TERASA ada yang mengganjal dalam pertunjukan Langendriyo
Menakjinggo Leno oleh Siswo Among Bekso (SAB), di Teater Arena
Taman Ismail Marzuki, 28 Pebruari - 3 Maret. Ganjalan itu adalah
kemampuall vokal para pendukungnya. Tetapi dewasa ini, di
kalangan tari Jawa, memang tak mudah menemukan penari yang
sekaligus memiliki kemampuan vokal yang sama baiknya. Pemeran
Damarwulan (Dinusatomo) adalah satu-satunya tokoh yang cukup
mantap dalam kedua segi. Tentu saja satu dua di antara mereka
ada yang cukup punya dasar suara yang baik, misalnya Kadaryati,
Danisubroto, Rokhyanti.
Kekurangan vokal itulah yang menyebabkan setengah pertama
pertunjukan langendriyo ini (yang banyak menampilkan tembang
berirama dua) terasa lamban. Juga suasana mat-matan yang ada
tidak sepenuhnya mewujud. Sebab bentuk tontonan ini diciptakan
tidak hanya untuk dilihat, tapi terutama memang didengar.
"Mereka masih menghafal, helum sempat mengisi atau memberi jiwa
kepada tembang yang dibawakan," komentar GBPH Soeryobrongto,
salah seorang dewan ahli rombongan ini.
Menarik, seluruh tarian yang hampir dua jam itu dibawakan dalam
posisi jongkok. Dalam berjalan lutut tak boleh menyentuh lantai,
kecuali jika sedang bersila atau nikelpada -- suatu olah gerak
yang membutuhkan keuletan dan ketabahan. "Jika setiap penari
sudah merasa mapan dengan posisi ini, sehingga tidak lagi
merasakannya sebagai hambatan, tontonan begini niscaya akan
sangat menarik. Sayang Siswo Among Bekso belum sampai ke sana.
"Ada lutut yang gemetaran karena usia tua, tetapi ada juga yang
karena kurang terlatih," ucap Retno Maruti, penata tari yang
pernah menyuguhkan langendriyo gaya Sala.
Siswo Among Bekso memang baru menanganinya selama 3 bulan --
jangka waktu yang tidak cukup lama untuk mengakrabkan posisi
menari yang "khas" dengan kemampuan bokal. Apalagi waktu 3 bulan
itu masih dikurangi untuk mencari dan menyalin naskah asli
langendriyo, yang hampir 50 tahun terakhir tak pernah
dipentaskan.
Bedoyo Damarwulan
Dalam kedua dan keempat, SAB menyuguhkan acara yang berbeda: 3
nomor tari klasik. Nomor pertama adalah Beksa Bedoyo Damarwulan
gubahan baru drs. GBPH Puger. Bedoyo adalah sebuah komposisi
tari yang dilakukan 9 orang puteri, yang menurut tradisi Yogya
berasal dari Bekso Bedoyo yang diciptakan Sri Sultan Agung
Hanyokrokusumo pada abad XVII dengan nama Bedoyo Semang.
Seperti halnya bedoyo yang lain, bedoyo Damarwulan terdiri dari
tiga bagian, tiap bagian diiringi gending-gending yang
berlainan.
Bedoyo-bedoyo yang lebih tua tidak membawakan tema cerita yang
disebut sesuai dengan nama gending pengiringnya: Sumreg, Semang,
Ketawang, Candrungmanis. Baru pada perkembangan kemudian timbul
bedoyo-bedoyo yang menampilkan tema: Bedah Mediun, Sayemboro
Sinto, Arjunowiwoho dan sebagainya.
Yang menampilkan cerita, cerita itu diungkapkan pada bagian
ketiga yang disebut enjeran. Apa yang digambarkan sesungguhnya
hanya bagian terpenting dari cerita tersebut. Misalnya di
dalam bedoyo Arjunowiwoho komposisi lama, hanya satu adegan
pertemuan antara Sayemprobo dan Arjuno. Tapi pada perkembangan
kemudian lebih banyak lagi adegan yang ditampilkan.
Demikian pula Bedoyo Damarwulan, yang memang sengaja digarap
sebagai perbandingan terhadap cerita yang sama yang disajikan
dalam bentuk langendriyan Cerita digambarkan secara urut, adegan
demi adegan: sejak Damarwulan meminta diri dari Anjasmara
(isterinya) untuk pergi ke Blambangan, bertemu dengan dua orang
selir Menakjinggo, berperang dan kalah oleh Menakjinggo,
ditolong kembali oleh kedua selir tadi sampai akhirnya berhasil
membunuh Menakjinggo.
Tentu saja cerita ini hanya dapat ditebak-tebak oleh mereka yang
paham jalannya cerita serta dapat menangkap kata-kata sindenan
atau vokalnya. Sebab segenap peran dibawakan oleh hanya 9 penari
puteri -- dengan kostum dan tata rias yang sama. Lagi pula semua
adegan digambarkan dengan tempo perlahan yang serupa, bahkan
juga ketika menggambarkan perang. Hanya saja dalam bedoyo,
karakter gecul semacam Dayun tentu saja tak bakal mungkin
digambarkan karena terlalu wadag.
Empat Pokok
Nomor kedua adalah beksan Harjunososro-Sunantri. Tapi yang
paling menarik adalah nomor ketiga beksan Tuguwaseso. Ini sebuah
tarian gagah kalang kinantang yang dibawakan oleh 4 orang penari
putera, menggambarkan perang Prabu Tuguwaseso dari Jenggala
melawan Prabu Dasalengkara, Raja Pudaksetegal. Tari ini
diciptakan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Yang unik adalah
konsepnya: masing-masing perang dibawakan dua penari. Jadi
seandainya perbedaan figur keempat penari tidak terlampau
menyolok, niscaya penampilannya akan lebih padu.
Penampilan SAB ditutup dengan sebuah ceramah. GBPH Soeryobrongto
mengetengahkan masalah Pendidikan Tari Di Dalam Kraton
Yogyakarta. Menurutnya, ada dua tahapan penting bagi yang
belajar menari. Pertama penguasaan gerak secara teknis dan
fisik. Kedua, pendalaman isi, jiwa atau apa yang oleh beliau
disebut sebagai "filsafat" Joged Mataram. Ada empat pokok yang
dituntut dalam diri seorang penari pilihan: sewiji
(konsentrasi), greged (semangat yang menyala), sengguh (percaya
diri sendiri) dan ora mingkuh (teguh Iman).
Penari sekarang pun, demikian penceramah, jika mendapat
pelajaran dari guru yang baik akan mampu meningkatkan dirinya
menjadi penari kelas I, asal memiliki dedikasi yang besar. Tapi
justru dedikasi inilah menurut beliau tak dimiliki oleh generasi
muda tari kita. "Mereka terlalu cepat puas dan cepat menyerah. "
Sal Murgiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini