HAMKA DI MATA HATI UMAT Oleh: Nasir Tamara, et-al. Penerbit: Sinar Harapan, Jakarta, 1984, 421 halaman KECUALI di awal dan di ujung, inilah buku yang sarat dengan kenangan. Ada kenangan yang bersifat analitis, dan ada pula kenangan emosional - produk sosialisasi Hamka ke dalam batin penulis. Dilihat dari cara penyajian buku ini - juga sedlkit agak mengena dengan judul yang diberikan, "di mata hati umat" - asumsi yang mendorong pertanyaan siapa Hamka menjadi tidak perlu titik. Sebab, penulis seakan-akan dirancang untuk memperjelas betapa proses soslalisasi Hamka telah sangat mendalam di hati berbagai kalangan, profesi, generasi, dan bahkan "lintas agama". Penulis kalangan wartawan diwakili oleh Harmoko, Titik W.S., dan Emnast. Kalaangan sastrawan diwakili oleh S.I. Poeradisastra. Generasi muda oleh Buntaran Sanusi, Farchad Poeradisastra, Fahmi Idris. Dari kalangan tua muncul E.Z. Muttaqien, Zainal Abidin Ahmad (almarhum), Mukti Ali, dan K.H. A. Syaichu. Kalangan nonpergerakan Islam diwakili Adnan Buyung Nasution dan Ibnu Sutowo. Sedangkan dari lintas agama, Victor Tanja, Sides Sudyarto. Tak lupa Ivo Nilakhresna dan Rahayu Effendi mewakili artis, dan beberapa penulis lain yang tidak bisa disebut - karena banyaknya. Seperti disebutkan di atas, pada umumnya kelompok ini mengungkapkan kenangan tentang Hamka dan perspektif dirinya sendiri. Poeradisastra - yang agak analitis - dengan sikap pembelaan diam-diamnya terhadap Hamka dari serangan plagiat. Sudyarto menolak asumsi Teeuw yang menyatakan Hamka bukan pelopor sastra Islam Indonesia sampai pada Rahayu yang terkesan oleh teguran "orang tua" itu di Roma, dan Ivo yang merasa terlindungi oleh Hamka dari kekangan ayahnya sebagai penyanyi. Tentu saja, kalangan tua lebih senang mengenang perjuangan Hamka. Namun - inilah salah satu kelemahan editor buku ini - denonstrasi ungkapan perasaan ini terjebak ada pengulangan. Riwayat hidup Hamka yang sejak ia masih hidup telah banyak diketahui orang, terulang pada hampir setiap penulis. Sangat kuat kesan bahwa editor tidak memberikan pengarahan terperinci tentang segi-segi apa yang harus ditulis - yang belum dllihat orang - tentang Hamka. Hingga, membaca buku ini sedikit melelahkan. Syukurlah, kelelahan itu dipersegar oleh tinjauan Abdurrahman Wahid dan Taufik Abdullah. Dan, mungkin, inilah bagian terpenting dari penyajian Hamka di Mata Hati Umat. Sebab, Abdurrahman membuka wawasan baru tentang Hamka, sementara Taufik memperjelas letak Hamka dalam dinamisme perubahan struktural dunia keulamaan Indonesia. Namun, kritik pun harus ditujukan kepada kedua orang ini. Sebab, harus dilihat, pembukaan Abdurrahman dan kesimpulan Taufik hampir merupakan tulisan yang berdiri sendiri, nyaris tidak ada hubungannya satu sama lain. Sungguhpun begitu, kedua orang inilah yang telah membuka kesadaran dan pemahaman baru tentang Hamka, meski dalam pendekatan dan hasil yang berbeda. Abdurrahman melihat Hamka sebagai obyek penelitian secara dingin. Dengan mencoba mengesampingkan puja-puji tentang Hamka selama ini - baik di dalam buku ini maupun di luar - ia mencoba mendiagnosa label-label yang dilekatkan kepada Hamka. Sebagai sastrawan, tulis Abdurrahman, Hamka tidaklah begitu berhasil. Selain bersifat lokal, karya-karyanya itu tidak mampu merangkum milai-nilai kemanusiaan yang universal. Sebagai politisi, tidak cekatan bersiasat. Sebagai ulama? Hamka adalah seorang ulama. Sangatlah sukar menempatkannya baik di mata ulama sendiri, apa di mata awam - bahwa Hamka bukan ulama. Duduknya ia sebagai ketua umum MUI merupakan bukti sah akan label ini. Tapi Hamka tidak pernah mengembangkan disiplin ilmu-ilmu agama (Islam) yang spesifik. Karena itu, kehadirannya sebagai ulama tidak mendatangkan kebutuhan ulama-ulama lokal yang mendalami secara spesifik salah satu disiplin ilmu agama untuk berdiskusi. Ia tetap berada di tengah-tengah. Walhasil, di tengah kemandekan semua label yang dilekatkan kepadanya, Hamka dinilai sangat berhasil sebagai "penghubung" dari berbagai macam kehendak dan aspirasi kelompok yang berjenis-jenis pula. Dengan pendekatan ini, jelas Abdurrahman berpengharapan besar terhadap Hamka - tokoh yang, menurut dia, karena situasi dan sejarah, tidak berkesempatan menelaah karya-karya besar dan berat. Atau mungkin juga sekadar ingin menyeruak mitos yang selama ini meliputi Hamka? Taufik Abdullah tidak memandang Hamka dengan dingin. Melainkan dengan apresiasi. Hamka lebih dilihat sebagai manusia yang terikat dengan keterbatasan sejarah dan kondisi - suatu lingkungan tempat hidup berbagai jenis manusia dalam jumlah puluhan juta, toh Hamka bisa lahir secara maksimal, melebihi puluhan juta lainnya. Kekuatan teoretis Taufik Abdullah telah menyebabkan ia mampu menyajikan tempat Hamka dalam dinamisme struktur keulamaan Indonesia. Kerangka konseptual sosiologisnya yang menempatkan Hamka sebagai pemimpim dalam kaitannya dengan komunitas Islam telah mendorong banyak pengertian posisi Hamka. Sebagai pemimpin, ujarnya, kita seakan dipaksa untuk menanyai diri kita. Justru karena kehadiran orang yang dianggap besar telah dianggap bagian dari kita, la biasanya tidak lagi dilihat secara utuh. Kalimat ini tampaknya memberikan jawaban mengapa mitos Hamka demikian kuat melekat di kalangan masyarakatnya - sesuatu yang juga dikaji Abdurrahman Wahid. Dengan mengutip secuil ucapan Hamka, Juli 1975, Taufik telah berhasil merekonstruksikan dinamika ulama yang dikaitkan dengan amat relevan pada perjalanan Hamka sendiri, sebagai ulama. Pasang surut struktur keulamaan telah menempatkan peran dan fungsi ulama secara spesifik pula. Suatu saat ulama dianggap sebagai penguasa politik - karena penguasaan agama. Tapi ketika cap ini established, kekuatan politik dan ekonomi menciptakan struktur lain bagi ulama. Ia menjadi bagian yang dependen dari pemerintahan. Dengan sedikit beda, perubahan-perubahan inilah yang terjadi dalam struktur keulamaan Minangkabau, tempat Hamka lahir. Surau merupakan bagian paling dasar dari struktur keulamaan. Dengan struktur ini, peran dan fungsi ulama ditetapkan. Ia menjadi tokoh yang menetap, tidak mobil. Karena itu, jangkauan popularitasnya sangat bersifat lokal. Dan karena itu pula keabsahannya sebagai ulama ditentukan oleh pengakuan formal ulama lainnya. Struktur ini baru dipecahkan oleh gelombang reformasi kedua - setelah reformasi Paderi a la Wahabiah gagal meruntuhkan struktur itu. Seiring pula dengan ini, berkembang teknologi komunikasi yang memungkinkan seseorang merealisasikan dirinya tanpa berhubungan langsung dengan khalayak. Suasana imilah yang memberikan struktur baru bagi ulama Minang. Lahirlah sekian banyak sosok ulama yang peripatetics - selalu mobil dan bergerak. Hamka lahir dalam situasi ini. Dan keulamaannya - dalam struktur baru - tidaklah selalu harus melalui pengakuan formal ulama lain, melainkan juga dari penghargaan umum umatnya. Dalam kerangka inilah, agaknya, menurut Taufik, Hamka harus dipahami. Tidak lagi dari konteks pesantren. Dari perbedaan pendekatan dan hasilnya, terasa ada polemik diam-diam antara pendahuluan dan penutup. Suatu buku yang terasa agak aneh. Mungkin inilah yang disebut kasunyatan. Fachry Ali Peneliti pada LPES
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini