Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Affandi, Setelah Basuki Abdulah

Pameran 30 lukisan karya Affandi di balai budaya. lukisannya menampilkan emosi yang meledak-ledak. dan tak pernah berusaha melepaskan sasaran dari lingkungannya. (sn)

21 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG pengunjung pameran lukisan Affandi (Balai Budaya, 3 - 9 Pebruari 1976) menyatakan keheranannya. Kok bisa-bisanya seorang pelukis kawakan berpameran di Balai Budaya dengan begitu sederhana, sementara belum selang lama di Hotel Borobudur sudah dilangsungkan pameran Basuki Abdullah dengan biaya masuk. Barangkali suatu saat kehidupan pribadi seorang seniman jauh lebih diperhatikan daripada apa yang tertinggal dalam kanvas itu sendiri. Toh tidak seperti dahulu lagi, kini orang tak mengusut dari lukisan-lukisan itu mana mata mana jari mana orang mana babi, mana plototan langung dari tube dan mana yang ditorehkan oleh jari. Kini penonton hanya membaca saja judul lukisan, lalu berusaha mencocokkannya dengan kanvas dan membandingkannya dengan penerimaan-penerimaannya sendiri, seandainya judul tersebut tak ada. Rupanya setelah perjalanan yang panjang, perdamaian telah terjadi antara pelukis tua ini dengan masyarakatnya. Terlepas dari tinggi rendah mutu lukisan, yang penting sekali bahasa kanvas pelukis ini mulai menyusun kamusnya sendiri dalam ingatan pengunjung. Sehingga ekspresinya, meskipun tetap pribadi, tapi paling tidak sudah langsung menyentuh perasaan meskipun dengan hasil yang sedikit berbeda-beda kalau kemudian coba diuraikan dengan kata-kata. Tidak Hanya Gaya Sesungguhnya Affandi sendiri sudah ikut membantu, justru karena ia tidak banyak ngomong sehingga kemungkinan salah tafsir dikurangi. Sementara itu ia juga tidak banyak melakukan pembongkaran terhadap cara ekspresinya. Bahasa "cakar ayam"nya telah rampung dalam sebuah gaya. Kemudian dengan setia itu terus dipakainya, sebagai alat untuk menampilkan emosinya yang juga sangat mudah diberikan ciri, yakni: meledak-ledak. Ia seorang yang sederhana yang jujur pada kesederhanaaunya itu sendiri. Hingga bagi sejumlah orang, barangkali ia akan membosankan karena tidak pernah 'berubaH". Ia tidak pernah berusaha untuk melepaskan sasaran dari lingkungannya (seperti Basuki Abdullah, demi keindahan). Orang tua ini bukan lagi seorang realis. Ia seorang yang mencoba menggambarkan emosinya sendiri. Dari 30an lukisan yang dipamerkan, ada 4 buah potret diri kali ini. Tapi sebagaimana biasa, potret dirinya bukan ditolak oleh rasa memuja, tetapi keinginan mengaku. Kadangkala nyaris keinginan mengejek, sesudah tak mungkin lagi kecewa. Dengan format besar (no 2) lukisan yang dilukis tahun 1975 ini mau menampilkan rasa cemas seorang tua yang terpaksa harus menyaksikan kerapuhan jasmaninya, sementara rohaninya masih menggebu-gebu. Pengakuan ini dengan bagus sekali ditampilkan oleh suasana "Si pemenang dan si kalah" yang menggambarkan dua ayam jago yang barusan menyelesaikan pertarungan hidup matinya. Dijelaskan kemudia oleh "Jago mati" yang merupakan close-up atas ayam jantannya yang mati. Mengikuti mau Affandi yang mengejar cetusan emosi, pemilihan objek dan suasana batin pelukis di kedua kanvas tersebut terasa padu. Kedua lukisan tersebut tidak hanya bicara masalah gaya, tidak juga hanya bicara soal pribadi. Ia nenangkap, dengan tepat, sebuah peristiwa yang, cepat atau lambat akan mematuk setiap orang. Lapuk & Sendiri Pada tahun 1974 Affandi rupanya masih mengira dirinya kuat. meskipun lapuk dan sendiri. Dengan lukisan kaki dalam sepatu berlumpur yang memenuhi bidang kanvas, sama sekali tampil warna kuning yang disukainya -- orang tua ini telah menampilkan bidang coklat yang membayangkan pergulatan dengan kerja, memasuki luka-luka kehidupan. Kemudian tiga buah lukisannya yang dilukis tahun ini ("Kerbau", "Membajak Sawah", I & II) nyaris menghitam dengan bidang lebar dan guratan-guratan warna biru tua yang masih mencetuskan rasa meluap-luap untuk hidup dan bekerja, lewat kerbau-kerbau yang menarik bajak dalam sawah. Tetapi di sini ada suasana tanpa pengharapan yang barangkali juga berasal dari naluri yang meramalkan titik henti dirinya sendiri. Affandi bukan seorang pembaharu untuk karya-karyanya sendiri. Tetapi 3 lukisannya yang terakhir itu tidak hanya mencatat emosi, tapi mengajak orang untuk berpikir. Dan kalau Affandi sudah mulai berpikir di samping kerasukan emosi di depan kanvasnya, boleh diharapkan, ia akan mulai menggembirakan mereka yang mengharapkan Affandi akan memberikan sesuatu yang baru. Tentu saja tiga buah karya memang belum merupakan bukti yang boleh dipercaya untuk seorang yang produktif seperti Affandi. Affandi di samping lebih banyak tinggal di luar negeri pada saat ini (sebuah lukisannya memakai judul bahasa Inggeris), ia juga tergila-gila pada Bali seperti pelukis Rusli. Dalam pameran ini juga ada objek yang diketemukan di Bali: Cremation,Old Balinese, Fisherman, Balinese Boats, Tuak Drinkers yang sudah tidak menampilkan lagi warna lokalnya. Artinya Affandi sudah tidak tergiur lagi untuk menampilkannnya sebagai sesuatu yang khas, sehingga di atas kanvas objek-objek tersebut tak pernah berubah menjadi subjek. Barangkali ini juga sebabnya mengapa tudak sulit bagi kita untuk mengikuti kanvas-kanvas pelukis ini, meskipun ia seringkali melakukan destorsi pada bentuk. Karena bersamaan dengan itu ia tetap berpikir sejalan dengan masyarakatnya zamannya dan tidak menyimpang dari segala tata-krama, moral dan basa-basi yang mengatur serta dihormati oleh pergaulan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus