SEORANG pengunjung pameran lukisan Affandi (Balai Budaya, 3
- 9 Pebruari 1976) menyatakan keheranannya. Kok bisa-bisanya
seorang pelukis kawakan berpameran di Balai Budaya dengan
begitu sederhana, sementara belum selang lama di Hotel Borobudur
sudah dilangsungkan pameran Basuki Abdullah dengan biaya
masuk.
Barangkali suatu saat kehidupan pribadi seorang seniman jauh
lebih diperhatikan daripada apa yang tertinggal dalam kanvas itu
sendiri. Toh tidak seperti dahulu lagi, kini orang tak mengusut
dari lukisan-lukisan itu mana mata mana jari mana orang mana
babi, mana plototan langung dari tube dan mana yang ditorehkan
oleh jari. Kini penonton hanya membaca saja judul lukisan, lalu
berusaha mencocokkannya dengan kanvas dan membandingkannya
dengan penerimaan-penerimaannya sendiri, seandainya judul
tersebut tak ada. Rupanya setelah perjalanan yang panjang,
perdamaian telah terjadi antara pelukis tua ini dengan
masyarakatnya. Terlepas dari tinggi rendah mutu lukisan, yang
penting sekali bahasa kanvas pelukis ini mulai menyusun kamusnya
sendiri dalam ingatan pengunjung. Sehingga ekspresinya, meskipun
tetap pribadi, tapi paling tidak sudah langsung menyentuh
perasaan meskipun dengan hasil yang sedikit berbeda-beda kalau
kemudian coba diuraikan dengan kata-kata.
Tidak Hanya Gaya
Sesungguhnya Affandi sendiri sudah ikut membantu, justru karena
ia tidak banyak ngomong sehingga kemungkinan salah tafsir
dikurangi. Sementara itu ia juga tidak banyak melakukan
pembongkaran terhadap cara ekspresinya. Bahasa "cakar ayam"nya
telah rampung dalam sebuah gaya. Kemudian dengan setia itu
terus dipakainya, sebagai alat untuk menampilkan emosinya yang
juga sangat mudah diberikan ciri, yakni: meledak-ledak. Ia
seorang yang sederhana yang jujur pada kesederhanaaunya itu
sendiri. Hingga bagi sejumlah orang, barangkali ia akan
membosankan karena tidak pernah 'berubaH". Ia tidak pernah
berusaha untuk melepaskan sasaran dari lingkungannya (seperti
Basuki Abdullah, demi keindahan). Orang tua ini bukan lagi
seorang realis. Ia seorang yang mencoba menggambarkan emosinya
sendiri.
Dari 30an lukisan yang dipamerkan, ada 4 buah potret diri kali
ini. Tapi sebagaimana biasa, potret dirinya bukan ditolak oleh
rasa memuja, tetapi keinginan mengaku. Kadangkala nyaris
keinginan mengejek, sesudah tak mungkin lagi kecewa. Dengan
format besar (no 2) lukisan yang dilukis tahun 1975 ini mau
menampilkan rasa cemas seorang tua yang terpaksa harus
menyaksikan kerapuhan jasmaninya, sementara rohaninya masih
menggebu-gebu. Pengakuan ini dengan bagus sekali ditampilkan
oleh suasana "Si pemenang dan si kalah" yang menggambarkan dua
ayam jago yang barusan menyelesaikan pertarungan hidup matinya.
Dijelaskan kemudia oleh "Jago mati" yang merupakan close-up
atas ayam jantannya yang mati. Mengikuti mau Affandi yang
mengejar cetusan emosi, pemilihan objek dan suasana batin
pelukis di kedua kanvas tersebut terasa padu. Kedua lukisan
tersebut tidak hanya bicara masalah gaya, tidak juga hanya
bicara soal pribadi. Ia nenangkap, dengan tepat, sebuah
peristiwa yang, cepat atau lambat akan mematuk setiap orang.
Lapuk & Sendiri
Pada tahun 1974 Affandi rupanya masih mengira dirinya kuat.
meskipun lapuk dan sendiri. Dengan lukisan kaki dalam sepatu
berlumpur yang memenuhi bidang kanvas, sama sekali tampil warna
kuning yang disukainya -- orang tua ini telah menampilkan bidang
coklat yang membayangkan pergulatan dengan kerja, memasuki
luka-luka kehidupan. Kemudian tiga buah lukisannya yang dilukis
tahun ini ("Kerbau", "Membajak Sawah", I & II) nyaris menghitam
dengan bidang lebar dan guratan-guratan warna biru tua yang
masih mencetuskan rasa meluap-luap untuk hidup dan bekerja,
lewat kerbau-kerbau yang menarik bajak dalam sawah. Tetapi di
sini ada suasana tanpa pengharapan yang barangkali juga berasal
dari naluri yang meramalkan titik henti dirinya sendiri. Affandi
bukan seorang pembaharu untuk karya-karyanya sendiri. Tetapi 3
lukisannya yang terakhir itu tidak hanya mencatat emosi, tapi
mengajak orang untuk berpikir. Dan kalau Affandi sudah mulai
berpikir di samping kerasukan emosi di depan kanvasnya, boleh
diharapkan, ia akan mulai menggembirakan mereka yang
mengharapkan Affandi akan memberikan sesuatu yang baru. Tentu
saja tiga buah karya memang belum merupakan bukti yang boleh
dipercaya untuk seorang yang produktif seperti Affandi.
Affandi di samping lebih banyak tinggal di luar negeri pada saat
ini (sebuah lukisannya memakai judul bahasa Inggeris), ia juga
tergila-gila pada Bali seperti pelukis Rusli. Dalam pameran
ini juga ada objek yang diketemukan di Bali: Cremation,Old
Balinese, Fisherman, Balinese Boats, Tuak Drinkers yang
sudah tidak menampilkan lagi warna lokalnya. Artinya Affandi
sudah tidak tergiur lagi untuk menampilkannnya sebagai sesuatu
yang khas, sehingga di atas kanvas objek-objek tersebut tak
pernah berubah menjadi subjek. Barangkali ini juga sebabnya
mengapa tudak sulit bagi kita untuk mengikuti kanvas-kanvas
pelukis ini, meskipun ia seringkali melakukan destorsi pada
bentuk. Karena bersamaan dengan itu ia tetap berpikir sejalan
dengan masyarakatnya zamannya dan tidak menyimpang dari segala
tata-krama, moral dan basa-basi yang mengatur serta dihormati
oleh pergaulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini