Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Persembahan 'Borjuis Kecil' Bumi Tarung

Misbach Tamrin, salah satu pendiri Sanggar Bumi Tarung, memamerkan karyanya di Galeri Nasional Indonesia pada 20-30 November 2015.

30 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LUKISAN berjudul Perpisahan itu cukup membuat tercenung. Digambarkan sebuah bangunan besar entah gudang entah apa. Belasan tentara terlihat menyeruak masuk. Mereka berdiri di depan puluhan orang bersarung yang terkesan telah dikumpulkan berhari-hari di situ. Seorang tentara membaca selembar kertas, yang lain menodongkan senjata kepada mereka yang maju.

Memandang lukisan ini, kita langsung dapat membayangkan tentara itu tengah membacakan nama-nama. Pada lukisan itu tampak di luar ada truk pengangkut. Fokus lukisan adalah dua orang yang berdiri berpelukan di antara puluhan lain yang duduk memandang dengan tatapan kosong. Kita tahu satu di antaranya namanya dipanggil.

Lukisan Perpisahan itu disandingkan dengan lukisan lain. Tujuh pria berdiri di tepi jurang di dekat pohon rindang yang hitam: tiga di antaranya bertelanjang dada, semuanya tanpa alas kaki, tangannya diikat dengan tali hitam yang saling menyambung. Wajah mereka tegang, pasrah. Mata mereka melirik ke arah tentara yang mengarahkan senapan serbunya. Di kejauhan, beberapa tentara berjaga dengan senapan di dekat dua truk pengangkut. Karya ini berjudul Eksekusi di Tepi Jurang.

Dua lukisan ini seperti menyeret ingatan ke rangkaian kejadian setelah tragedi 1965, ketika mereka yang diduga terlibat diangkut dan dibunuh tanpa pengadilan. Suasana tragis terutama berhasil pada lukisan Perpisahan. Kita bisa membayangkan betapa mereka yang namanya dipanggil itu tahu bahwa kemungkinan dirinya akan mati. "Memang ini sengaja untuk mengingatkan apa yang terjadi, karena selama ini belum ada penanganan yang jelas," ujar Misbach Tamrin.

Pada usia 74 tahun, untuk pertama kali salah satu pendiri Sanggar Bumi Tarung—sanggar yang pada 1960-an bervisi revolusioner kerakyatan—itu berpameran tunggal. Ia menamai pamerannya "Arus Balik" (meminjam judul novel Pramoedya Ananta Toer). Ada banyak lukisan yang disajikan. Tapi lukisan-lukisan yang berkenaan dengan pengalaman pribadinya sekitar 1965 itu memang yang menarik perhatian. Tengoklah bagaimana Misbach menuangkan kejadian saat Sanggar Bumi Tarung dirobohkan. Dalam lukisan sepanjang 150 x 300 sentimeter itu, di bagian kiri tampak dia dan teman-temanya berdiri dengan tangan terborgol, di tengah suasana porak-poranda patung kayu Amrus Natalsya bergelimpangan, dan di bagian kanan di antara runtuhan pigura-pigura seorang ibu dan empat anak kecil ketakutan.

Hal yang menggugah juga adalah bagaimana ia sering menggambarkan dirinya dan teman-teman Bumi Tarung—Amrus Natalsya, A. Gumelar, Djoko Pekik, Isa Hasanda, Muryono, Gultom, Soehardjo, dan Sediono—berkumpul-kumpul, berdiskusi, baik ketika masih muda maupun saat tua, sesudah mereka keluar dari tahanan. Hal itu menunjukkan pertemanan mereka sedemikian solid. Cara Misbach menggambarkan raut muka para sahabatnya itu jelas. Dua lukisannya tentang sosok sastrawan Pramoedya Ananta Toer: Kritisi Pram dan Pram Nyanyi Sunyi Seorang Bisu juga terlihat kuat.

Dalam pameran ini, pria kelahiran Amuntai, Kalimantan Selatan, itu tak melulu melukis masa lalu. Dengan energinya yang cukup mengagumkan, ia, misalnya, melukis seri sosok Laksamana Cheng Ho. Ada 11 lukisan bertema Cheng Ho dengan ukuran besar menggambarkan bagaimana laksamana ini berlayar, berdagang, menaklukkan badai, dan menyebarkan agama Islam. Sebuah lukisannya, Kehidupan Pantai Nusantara, yang demikian detail sebesar 250 sentimeter x 540 sentimeter. "Ya, karena bersemangat, saya masih bisa melukis sebesar itu," ujar seniman yang mengenyam pendidikan di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) pada 1959-1964 ini. Lukisan besar ini digarap biasanya mulai malam hari hingga pagi selama hampir tiga bulan. Sedangkan lukisan yang lebih kecil rata-rata sebulan. Dia mengakui semangatnya tak jarang kalah oleh gangguan kesehatan.

Yang menarik, Misbach memiliki kekhasan teknik. Sering lukisan Misbach ditandai oleh garis-garis geometris seperti prisma kaca. Saat ia menggambar Sanggar Bumi Tarung dirobohkan, sosok Pram, atau Cheng Ho tengah bertolak di kapal, kanvas bisa berkesan prismatis atau dalam bidang geometris. Misbach menerangkan itu membuat lukisan lebih dramatis. "Kesannya jadi lebih terasa," tuturnya.

Dua sahabat sanggarnya, Amrus Natalsya dan Djoko Pekik, hadir dalam pembukaan pameran malam itu. Mereka memberikan kesaksian. "Misbach itu mahasiswa ASRI, borjuis kecil dari Kalimantan yang terjebak di Bumi Tarung," ujar Djoko Pekik saat memberi sambutan. Misbach, kata Djoko, menjadi hebat dengan gemblengan Amrus dan kehidupan di penjara sebagai tahanan politik selama 13 tahun. Tapi Misbach merendah atas pujian Djoko, "Kami berjuang bersama."

Amrus pun berkisah persahabatannya dengan Misbach berawal dari perdebatan sengit yang seru pada 1960-an di Yogyakarta. Saat itu Misbach baru setahun masuk ASRI. Pada awal masuk ASRI, Misbach masih sangat teguh berpegang pada prinsip seni untuk seni. Misbach bahkan sempat berpameran di Jefferson Library milik Amerika Serikat. Tapi, dari debat-debat dengan Amrus di warung Mbok Djojo sampai emperan toko Pasar Gampingan, Misbach malah ikut mendirikan Sanggar Bumi Tarung dan menjadi juru bicaranya."Tak hanya berkarya, tapi juga berdiskusi seni dan politik, terutama prinsip Lekra, 1-5-1," tutur Amrus.

Peristiwa 1965 memisahkan Misbach dan Amrus. Kedua sahabat itu bertemu 17 tahun setelah mereka masing-masing ditahan. Pada 1982, saat menggarap patung kaligrafi dari kayu ulin di Kintap, Kalimantan Selatan, Amrus berjumpa dengan Misbach, yang selaku mantan tahanan politik direkrut pemerintah daerah setempat sebagai tenaga ahli murah untuk pembangunan berbagai monumen. Kebersamaan mereka terbangun lagi. Gelora kesenian Misbach meluap. Dan, pada usia senja, Misbach berpameran tunggal untuk pertama kali. Bukan sebuah romantisisme, melainkan sebuah jalan pedang.

Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus