Novel ini dimulai dengan kedatangan Edu, anak kedua dari seorang ayah Indo-Belanda yang tak pernah disebutkan namanya, ke sebuah rumah milik ayahnya itu yang menghilang ke Indonesia meninggalkan keluarganya di Nederland. Atas perintah ibunya, perempuan Belanda tulen, rumah itu harus dikosongkan dari harta benda milik suaminya, kemudian dijual. Tugas itu dapat dilaksanakan oleh Edu, yang juga seorang guru sejarah.
Jalinan kisah sederhana ini jadi menarik ketika dituturkan secara flashback. Setiap benda di rumah itu membawa Edu ke masa silam yang getir bersama ayahnya. Beban psikologis masa silam itu menghantuinya, terombang-ambing antara kebencian dan kerinduan terhadap sang ayah yang merusak masa kanak-kanaknya.
Ikan tanpa Salah menyajikan masalah keindoan bukan semata urusan darah campuran, melainkan kisah yang mendalam memasuki relung batin seorang keturunan indo. Dan sepenuhnya novel transnasional ini merupakan cerita yang sarat dengan perasaan sesak. Edu dan keluarganya ingin melenyapkan "bau indo" ayahnya sehingga "beratnya kaki lelaki ini pada bahu mereka yang mengisi seluruh rumah dengan beban napasnya yang beku" segera lenyap.
Novel ini tak dapat dibaca sekali telan, tapi harus dikunyah dulu lantaran gaya berceritanya yang liris ketimbang naratif-kronologis. Ceritanya terjalin antara masa lampau, kini, dan mendatang. Dan semuanya terpusat pada kegelisahan seorang lelaki indo. Meski tebalnya hanya 277 halaman, novel ini mengandung persoalan kemanusiaan besar: keindoan, darah campuran antar-ras. Ada keterombang-ambingan psikologis, pergulatan eksistensi seorang indo, ketidakpastian tempatnya berpijak: Nederland atau Indonesia.
Novel ini menyejajarkan Birney dengan penulis transnasional lainnya seperti Salman Rushdie, yang menggambarkan India dari kediamannya di Inggris, atau Amy Tan, yang melukiskan Cina dengan warna Amerika. Penulis transnasional lebih cenderung menyuguhkan setting yang serba fragmented dan simbolis, tidak utuh dan realistis. Dari sisi ini, harus diakui Birney telah berhasil. Namun, dari sisi penerjemahan, novel yang aslinya berbahasa Belanda ini terasa kedodoran.
Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo