Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI bawah sisa-sisa musim dingin yang menggigit, saya menuju Latin Quarter, tak jauh dari Universitas Sorbonne, Paris, ke arah Restoran Indonesia, pada Februari 1996. Umar Said menyambut hangat di depan restoran yang ia dirikan bersama Budiman Sudharsono, Sobron Aidit, dan Kusni Sulang—pada Desember 1982.
Restoran ini tak hanya dikenal karena makanannya, tapi juga oleh pelbagai kegiatannya, antara lain menuntut keadilan bagi korban Peristiwa 1965 dan dukungan bagi gerakan demokrasi di Indonesia. Tak mengherankan bila restoran ini dikenal sebagai monumen perlawanan terhadap Orde Baru.
Sukses Restoran Indonesia tak bisa menutupi kisah sedih Umar Said, yang terpisah dari istri dan anaknya selama hampir 13 tahun. Khawatir akan keselamatan keluarganya, Umar Said sengaja tak berinisiatif mencari tahu keadaan mereka. "Saya menunggu dengan sabar, sampai saatnya tiba," katanya.
Sahabatnya, Joesoef Isak, pengelola penerbit Hasta Mitra, berinisiatif mencari tahu keberadaan keluarganya. Maka, di suatu pagi, 1978, telepon di rumah Umar, di Paris, berdering. Dari seberang terdengar suara istrinya. Mereka kemudian bertemu di Amsterdam, Belanda. Selang setahun Umar Said bertemu dengan kedua putranya di Paris.
Umar Said tak pernah menduga karier jurnalistik akan membawa hidupnya menjadi eksil ke beberapa negara. Dilahirkan pada 26 Oktober 1928 di Pakis, Malang, Jawa Timur, karier jurnalistiknya berawal di surat kabar milik Mochtar Lubis, Indonesia Raya (1950-1953). Pada 1953, dia menjadi wartawan Harian Rakyat, dan tiga tahun kemudian pindah ke Padang untuk memimpin Harian Penerangan. Di Padang, ia menikahi gadis Minang dan dikaruniai dua anak. Pada 1960, Umar Said kembali ke Jakarta dan memimpin koran Ekonomi Nasional.
Di Jakarta, Umar Said mulai terlibat dalam organisasi jurnalistik. Pada 1962 ia bertemu dengan delegasi wartawan Asia-Afrika dalam Kongres International Organization of Journalists (IOJ) di Budapest, Hungaria, yang bersepakat menyelenggarakan Konferensi Wartawan Asia-Afrika (KWAA) di Indonesia. Dalam panitia persiapan KWAA, Umar Said terpilih sebagai bendahara.
Pada 1963, KWAA diselenggarakan di Jakarta. Djawoto terpilih sebagai Sekjen KWAA dan Umar Said sebagai bendahara merangkap anggota Sekretariat PWAA. Tahun itu juga dia terpilih sebagai bendahara PWI Pusat. Di sela-sela kesibukannya, ia menyempatkan diri untuk mengajar di Akademi Jurnalistik Dr Rivai.
Pada September 1965, Umar Said menuju Santiago, Cile, untuk menghadiri konferensi IOJ. Dari Cile dia menuju Aljazair untuk persiapan penyelenggaraan KWAA ke-II. Ketika tiba di Aljazair, pihak KBRI mengabarkan telah terjadi pergolakan politik di Jakarta. Pergantian kekuasaan diikuti dengan pembunuhan massal atas orang-orang yang dituduh PKI di berbagai daerah. Umar memutuskan tak segera kembali ke Jakarta.
Ia kemudian ke Beijing, pada November 1965, lalu menuju Rumania, Yugoslavia, dan pada 1973 ke Jerman Barat. Pada April 1974, dia meminta suaka politik di Prancis. Di Paris, Umar Said mulai menata kehidupannya. Esai jurnalistiknya yang kritis mulai bermunculan. Belakangan tulisan-tulisannya menyebar melalui media Internet meleÂwati batas-batas negara. Sampai hari tuanya Umar Said tetap menulis. Sebulan sebelum kematiannya, Umar Said menulis Bahan Renungan Sekitar G30S, Bung Karno, Soeharto, dan PKI.
Pada 8 Oktober 2011, berita duka datang dari Paris. Umar Said wafat akibat serangan jantung pada usia 83 tahun. Perjalanan hidupnya yang dramatis, dengan berpindah-pindah negara—kemudian juga pindah kewarganegaraan—menjadikannya "pengembara permanen" yang kehilangan tanah air.
Wilson (sejarawan dan Koordinator Litbang Praxis)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo