HUJAN batu di negeri sendiri, hujan dolar di negeri orang. Itulah nasib dunia pelayanan kesehatan di negeri ini. Sementara layanan kesehatan dalam negeri jauh dari memuaskan, sejumlah dokter Indonesia malah "jual jasa" ke negeri orang. Terbetik berita, dokter dan perawat Indonesia ternyata justru diminati negara lain. Negara-negara Timur Tengah dan Belanda, misalnya, perlu mengimpor ratusan tenaga medis dan paramedis dari sini.
Kesempatan itu berarti peluang untuk menambang dolar di negeri orang. Syaratnya? Tunggu saja. Januari 1999 ini akan segera diumumkan sejumlah lowongan di negeri orang. Di Belanda, yang terkenal dengan kecanggihan pengobatan kanker itu, para dokter umum Indonesia ternyata dibutuhkan oleh pemerintah Belanda. Dokter Indonesia itu akan disebarkan ke rumah sakit di beberapa kota. Bagi yang terpilih berangkat ke Belanda, selain dolar, tentu saja mereka berkesempatan memperdalam ilmunya. Sehingga, bila kelak pulang ke Tanah Air, keahlian sebagai dokter spesialis bisa sekaligus dikantongi.
Permintaan tenaga dokter ini awalnya dirintis oleh para perawat yang sebelumnya sudah lebih dulu "diekspor". Melalui perusahaan jasa tenaga kerja Grup Binawan, sudah ratusan perawat dikirim dalam empat gelombang. Kerja mereka rupanya memuaskan pihak Belanda dan permintaan meningkat ke bidang keahlian lain, yaitu tenaga dokter. Sebetulnya secara resmi pemerintah Belanda dan Indonesia telah meneken nota kesepahaman sejak 1989. Tapi tampaknya baru tahun ini pengiriman dokter bisa direalisasi. Pelaksanaannya dilakukan Binawan, yang telah berpengalaman mengirim 200 perawat ke Belanda dan 600 perawat ke Timur Tengah, sedangkan pengiriman ke Belanda diurus de Bieslaundhof, perusahaan jasa tenaga kerja dari Belanda.
Menurut Presiden Direktur Grup Binawan, Saleh Alwaini, untuk mempersiapkan sumber daya manusianya saat ini Binawan bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). "IDI akan menyiapkan modul-modul pelatihan dan melatihnya. Yang lolos itulah yang dikirim," kata Ketua IDI, Merdieas Almatsier. Rencananya bulan ini juga sudah bisa diputuskan jangka waktu kontrak dan berapa jumlah dokter yang akan dikirim. "Pihak Belanda menunggu, Indonesia maunya apa. Peluang sudah dibuka, sekarang terserah kita," kata Saleh, yang juga Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia.
Rupanya, tenaga medis dan paramedis Indonesia sedang naik daun. Saat ini Binawan juga mendapat "tantangan" semacam itu dari Arab Saudi. Negeri gurun itu tengah membangun banyak sarana kesehatan, sampai-sampai kementerian kesehatannya tidak sanggup mengoperasikan fasilitas kesehatan itu dengan tenaga lokal. Tenaga kesehatan Indonesia, menurut Saleh, ditawari mengelola rumah sakit secara penuh. Jadi mulai dari direktur, dokter, tenaga paramedis, hingga pegawai kebersihan pun diserahkan sepenuhnya kepada tenaga Indonesia. "Sekarang tergantung kita, sanggup mengelola berapa rumah sakit," ujar Saleh. Dalam hitungan Saleh, satu rumah sakit berkapasitas 300 tempat tidur di Saudi membutuhkan sekitar 100 dokter.
Tawaran ini mungkin bisa menjawab persoalan menumpuknya tenaga medis di sini. Setiap tahun dihasilkan kurang lebih 15.000 perawat dan 3.000-an dokter. Dan sejak pemerintah memberlakukan program pegawai tidak tetap (PTT) pada 1992 bagi lulusan baru, hanya 15 persen dokter yang bisa diserap pemerintah. Selebihnya, ya, harus mencari pekerjaan sendiri.
Sebetulnya, jumlah dokter Indonesia yang sekitar 40 ribu itu tak sebanding dengan 200 juta lebih penduduknya. Tapi, karena daya serap rumah sakit swasta serta kemampuan pemerintah yang masih terbatas, para dokter itu tak mudah mencari pekerjaan. Maka pemerintah pun tak keberatan jika para dokter menerapkan ilmunya di negeri orang, asal menyelesaikan wajib kerjanya. "Kalau sudah selesai tugas PTT, mereka bebas memilih. Jadi tidak mengganggu," kata Menteri Kesehatan, Farid A. Moeloek.
Fanda, lulusan Sekolah Perawat Kesehatan Jakarta, mengaku tertarik dengan tawaran ini. Ia, yang pernah bekerja di Belanda selama 15 bulan dan kini meneken kontrak baru untuk bekerja di Delf, Belanda, mengaku mendapat banyak peluang berkembang. "Di sana ada sedikit kelebihan. Bisa dapat ilmu dan gaji yang lebih baik," kata Fanda. Di Belanda, Fanda, yang bekerja delapan jam per minggu, memang sempat bersekolah di Princes Margriet School. Dan penghasilannya lumayan: US$ 1.000 per bulan. Tentu saja sudah menutup biaya kursus untuk persiapan ke Belanda pada tahun 1996, yang hanya Rp 1,9 juta.
Gabriel Sugrahetty, Dwi Wiyana, dan Ardi Bramantyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini