Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ratna Asmara, sutradara perempuan Indonesia.
Jejak karyanya tak banyak diketahui publik.
Karya filmnya banyak yang hilang dan rusak.
SUASANA perdesaan yang asri, 1925. Sukaesih, gadis desa terlihat bahagia atas kedatangan sepupunya, Akhmad, dan temannya yang datang dengan menumpang delman. Sukaesih dibesarkan oleh paman dan bibinya, ayah-ibu Akhmad. Sukaesih dan teman Akhmad, Samsi, saling mencinta. Tapi kemudian Sukaesih pergi dari rumah itu karena kehamilannya akibat hubungan dengan kekasihnya. Ratna mengawali filmnya dengan pengantar, narasi suara perempuan yang kemudian diketahui adalah Sukaesih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para aktor muncul tanpa bicara. Hingga kemudian muncul adegan Leo alias Musanib, mantri yang tengah berjaga di rumah sakit, menerima telepon Sundari, istri Samsi yang panik dan meminta Samsi pulang karena anaknya sakit. Tak lama kemudian muncul seorang perempuan membawa bayinya, juga mencari Dokter Samsi. Leo tak mengizinkan perempuan itu bertemu langsung dengan Samsi dan memintanya menunggu. Tak lama, perempuan itu meninggalkan bayinya di rumah sakit itu. Inilah sebuah adegan menyentuh di awal film berjudul Dr. Samsi. Film karya Ratna Asmara ini pada Rabu, 8 Maret lalu, diputar di Goethe Haus, Jakarta, untuk memperingati Hari Perempuan Internasional sekaligus Hari Film Nasional yang jatuh pada 30 Maret nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelas Liarsip, kelompok belajar virtual yang memfokuskan perhatian pada arsip film, restorasi, dan sejarah para puan dalam sinema Indonesia, menggelar pemutaran film dan diskusi pada malam itu. Pemutaran film ini sudah berlangsung enam kali. Film ini pertama kali diputar untuk publik di Museum Film EYE, Amsterdam, Belanda, pada Mei 2022, kemudian di beberapa tempat di Indonesia, seperti Bali, Sulawesi, dan Yogyakarta melalui Jogja-NETPAC Asian Film Festival. Kelas Liarsip didirikan oleh Umi Lestari, Julita Pratiwi, Efi Sri Handayani, Imelda Taurina Mandala, Lisabona Rahman, dan mendiang Siti Anisah.
Acara presentasi dan pemutaran film “Dr. Samsi” (1952) karya Ratna Asmara yang diselenggarakan oleh Kelas Liarsip di GoetheHaus, Jakarta, 8 Maret 2023. Tempo/Ratih Purnama
Film Dr. Samsi memperlihatkan karya Ratna yang mengadaptasi naskah teater yang ditulis mantan suaminya, Andjar Asmara, yang dimainkan Teater Dardanella yang melanglang buana. Dari film ini Ratna memperlihatkan adaptasi yang lebih hidup dengan alur cerita yang lebih jelas. Ini terlihat dalam adegan yang kemudian memperlihatkan keluarga Dokter Samsi, yaitu istrinya, Sundari, dan putranya, Sugiat. Sebuah keluarga gedongan dengan dua asisten rumah tangga yang kocak dan tak pernah akur. Sugiat diperlihatkan menjadi seorang terpelajar dan berprofesi sebagai pengacara lulusan luar negeri
Cerita beranjak pada kisah Leo yang menikahi Sukaesih. Leo dipecat dari tempat bekerjanya karena kerap mabuk. Leo yang miskin hidup tak karuan. Ke mana-mana ia berjas tapi awut-awutan. Sukaesih pun harus hidup dalam rumah tangga yang toksik—suami pemabuk, ringan tangan, serta tidak bertanggung jawab secara ekonomi. Sukaesih berperan sebagai bumper ekonomi keluarga dengan menjadi penjahit, menyembunyikan sisa uang belanja yang diberi Leo sebelum diminta untuk membeli minuman keras.
Dramaturgi yang apik diperlihatkan Ratna menghidupkan dan mempertajam naskah di panggung. Dengan munculnya beberapa tokoh yang semula tak ada di naskah, ada nuansa komedi pada tingkah kedua asisten rumah tangga Dokter Samsi; bumbu kocak tingkah lingkaran pertemanan Leo; romantisme Sugiat dan Nini, pacarnya; gestur intim antara ibu dan anak; dan kepiluan hidup Sukaesih. Penonton bisa melihat estetika yang disuguhkan Ratna dengan iringan musik dan lagu-lagu Betawi serta "dansa" ala Melayu.
Ratna Asmara saat membintangi film "Kartinah" (1941). Wikipedia
Di naskah, Sukaesih tak banyak "bersuara". Tokoh antagonis Leo menjadi motor cerita mengantarkan Sukaesih hingga klimaks. Hingga datangnya petaka yang menewaskan Leo dan membuat Sukaesih jadi terdakwa. Sukaesih menjadi seseorang dan mempunyai suara serta keputusannya sebagai perempuan. Ini dimulai ketika ia hamil oleh Dokter Samsi, terpaksa meninggalkan rumah karena tak ada dukungan keluarga, serta rela berpisah dengan anaknya agar si buah hati bisa hidup lebih baik. Sebuah perspektif perempuan yang hadir di era itu.
Kondisi film hitam-putih berdurasi hampir satu setengah jam ini memang jauh dari sempurna. Sejak awal pemutaran layar dipenuhi "semut" yang pada beberapa adegan cukup mengganggu secara visual. Suara di film ini pun tidak stabil, beberapa kali hilang atau kadang terdengar agak pelan.
•••
FILM Dr. Samsi satu dari beberapa karya Ratna yang hampir hilang dari ingatan publik Indonesia, tak hanya di kalangan para sineas, tapi juga negara. Kehadiran Ratna sebagai sutradara perempuan seperti tak dihiraukan. Dari temuan Kelas Liarsip, Ratna lebih banyak muncul di berita gosip di sejumlah media massa saat itu. Karyanya sebagai sutradara lebih banyak dipandang sebelah mata. “Karya dia jarang dibahas secara estetis. Wartawan menulis lebih ke personal dia, perceraian dia. Lebih banyak berita gosip,” ujar Umi Lestari.
Umi juga menemukan Ratna mendapatkan diskriminasi. Selalu dikatakan Andjar Asmara memiliki andil sangat besar dalam pembuatan film pertama Ratna, Sedap Malam, yang diproduksi oleh Persari pada 1951. Dalam artikel-artikel, Ratna ditulis hanya mendompleng. “Tapi hal ini bisa dibantah. Andjar memang menyumbang cerita, tapi produksi dikerjakan kru Persari di bawah arahan Ratna,” Umi menambahkan. Film Sedap Malam berkisah tentang Patmah, seorang perempuan yang menolak dipoligami dan menjadi penyintas jugun ianfu. Sebuah tema yang tak dikenali hingga beberapa puluh tahun kemudian. Sayang, jejak keras rol film ini tak berbekas, lenyap entah ke mana. Tempo hanya melihat poster film yang usang dan pudar warnanya ini di salah satu sudut ruang Gudang Penyimpanan Sinematek.
Poster film "Sedap Malam" (1950), debut film Ratna Asmara sebagai sutradara. Wikipedia
Bersama suaminya, Andjar Asmara, Ratna lalu mendirikan Asmara Film dan menyutradari film Musim Bunga di Selabintana dan Dr. Samsi. Setelah bercerai dengan Andjar, ia mendirikan Ratna Film dan menyutradarai film Nelajan yang diangkat dari cerita karangan Mochtar Lubis. Lalu bersama Rd. Ariffien ia menyutradarai Dewi dan Pemilihan Umum, film pesanan Kementerian Penerangan.
Karier Ratna di dunia sinema sebelum duduk di kursi sutradara juga sudah teruji. Ia perempuan yang besar di dunia teater (Bolero, Tjahaja Timoer). Lahir dengan nama Suratna di Minang, ia dikenal sebagai seorang aktris yang tampil utama di banyak film, seperti Kartinah, Noesa Penida, dan Ratna Moetoe Manikam. Ia membintangi film Djauh di Mata, film saat era Revolusi produksi South Pasific Film Corporation. Ia membintangi sekaligus merangkap sebagai kru di film Poetri Rimba. Ia pernah membintangi film Booloo (1938), tapi produser meminta pergantian pemain dan namanya ditulis Swiatna Asmara.
Karakter film-film yang dimainkan Ratna merupakan karakter perempuan yang berdaya dan sering berbeda dengan nilai-nilai sosial saat itu. Seperti pada Kartinah yang terpelajar menolak dipoligami atau menyampaikan solidaritas untuk penyintas jugun ianfu. Sebelum menjadi aktris dan sutradara, pengalaman berteater mengajarkan Ratna menjadi serba bisa. Ia terbiasa menjadi kru untuk urusan kostum, tata rias, alih suara, koreografi, dan lainnya.
Ide Kelas Liarsip menampilkan Ratna Asmara tak lepas dari kekosongan pembahasan sineas perempuan di dunia sinema klasik Indonesia. Menurut mereka, upaya digitisasi dan restorasi film klasik selama sepuluh tahun terakhir difokuskan pada film klasik yang dibuat sutradara laki-laki dan menonjolkan narasi aspek militerisme. Wacana film nasional, mereka menjelaskan, meminggirkan para pembuat film yang berhaluan kiri, keturunan Tionghoa Indonesia, dan karya sineas perempuan. “Kanonisasi berjalan timpang. Pengetahuan film Indonesia yang homogen perlu ditulis ulang dengan melihat film klasik Indonesia dan beragamnya nilai estetik yang berkembang,” tutur Umi Lestari.
Dengan melihat karya Ratna, menurut Umi, publik bisa melihat bagaimana pengabaian arsip kekayaan sinema Indonesia dan karya sineas perempuan Indonesia. “Ya, dari digitisasi itu bisa kita lihat kerusakan yang ada,” ucap Umi dan Efi.
Efi Sri Handayani (kiri) dan Umi Lestari dari Kelas Liarsip yang merestorasi film Dr Samsi karya Ratna Asmara. Tempo/Ratih Purnama
Nama Ratna muncul setelah Umi meneliti tokoh dan film klasik, dari Basuki Resobowo, Usmar Ismail, hingga Dr Hujung. Nama Ratna seperti terpinggirkan dengan sekian banyak kiprahnya di dunia sinema dan teater yang melanglang buana. Ratna menjadi jalan bagi Kelas Liarsip untuk mempelajari perjuangan perempuan sebelum 1965.
Kemunculan Ratna, kata mereka, bukan hanya karena dorongan munculnya sineas lokal dan global, tapi juga pergaulan Ratna dengan para perempuan terpelajar dari Tanah Minang lain, seperti Saadah Alim (jurnalis pendiri Suara Perempuan), Rangkajo Rasuna Said (jurnalis yang aktif menyuarakan politik perempuan pada 1950), dan beberapa jurnalis yang melaporkan Kongres Perempuan di Yogyakarta pada 1928. Ia juga berjejaring dengan sineas perempuan lain seperti Ida Prijanti dan Sofia W.D.
“Tak seperti sutradara laki-laki yang membuat film perang dan karakter utama laki-laki, Ratna justru membuat film yang membincangkan pengalaman perempuan. Misalnya Sedap Malam, Dr. Samsi,” ujar Umi.
•••
REEL film yang rapuh membuat Umi Lestari dan Efi Handayani tak bisa bekerja sembarangan. Efi bahkan harus meminta tiga orang untuk membantu mengangkat reel dengan medium penggaris. “Itu bagian yang paling bikin stres karena kondisi material yang rapuh. Supaya tetap lurus,” kata Efi kepada Tempo selepas pemutaran film.
Efi yang kebagian urusan membersihkan reel film bekerja setiap hari selama sekitar dua bulan. Ia mengingat hari-hari menyiksa berhadapan dengan reel film positif Dr. Samsi yang sudah rusak secara fisik karena mengalami sindroma asam. Begitu kaleng dibuka, bau asam pekat menguar. Pada 15 Maret 2022 ia dan tim membawa film positif itu ke ruang inspeksi dan reparasi. Terdapat lima salinan reel. Lisabona mengerjakan bagian reel 1, Efi bagian reel 2 dan 3, sedangkan Aditya Hasanudin Martodiharjo mengerjakan bagian reel 4 dan 5.
Elemen positif pada Reel 1 Suara. Dokumentasi Efi Sri Handayani
Berusia lebih dari tujuh dasawarsa, dalam reel-reel film itu ada perforasi yang hilang sepanjang enam frame. Pun terdapat beberapa titik kerusakan di perforasi yang membuat jalur suara hilang. Kerusakan terparah terdapat di reel 1 dan 2 yang dipenuhi kristal, asam, jamur, dan bergelombang karena penyusutan. Materi film sudah sangat berkurang kelenturannya. “Jika digoyangkan akan membentuk kurva gelombang, terkadang mulai membentuk siku dan bukan bergelombang lagi,” ujarnya.
Kerusakan lain karena tingkat penyusutan yang cukup tinggi membuat emulsi sangat rentan terkelupas karena bidang tempat menempel tidak lagi rata. Banyak bagian jalur suara yang robek atau terkelupas sehingga suara sangat sering terinterupsi. Ada kalanya Efi harus melubangi perforasi satu per satu di meja pemindai karena ada bagian-bagian yang tertutup.
Proses digitisasi yang mereka lakukan termasuk proses sinkronisasi pada aplikasi pengeditan dan automatic noise reduction. Mereka akhirnya bisa menonton film itu, meski dengan gambar dan suara yang terdistorsi. Mereka menemukan seluloid negatif yang terpisah gambar dan suara juga mengalami kerusakan yang hampir sama. Ada potongan dan sambungan yang tak sesuai dengan adegan film.
•••
REEL film Dr. Samsi, baik yang positif dan negatif, tersimpan di Gudang Penyimpanan Sinematek. Begitu masuk Gudang, bau asam dan apak menyengat hidung meski kita memakai masker. Dingin pun menembus jaket. Pegawai Sinematek, Firdaus dan Budi, merawat ribuan seluloid yang menandai jejak dunia sinema Indonesia, bahkan sebelum Indonesia lahir. Di ruangan berukuran 17 x 21 meter ini ribuan rol film diletakkan di rak-rak bertingkat.
Kondisi rol film Dr Samsi yang sudah bergelombang. Dokumentasi Efi Sri Handayani
Sebagian ada yang disimpan di kardus-kardus dan koper karena tak lagi tertampung di rak. Untuk menghalau jamur dan asam, ruangan didinginkan dalam suhu 13 derajat Celsius. Penyejuk ruangan atau AC bisa tiba-tiba mati. "AC akan mati jika suhu sudah menyentuh suhu 13 derajat Celsius dan otomatis hidup jika suhu naik jadi 15 derajat,” tutur Firdaus, yang sudah bekerja di Sinematek sejak 1996.
Budi, salah satu anggota staf gudang penyimpanan, kepada Tempo menunjukkan reel positif-negatif Dr. Samsi dan beberapa film karya Ratna. Reel positif Dr. Samsi berada di kaleng bertanda kuning-biru tertumpuk di rak B bagian bawah, berdekatan dengan film-film lawas lain yang sezaman. Bagian negatifnya yang terbagi untuk gambar dan suara berada di rak C. Budi harus merunduk dan agak merangkak untuk menjangkau kaleng penyimpanan.
“Seharusnya memang tidak disimpan di rak seperti ini, tapi di kontainer sendiri sehingga lebih terjaga,” ucap Budi. Sinematek masih menyimpan dua film lain karya Ratna yang berjudul Kartinah dan Djaoeh di Mata. Budi menunjukkan dua film yang masih tersimpan di kaleng di rak terpisah. Kartinah mempunyai dua reel film, sedangkan Djaoeh di Mata tiga reel.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo