Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Laporan Pamong & "Wajib Membaca"

Gambaran koran daerah yang tanpa bantuan pemda banyak yang gulung tikar & terbit tak teratur seperti di Aceh, Riau, NTT dll. Disimpulkan kurang trampilnya wartawan dan kemampuan manajemennya. (md)

17 Maret 1979 | 00.00 WIB

Laporan Pamong & "Wajib Membaca"
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
OPLAH kecil, iklan sedikit, ongkos cetak tinggi, modal miskin, pengah kurang trampil -- itulah gambaran orang daerah, yang di luar Jakarta. Sungguh bukan hal baru lagi. Meskipun begitu, masih tiada bosannya orang mendiskusikan persoalannya. Terakhir di Ujungpandang, 1 - 5 Maret, berlangsung suatu seminar yang melibatkan para pejabat, tokoh pers, pengusaha dan perguruan tinggi. Seminar ini khusus meninjau situasi kondisi koran Sulawesi Selatan umumnya, tapi materi pembahasannya cukup relevan juga untuk daerah lainnya. Apa yang terjadi di Sul-Sel itu, kelihatan juga di daerah lain. Di Aceh, misalnya, koran tanpa bantuan pemda maupun Kodam I tidak bisa terbit teratur. Harian independen Atjeh Post pernah bisa terbit dua kali seminggu, tapi sudah tiga bulan lenyap pula dari peredaran. Duta milik Pemda Aceh, dan Iskandarmuda milik Kodam I teratur muncul dua kali seminggu, tapi peredarannya hanya berkat "wajib baca" bagi kalangannya. Koran resmi begitu, kata Prof. Dr. Mattulada dari Unhas, membuat "kecut hati saya." Tapi kecenderungan ke koran resmi makin kelihatan di daerah, setidaknya memperoleh bantuan Pemda setempat. Dengan Bantuan Riau dengan Gubernur Subrantas mendorong terbitnya Genta, umpamanya, dengan SIT sementara dari Kanwil Deppen di Pekanbaru. Ketika masih diperintah Gubernur Arifin Ahmad, Riau suka menampung koran dari luar saja, tidak mempunyai suratkabar lokal. Kini Subrantas bersikap lain. Genta itu sudah beredar, tapi terhenti karena SIT nya masih belum dikukuhkan oleh Deppen di Pusat. Di NTT yang juga belum mempuryai suratkabar lokal, Gubernur dr. Ben Mboi sudah mengusahakan suatu percetakan offset. Jika mesin offset itu terpasang, NTT diduga akan memiliki koran resmi, atau setengah resmi pula. Maluku sudah mempunyai sejumlah koran, mungkin terlalu banyak, masing-masing terbit dengan oplah minim 3000. Percetakan di Ambon menaikkan tarif cetaknya, menggugurkan Duta Masyarakat. Lagi-lagi tanpa bantuan pihak resmi, koran di situ tak mungkin bisa terbit. Mengikuti semboyan "koran masuk desa", Pikiran Rakyat yang unggul di Bandung menerbitkan edisi Ciamis sejak 1972. "Tanpa bantuan pemda setempat, PR Ciamis mungkin sudah lama gulung tikar," seorang redaktur senior PR Bandung mengakui. Dengan bantuan sekalipun, oplahnya tetap kecil. Jika pengalaman organisasi, jaringan dan keuangan PR yang demikian kokoh masih mengharapkan bantuan, apalagi yang kecil-kecil. Jadi Beku Sul-Sel cukup berpengalaman dengan bantuan resmi seperti terdengar dari seminar Ujungpandang. Akibatnya "Citra (gambaran) masyarakat kurang sedap terhadap pers kita," kata A.S. Achmad, ketua program Publisistik Unhas. "Fungsi utama mereka seakan-akan untuk men-support (menunjang) kebijaksanaan pemerintah saja. Suhu kritik menurun sampai titik beku. Isi koran diwarnai laporan dinas dan laporan pamongpraja." Hasil penelitian Unhas, kata Achmad lagi, menunjukkan hanya sekitar 1% dari pemberitaan koran Ujungpandang yang berisi kontrol. Para redaktur setempat umumnya tidak membantah bahwa koran mereka tidak akrab dengan pembaca. Ada keluhan di seminar itu bahwa jumlah penerbitan pers terlalu banyak. Walaupun sudah banyak yang rontok, masih bersisa 14 di Ujungpandang, yaitu 4 harian, 7 mingguan dan 3 bulanan. Tidak pula semuanya terbit teratur. Di seluruh Sul-Sel, tiap hari koran cuma 40.000 eksemplar beredar, termasuk yang datang dari Jakarta. Yang Dibina Di propinsi tetangganya, Sulawesi Tengah, pemda tampaknya tidak begitu menghiraukan apakah ada terbit koran lokal. Di Palu, demikian pejabat tinggi Sul-Teng, pemda memakai kebijaksanaan membantu kesejahteraan wartawan, bukan penerbitannya. Terdaftar 32 wartawan yang terjamin di pemda itu. Kebijaksanaan itu, yang dimulai dari zaman Gubernur Tambunan, kini diteruskan. Di Sulawesi Utara, pemda kini "memanjakan" penerbitan koran lokal dengan menambah jumlah langganannya. "Toh kemajuan hanya sedikit," kata seorang redaktur di Manado. Bantuan pemda umumnya mungkin bisa menghidupkan, tapi nyatanya belum menjamin koran itu dibeli dan disukai pembaca. Koran daerah tetap diperlukan asalkan, seperti disimpulkan oleh seminar Ujungpandang, ada ketrampilan wartawannya dan kemampuan manajemen-keuangan perusahaannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus