Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya : Pewarta Foto Indonesia
Tempat : Galeri Foto Jurnalistik Antara
Waktu : sampai dengan 14 Januari 1999
Bagi lensa fotografer Indonesia, 1998 adalah bencana dan "keberuntungan". Bencana itu bernama krisis ekonomi yang berkepanjangan. "Keberuntungan" itu bernama lengsernya Soeharto. Bencana itu bernama penembakan mahasiswa Trisakti,
kerusuhan Mei, hingga tragedi Semanggi. "Keberuntungan" itu bernama sekelumit udara kebebasan berpolitik, bersuara, dan berpendapat (kritis).
Sebuah organisasi baru yang menamakan dirinya Pewarta Foto Indonesia (PFI) menyajikan sebuah pameran foto di Galeri Foto Jurnalistik Antara yang berupa sebuah kilas balik peristiwa tahun 1998. Tahun 1998 memang sebuah tahun dahsyat bukan hanya bagi para fotografer (Indonesia), juga bagi seluruh rakyat Indonesia. Itu semua dimulai dengan sebuah krisis ekonomi yang berkepanjangan, demonstrasi mahasiswa yang tiada henti, terungkapnya kasus penculikan aktivis, dan penembakan mahasiswa Trisakti yang kemudian disusul dengan klimaks berhentinya Soeharto dari jabatan Presiden RI setelah berkuasa secara otoriter 32 tahun. Setelah itu semua, kekerasan demi kekerasan terjadi seperti "hawa yang kita hirup dan iklim yang kita hidupi sehari-hari", demikian tulis Sindhunata dalam kata pengantarnya pada katalog pameran itu.
Kekerasan, seperti yang dihamparkan oleh para fotografer, menjadi sebuah perjalanan tanpa ujung. Lubang peluru di punggung Elang Mulya (foto Tubuh Kaku Elang Mulya dan Ketabahan Sang Ayah karya Eddy Hasbi), mahasiswi yang tergeletak di pinggir jalan (Korban Tragedi Trisakti,12 Mei 1998 karya Julian Sihombing), Penjarahan di Kawasan Senen karya Agus Wahyudi, foto wajah keras Aparat Menembak karya Kemal Jufri, atau esai foto Weda yang menggambarkan momen-momen saat sebuah mobil yang dilempar massa dari jembatan layang pada kerusuhan Mei, adalah sebagian kecil dari rentetan kekerasan yang telah menjadi realita di lapangan bagi fotografer dan realita sehari-hari bagi warga Indonesia. Jika di masa lalu, masyarakat awam selama puluhan tahun lamanya hanya memandang kekerasan dari balik layar kaca televisi atau rekaman fotografer di media cetak, sejak kerusuhan Mei dan seterusnya, kekerasan menjadi oksigen yang kita hirup secara paksa. Kekerasan akhirnya sebuah kata kerja yang dialami dan dipahami para fotografer dan warga Indonesia.
Lalu di mana ujung semua ini? Adakah harapan? Para fotografer PFI tidak berpretensi untuk menjawab pertanyaan itu. Tetapi mereka juga tidak berpretensi untuk membawa realita yang sesungguhnya ketika merekam kekerasan yang terjadi sejak "lengser sampai Semanggi". Puluhan foto yang dipamerkan itu tentu saja hanya sebagian imaji--dari pilihan, seleksi mata, dan lensa fotografer--dari realita yang ada.
Tentu saja pameran tersebut juga menyajikan foto-foto yang seolah menyajikan setitik harapan di ujung terowongan gelap. Misalnya, foto karya Saptono yang menampilkan kegembiraan mahasiswa yang meluap di depan televisi saat Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden RI atau foto mahasiswa Triskati yang berpose di depan istana setelah berhasil menerobos barikade di kawasan ring satu karya Gino F. Hadi. Itulah foto-foto yang memperlihatkan bahwa mereka--mahasiswa yang dengan gagah dan keras menduduki DPR yang akhirnya menjadi ujung tombak untuk mendesak pengunduran diri Soeharto--sebenarnya juga sekelompok anak muda yang masih sangat menikmati kebugaran dan kemudaan dengan tingkah laku yang sungguh remaja.
Krisis ekonomi, meski hanya diwakili oleh beberapa foto yang amat baik dan wajah-wajah penjarah yang dengan gelagapan menyeret hasil jarahannya, seperti sebuah mesin cuci adalah sebuah potret ironi. Inilah potret sebuah kegagalan "kisah sukses" yang dibanggakan oleh Orde Baru selama 32 tahun. Dan "kisah sukses" ekonomi Orde Baru yang kini sendi-sendinya mulai runtuh telah memperlihatkan keruntuhan struktur politik dan sosial. Itu terlihat dari serangkaian foto-foto karya Rully Kesuma yang memperlihatkan seorang pengendara motor dihadang dan dikeroyok Pam swakarsa.
Tentu saja pameran itu mengandung unsur kelemahan. Mungkin karena diorganisir oleh sebuah persatuan fotografer, sehingga ada keinginan untuk bisa menyajikan karya setiap fotografer. Maka foto-foto yang seremonial--yang tidak layak dipajang oleh galeri setingkat GFJA--seperti foto empat tokoh Ciganjur yang melambaikan tangan kepada wartawan atau foto Soeharto di Kejaksaan (yang pasti dipotret oleh ratusan fotografer lainnya dari sudut yang sama) akhirnya memperlihatkan bahwa PFI harus lebih selektif di tahun mendatang.
Indonesia kini memang menjadi salah satu pusat lensa dunia. Semua fotografer mengarahkan kamera ke bumi ini sejak awal tahun 1998 ketika kedudukan Soeharto mulai terguncang oleh krisis ekonomi dan protes mahasiswa. Dan PFI telah memperlihatkan bagaimana lensa kameranya bekerja dengan baik dan jernih. Lensa itu bernama: "1998".
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo