AFFANDI belum mau mandek. Pelukis yang sering disebut empu ini,
dalam usianya yang ke-75 menatap optimistis ke depan. Sekali ini
ia bertopi, di belakangnya laut biru berombak, dan kapal-kapal
berlayar. Kapal itu, dan juga Affandi, mungkin, belum hendak
berlabuh.
Itulah kesan yang bisa diperoleh dari sebuah lukisan Potret.
Diri Affandi, 1982 -- satu dari 18 lukisan potret dirinya yang
ikut dipamerkan di Taman Ismail Marzuki, 18-26 bulan ini, dalam
pameran tunggal dengan sekitar 70 karya.
Memang. Salah satu yang khas dari pelukis yang menyamakan
dirinya dengan tokoh wayang Sukrosono -- raksasa cebol, buruk
muka, tapi sakti -- itu ialah dia suka menampilkan wajahnya
sendiri pada kanvas. "Bukan apa-apa, tapi mengambil diri sendiri
sebagai model itu murah dan mudah," katanya di TIM Sabtu lalu.
"Murah, 'kan tak usah bayar. Dan mudah, tidak perlu saya
pelajari lagi, saya sudah kenal diri saya," lanjutnya.
Karena itu bisa berarti lukisan wajah Affandi dari tahun ke
tahun, bisa dipandang semacam otobiografi. Dari 18 potret diri
di pameran ini, bisa ditangkap berbagai ekspresi. Misalnya,
sebuah potret diri yang masih realistis, dibuat pada 1943,
menggambarkan Affandi yang keras ditempa kehidupan. Keningnya
berkerut, kedua matanya melirik ke arah bawah, dan bibirnya
sedikit terbuka, menampakkan dua biji gigi atas. Ini sebuah
potret yang muram. Warna lukisan ini pun tidak jelas: sedikit
keunguan, sedikit kecokelatan.
Masa muram itu agaknya berlangsung cukup lama. Sukses hidupnya
yang dimulai dengan perjalanannya ke India, 1950, tak cepat
menghapus kekelabuan masa lalunya. Potret Diri 1964, yang tentu
saja telah hadir dengan Affandi yang kita kenal kini, pelototan
cat langsung dari tube dan kanvas yang disiram bensin, tetap tak
menghadirkan kecerahan. Meski ada warna hijau dan sedikit biru,
goresan hitam yang melukiskan rambut, jenggot, misai dan
bayangan pada wajah, justru yang mendominasi kanvas.
Benar, karya itu tak sehitam Potret Diri dengan Tujuh Matahari,
1950 tak ikut dipamerkan, yang seperti menampilkan Affandi
dirundung kegelapan, wajahnya tak begitu jelas, meski ada tujuh
surya. Tapi justru kerut-kerut wajahnya yang jelas pada Potret
Diri 1964 itu, lebih meyakinkan orang bahwa pada kanvas itu yang
ada adalah ekspresi kemuraman.
Bahkan sepuluh tahun kemudian, kemuraman tetap melekat. Pada
Potret DiYi 1974, Affandi tampil dengan rambut yang lebih
gondrong dan dahi yang lebih menonjol. Warna kuning muncul agak
berarti: pada sebagian rambut dan janggutnya. Dan wajahnya juga
sedikit cerah, ada warna kemerahan. Tapi eksresi itu adalah
ekspresi lama yang telah tampil puluhan kali sejak tahun
1940-an: diam dan muram.
Baru tahun berikutnya, 1975, muncui potret diri dengan suasana
berbeda: warna-warna cerah, ekspresi wajah yang santai. Ini
berlangsung hingga 1980. Dalam periode ini, ada yang khas:
kebanyakan potret diri tampil dengan dahi yang merah. Tapi
justru dalam periode inilah muncul kritik, yang mengatakan
antara lain, tenaga Affandi telah turun, terbukti dengan kanvas
yang tak lagi penuh dan kontrol tak secermat dulu. Membandingkan
potret-potret dirinya yang dibuat antara 1975-1980 dan
sebelumnya, apa boleh buat, kritik itu agaknya tak meleset
benar.
Bila potret diri sebelum 1975 menampilkan sosok wajah yang kukuh
berbentuk, wajah itu buyar pada 1975 ke atas. Wajah yang tampil
tak lagi jelas ekspresinya, karena dipenuhi goresan garis-garis.
Dan potret itu dikenali sebagai Affandi hanya dari dua hal:
rambut dan janggut gondrong acak-acakan, dan dahi lebar berwarna
merah.
Tapi tentu saja Affandi tetap melukis dan tetap sering kali
menggoreskan wajah sendiri pada kanvas. Kadang wajah itu
sendirian, kadang ditemani. Teman yang paling sering muncul
adalah matahari. Sering juga potret diri itu berlatar belakang
laut dengan kapal-kapal. Atau potret diri itu lagi beraksi:
makan semangka atau mengisap pipa.
PADA 1981 sebuah potret diri tampil dengan menarik, karena
bertuliskan kalimat: "Sesudah gagal melukis." Wajah yang murung,
bibir terkatup rapat, latar belakang yang kosong. Rambut dan
misai dan janggut yang dibuat dengan hampir hanya warna putih.
Inikah pengakuan usia memang telah lanjut?
Lukisan ini dibuat pada kanvas yang semula hendak diisi gambar
barong Bali. "Tapi gagal. Lantas cat saya kerok dari kanvas,
lantas saya lukis wajah saya sendiri." Affandi sesekali memang
bisa juga tersandung. Tapi kali itu agaknya begitu dihayatinya
hingga lantas wajah kegagalan yang ditampilkannya pada kanvas.
Dan berhasil.
Karya 1982-nya tampil dengan lebih segar. Tiga potret diri tahun
1982, tampil dengan ekspresi optimistis yang jelas. Bahkan salah
satu hanya menampilkan wajah sebatas mata ke atas. Adakah ia
ingin mengatakan selama mata masih awas dan pikiran masih
menyala Affandi tetap bisa melangkah dengan baik?
Ombak Pantai Parangtritis (1982) dengan kanvas besar, 2,4 x 1,2
meter, dengan warna gelap memang belum mengalahkan karya-karya
Affandi tahun 1950-an sampai pertengahan 1960-an. Tapi ada satu
hal yang direbutnya kembali: irama goresan dan sapuan yang
semenjak pertengahan 1970-an menjadi kacau, kini menemukan
keserasiannya lagi. Tentu saja keserasian Affandi yang
berteriak dan gemuruh. Meski bukan mustahil ini merupakan
kebetulan. Setidaknya dengan demikian membuktikan sesekali
Affandi masih bisa melahirkan karya seperti dulu.
Bambang Bujono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini