Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Akhir Kisah Srikandi dari Distrik 12

Akhir perjuangan Katniss Everdeen melawan diktator Presiden Snow yang penuh darah dan air mata. Siapakah pilihan Katniss untuk kawan hidupnya?

30 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

The Hunger Games: Mockingjay Part 2
Sutradara: Francis Lawrence
Skenario: Peter Craig dan Danny Strong Berdasarkan novel karya Suzanne Collins
Pemain: Jennifer Lawrence, Julianne Moore, Josh Hutcherson, Woody Harrelson, Liam Hemsworth, Donald Sutherland

KATNISS kembali untuk memenuhi janji.

Katniss datang dengan busur dan panah di punggungnya dan mata menyala-nyala. Dengan penuh keyakinan, panah itu ia arahkan ke Presiden Snow, yang berdiri beberapa ratus meter di hadapannya. Semua mata memandang dengan tegang. Semua terkesiap menahan napas. Katniss, seperti seorang Srikandi, seolah-olah memenuhi takdir. Ia akan menumpaskan Capitol dan menghabisi nyawa Presiden Snow. Hanya dialah yang harus melakukan tugas itu.

Tapi….

Apa yang terjadi, bagi mereka yang belum membaca buku karya Suzanne Collins ini, adalah sesuatu yang mengejutkan—yang membuat segala yang terbayangkan runtuh seketika. "Katniss, kamu memang tak pernah mengecewakan," kata Haymitch, yang selalu menghargai tindakan dan kelakuan Katniss yang mengejutkan.

Memang Katniss dan pemerannya, Jennifer Lawrence, tak pernah mengecewakan. Sejak awal film pertama Hunger Games, Jennifer Lawrence, yang semula adalah bintang film indie, berhasil membetot perhatian dunia: remaja, dewasa, lelaki, perempuan, karena dia berhasil meniupkan roh ke dalam Katniss Everdeen, tokoh rekaan Suzanne Collins yang menjungkirbalikkan stereotipe perempuan. Katniss, warga remaja Distrik 12 yang jago memanah, adalah seorang pemburu binatang sekaligus seorang pengasuh yang cinta dan protektif terhadap Prim, adiknya, karena ibunya tidak berfungsi sebagai pelindung.

Ketika Katniss terpaksa menceburkan diri ke dalam permainan maut Hunger Games yang diciptakan Snow dan rezimnya yang keji, Katniss mau tak mau menjelma sebagai seorang lambang pemberontak, lambang keberanian, sang Mockingjay. Dan kita melihat bagaimana penulis Suzanne Collins dan sutradara Francis Lawrence (serta Gary Ross pada film Hunger Games pertama) berhasil menghajar stereotipe perempuan dalam film Hollywood: perempuan perawan atau perempuan jalang. Dalam film ini, terutama dalam episode final ini, tidak ada dikotomi dungu perempuan perawan atau perempuan jalang. Dalam film ini, perempuan adalah pemimpin.

Komandan Paylor (Patina Miller), Presiden Pemberontak Alma Coin (Julianne Moore), Letnan Jackson (Michelle Forbes), Komandan Lyme (Gwendoline Christie), dan beberapa pemimpin pemberontak dari berbagai distrik lain adalah perempuan. Lelaki dalam film ini tak punya persoalan. Enak sekali. Mereka tak perlu mengutip ayat-ayat feminisme atau menonjok mulut ceriwis lelaki yang dungu, karena tampaknya para lelaki dalam jagat Suzanne Collins menyadari lelaki dan perempuan adalah gender yang setara.

Problemnya bukan pada gender, melainkan pada Presiden Snow dan perangkatnya yang luar biasa megah dan hampir tak tertandingkan itu, yang sungguh sulit diterabas dengan modal kekompakan, kemarahan, dan keahlian di medan perang sekalipun. Ingat, Snow memiliki banyak gamekeeper, yang mampu mengerahkan keahlian untuk menciptakan pelbagai serangan buatan yang mematikan, sejak Hunger Games pertama hingga final yang merupakan perang nyata: lautan minyak hitam yang menyerbu dan mengepung Katniss dan pasukannya atau ratusan makhluk mutan yang menggerayangi Katniss di terowongan air bawah tanah. Ini adegan yang paling mencekam, mengerikan, sekaligus mematahkan hati.

Dalam peperangan akhir yang terbesar, seperti Bharatayudha, seperti juga Perang Dunia dalam hidup nyata, selalu saja ada orang-orang yang kita sayangi yang akan menjadi korban, karena memang demikianlah kebutuhan plot, dan memang demikianlah hidup.

Jika mau jujur, sudah tak penting lagi siapa yang menang atau kalah dan lelaki mana yang akan dipilih Katniss. Pada akhirnya, dalam setiap peperangan, semua kalah karena terjadi banjir darah. Itulah sebabnya Katniss adalah tokoh yang paling rasional, yang sangat tidak menikmati perannya sebagai ikon pemberontakan, karena dia tahu kemenangan pun tak akan membahagiakannya meski mereka akan jadi bisa membangun masyarakat yang bebas dan adil.

Kedua lelaki sepanjang empat serial film ini, Peeta dan Gale, jadi tak lagi menarik. Gale terlalu membosankan. Jika dia muncul di layar dan mulai ngambek atau cemburu, kita bisa permisi ke toilet dulu. Peeta adalah karakter yang lemah. Jadi sebetulnya, tanpa keduanya, Katniss bisa hidup dengan sukses. Tapi, sebagai seorang Srikandi dari Panem, dia juga butuh cinta dan pelukan di malam hari.

Yang sangat disayangkan, para karakter pendukung lain, kecuali Presiden Snow (yang diperankan dengan gaya yang anggun sekaligus sinis oleh aktor veteran Donald Sutherland), kurang mendapat porsi yang "berdaging". Haymitch, Effie, Cressida, apalagi Plutarch—yang diperankan Philip Seymour Hoffman, yang wafat di tengah pembuatan film ini—seolah-olah muncul untuk sekadar mengucapkan perpisahan kepada penontonnya. Fokus adalah Katniss, tapi itu bukan berarti para penulis skenario harus membuat peran pendukung menjadi lemak yang tak berguna. Mereka harus dibuat menjadi karakter yang berisi dan menggairahkan seperti pada episode-episode sebelumnya.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus