be a clock watcher be a good manager of time (Louis B. Lundborg) MUNGKIN Anda tidak kenal Almarhum Lundborg, seorang bijak yang banyak menulls tentang etika manajemen. Ketika memimpin Bank of America, Lundborg-lah yang meluncurkan VISA suatu sistem universal untuk pembayaran melalui bank. Waktu memang suatu sumber daya yang perlu dikelola. Orang Indonesia sudah terlalu lama diejek sebagai manajer waktu yang buruk. Kita sering dicap sebagai hangsa santai yang tiak hirau akan keterbatasan dan kekuatan waktu. Dalam terbitan 23-30 Desember 1983 yang lalu, majalah Asiaweek tanpa tedeng aling-aling menyatakan kegusarannya akan rendahnya mutu bangsa kita dalam mengendalikan waktu. Majalah itu mengundang seorang sastrawan Indonesia untuk menjadi juri dalam sayembara mengarang cerita pendek yang mereka seIenggarakan tiap tahun. Sastrawan kita itu telah menyatakan kesanggupannya. Pada Mei 1983 ia telah pula menerima 00 cerpen untuk dinilai, dengan catatan bahwa daftar peailaiannya sudah harus diserahkan pada pertengahan Juli 1983. Pada ahhir Juli, ia mengirim kawat, menyatakan baha ia baru saja bermuhibah selama sebulan penuh di Jepang. Daftar nilai, janjinya dalam kawat itu, akan dikirimkannya "minggu depan". Tetapi daftar nilai itu tidak kunjung muncul di meja redaksi Asiaweek. Setelah berulang kali diberi peringatan, akhirnya - pada akhir November - sastrawan kita itu menjawab "Sakit saya yang lama dari penugasan-penugasan di lapangan membuat saya tidak mampu menyelesaikan penjurian itu. Tetapi pasti akam saya selesaikan akhir Desember nanti. Terimalah maaf saya." Asiaweek memaang menerima maafnya. Tetapi majalah itu tidak menerima janji barunya. Para pemenang lalu diputuskan berdasarkan pemilaian empat juri dari Hong Kong, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Ya, tapi dia 'kan sastrawan, mungkin begitu kilah Anda. Tetapi contoh lain hanya akan memperpanjang tulisan ini. Sudah berapa kali rencana Anda terganggu karena rapat yang terlambat selesai karena terlambat dimulai karena boss terlambat datang? Waktu memang selalu berkaitan dengan janji. Blla kita membuat janji, klta selalu menyebut waktu. Tetapi waktu berbeda dengan janji. Waktu menjamin kepastian, detiknya tidak pernah henti. Tiap detik ia berubah menit, tiap 60 menit ia berubah jam, dan demikianlah hari berganti. Sedangkan janji? Dapatkah kita jamin kepastiannya? Presiden Reagan, yang sudah jengkel dengan janji-janji Rusia, suatu ketika terdengar mengumpat: "Janji itu ibarat pie crusts, kue yang dibuat memang untuk dipecahkan." Orang yang hermain-main dengan waktu adalah orang yang bermain-main dengan janji. Keterlambatan seseorang menepati kesepakatan waktu merusakkan sebuah sistem. Tidak heran bila dalam dunia pers suatu kesepakatan waktu dinyatakan dengan istilah deadlinec, garis mati. Siapa yang melanggar garis itu pasti akan "mati" Waktu jelas merupakan suatu sumber daya yang terbatas dan tidak teperbarukan. Karena itu, waktu multlak perlu diatur, di-manage, dan dianggarkan. Dalam membuat rencana kegiatan, kita sering njelimet menanggarkan dana, tetapi kita sering sembrono menganggarkan waktu. Dana pun lebih njelimet dipertanggungjawabkan. Tetapi waktu tidak. Kenapa begitu? Bukankah keduanya sama-sama merupakan unsur yang bisa dikuantifikaskan? Ketika hampir tiba pada ujung sasaran yang ingin kita capai, kita sering tersentak karena ternyata kita sudah kehabisan waktu. Lalu kita memukul dahi sambil menyesali "Ah, andainya satu hari itu lamanya 26 jam ...." Persis seperti orang yang hendak menarik uang dua juta rupiah dari bank dan baru menyadari bahwa dananya ternyata tinggal sejuta rupiah. "Waktu mengalir," begitu kata orang Barat, yang sering kita dengar. Dan itu memang sebuah keniscayaan yang tidak bisa digugat. Memang ada pepatah yang mengatakan "Lebih baik terlambat daripada tidak sama srkali " Tetapi keterlunbatan pun tidak jarang membawa petaka. Bondan Winarno.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini