Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BENAR-benar dibutuhkan keberanian dan keseimbangan tubuh untuk melakukan hal seperti Tony Broer. Dengan badan, muka, dan jenggot berlumuran lumpur, aktor dari Bandung itu tiba-tiba memanjat tiang besi di dinding bekas Pabrik Gula Colomadu, Solo. Tanpa menggunakan peralatan pengaman apa pun, ia naik sampai di atas ketinggian yang mungkin lebih dari 20 meter. Ia berjalan meniti lajur-lajur besi.
Besi-besi itu berkarat. Puluhan tahun besi-besi itu tak pernah diganti. Bisa saja krakk… retak saat terinjak. Ngeri menyaksikan Tony menyusuri titian besi tersebut. Goyang sedikit saja tubuhnya, ia bakal jatuh dan Anda tahu pasti apa yang terjadi. Tapi, di ketinggian itu, tubuhnya bergerak cepat—dan tepat di atas kain-kain putih yang terjuntai puluhan meter ke bawah, ia berdiri gagah. Tony merentangkan tangannya. Lalu ia mengguyurkan cat ke kain, menimbulkan lelehan dan bercak-bercak warna—serupa lukisan abstrak di kain.
Inilah sebuah adegan yang menggigit dan tak terduga dari pentas Sardono W. Kusumo: Fabriek Fikr. Sudah lama Pabrik Gula Colomadu mati. Tertutup bagi publik. Jarang ada yang masuk. Dan, selama tiga hari pada 20-22 November lalu, Sardono mengajak menjelajah ke dalam.
Pabrik gula yang didirikan pada 1862 oleh Mangkunegara IV ini dikenal sebagai tonggak awal industrialisasi tanah Jawa. Pembangunannya diikuti jaringan rel kereta api di Kota Solo. Dulu ada jalur-jalur kereta lori yang menghubungkan ladang tebu ke pabrik. Selama delapan tahun, pada 1912-1920, Mangkunegara IV mendatangkan mesin-mesin penggiling dari Eropa yang digunakan untuk memproses tebu hingga menjadi kristal putih yang berasa manis.
Dan, begitu masuk, kita lihat mesin-mesin giling yang pada zamannya sangat canggih itu telah menjadi bangkai-bangkai. Rongsokan, karatan, tapi terasa masih menakjubkan karena ukurannya demikian gigantis. Memberi suasana mirip film-film sains fiksi. Diiringi musik Otto Sidharta, belasan penari asal Sorong, Papua, merespons kuburan alat-alat giling itu. Seperti ada ikatan chemistry antara tubuh mereka dan "artefak" itu. Otto memasang beberapa sensor di sekitar pabrik gula yang mampu menangkap intensitas cahaya, kelembapan, suhu, hingga angin di sekitar gedung tua itu. Tangkapan sensor itu diolah oleh sebuah perangkat lunak hingga menghasilkan suara abstrak yang berdengung.
Tatkala Tony Broer turun dari "langit", ia ikut menyelinap di sela-sela mesin dan naik di atas roda besi raksasa bermerek Gebr Stork & Co Hengelo. Ia bertengger tepat di tengah. Setelah itu, Tony meloncat, berjalan ke samping kiri. Rombongan penonton mengikuti langkahnya. Di depan tempat yang penuh puing batu bata, ia membenamkan diri ke dalam lumpur. Seseorang dengan jas hujan membakar sesuatu.
Yang menarik dari pertunjukan ini adalah penonton dibawa melakukan perjalanan menyusuri anatomi pabrik yang hancur. Mengingatkan bagaimana Sardono pernah dalam sebuah pementasan lain di sebuah malam mengajak penonton menyusuri kompleks petilasan Ratu Boko yang luas. Sementara dulu penonton dibawa ke Ratu Boko yang merupakan kawasan reruntuhan percandian, kini mereka diajak menjelajah ke perut sebuah pabrik yang mati. Dari sisa-sisa mesin satu ke sisa-sisa mesin lain. Pertunjukan berlangsung sejak pukul 3 siang sampai 6 sore. Memanfaatkan cahaya yang menembus atap-atap yang bolong.
Penonton diajak membayangkan masa silam pabrik ini. Begitu banyak ruangan. Begitu banyak tanur, tabung baja berkarat, pipa, dan slang besi. Dan memang seluruh kawasan menjadi situs "arkeologi urban" yang tak terduga. Di sebuah ruangan yang dinding-dindingnya berantakan, Sardono membentangkan dua layar. Layar satu menampilkan film dirinya menari dari kota dunia satu ke kota dunia lain. Layar lain menampilkan Slamet Gundono (almarhum) dan penari Yola Yulfianti yang tengah hamil menari di kawasan Bledug Kuwu, Grobogan.
Di sebuah ruangan lain yang entah dulu berfungsi apa, tiga penari perempuan dengan rambut sangat panjang melebihi pantat berdiri di atas batangan-batangan rel baja. Mereka mengikatkan tali tampar ke ujung batangan dan menarik-nariknya seolah-olah itu beban. Lalu secara serempak mereka menggelombangkan rambut bersama-sama. Dari ruangan ini, penonton dibawa ke ruangan lain yang lebih sempit dan gelap karena tak ada jendela. Di dindingnya ditembakkan film dokumentasi Colomadu pada era kejayaannya.
Setelah itu, penonton diarahkan ke luar kembali ke tempat terang, yang agaknya bagian belakang dari pabrik. Terdapat sebuah lantai luas yang posisinya lebih tinggi daripada ruangan lain. Mungkin di sinilah dulu pak-pak gula ditempatkan sebelum diambil oleh truk. Dan, sore itu, tempat tersebut dijadikan sebuah stage. Di situ seseorang menggesek cello. Nyak Ina Raseuki menyanyi. Sapardi Joko Damono membaca kumpulan puisi berjudul "Mantra Orang Jawa". Iwan Darmawan, penari Yogya, dengan rambut putih panjangnya yang terurai masuk membawa seekor kuda. Ia bagaikan sosok Diponegoro. Lalu Sardono sendiri menari.
Semua unit pertunjukan lepas satu sama lain. Tak ada kesatuan yang mengikat—kecuali situasi dan imajinasi tiap seniman akan pabrik yang hancur. Sardono mengatakan makin terstimulasi membuat pementasan setelah melihat Tony Broer yang berani mengeksplorasi ketinggian. "Sebulan lalu saya undang Tony ke sini. Saya cari dia di mana, ternyata dia sudah ada di atas. Berjalan di atas. Saya merasa tubuh Tony mampu mengalahkan ruang seluas ini."
Tony sendiri memiliki keyakinan, bila dia telah berhasil berinteraksi dan mengakrabi ruangan pabrik tersebut, dia akan selamat. Dan cara cepat untuk mengakrabi gedung adalah menyusuri ketinggiannya. "Saya tak sempat memeriksa kekuatan besi yang sudah uzur itu. Bangunan ini sendiri menjaga saya," katanya.
Peneliti sejarah dari komunitas Solo Tempo Doeloe, Heri Priyatmoko, mencatat, yang sangat luar biasa dari Mangkunegara IV adalah penanaman tebu untuk keperluan Colomadu tidak dilakukan dengan tanam paksa. Ini berbeda dengan pabrik gula dan perkebunan lain milik kolonial Belanda, yang menerapkan cultuurstelsel. Di Colomadu, orang-orang Eropa, khususnya Jerman, juga hanya menjadi pekerja di pabrik, seperti administrateur, controleur, inspektour, dan pakhtuis mester alias penjaga gudang.
Menurut Heri, Mangkunegara IV pada zamannya telah memperkenalkan sistem corporate social responsibility. Ia mendirikan balai pengobatan, rumah-rumah pegawai, sampai lapangan sepak bola di sekitar pabrik. Itu sebabnya gerakan mogok massal pekerja kebun tebu yang digerakkan oleh Insulinde di Solo tidak pernah menyentuh perkebunan milik Mangkunegaran. Dengan keuntungan pabrik gula itu, Mangkunegara IV juga aktif memperkenalkan tari serimpi di berbagai negara.
Dan terobosan itu kini sirna. Sejak 1997, Pabrik Gula Colomadu resmi ditutup. Mesin-mesin penggiling tebu menjadi mesin hantu. "Para penjaga menganggap ruang-ruang di sini angker. Saya diperingatkan agar tidak menggunakan beberapa ruang karena takut ada apa-apa," ujar Sardono. Tapi, sore itu, ia mengajak kita melakukan ziarah untuk mengenyahkan kekhawatiran tersebut dan membangkitkan imajinasi liar bahwa situs Colomadu bisa "hidup" untuk kedua kalinya.
Seno Joko Suyono, Ahmad Rafiq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo