Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Aktor dan raja yang tua

Pementasan raja lear oleh studiklub teater bandung di tim jakarta cukup bermutu dibandingkan grup teater di jakarta. kehadirannya di tim menjadi penting sebab belakangan ini sepi akting bermutu.

9 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMA dua malam, 2 dan 3 Mei lalu, di Teater Tertutup TIM penuh sesak penonton. Dan mereka, setiap kali ketawa kagum atas kalimat-kalimat Shakespeare, tentu, terpesona pula pada seni akting Suyatna Anirun. Belasan tahun yang lalu, juga ribuan penonton Teater Terbuka TIM terkesima oleh kedua hal yang sama: dialog-dialog Shakespeare dan permainan karismatik Rendra ketika memerankan Hamlet. Kedua peristiwa ini hanya semakin mengukuhkan kedudukan Shakespeare sebagai pujangga alias empu dan bukan sekadar penulis lakon. Dan semakin benar apa yang ditulis Lee Strassberg bahwa Shakespeare adalah kaisar yang tak terkalahkan. Raja Lear bukan saja sebuah sandiwara kata, tapi juga boleh disebut sebagai sandiwara tentang kata. Karena itulah kenapa Lear, raja tua itu memilih mengadakan 'lomba retorika' di antara ketiga putrinya ketika akan mewariskan kerajaan serta kekuasaannya. Dan, memang, sang raja kemudian memilih serta berpihak kepada katakata yang diluncurkan kedua putrinya yang pertama. Begitu puas ia akan kata-kata cinta yang diucapkan Gonerill dan Regan, sehingga dengan bangga ia serahkan kepada keduanya bagian kerajaannya. Tapi, sebaliknya, ia begitu murka karena putrinya yang bungsu kikir akan kata-kata. "Hati hamba tidak terangkat ke mulut," kata Cordelia. Dan sang raja mencampakkan Cordelia, karena ia berpihak kepada kejujuran serta apa yang nyata. Menarik untuk dicatat. Dua tahun belakangan ini ada dua orang dramawan yang memilih tema penyerahan dan pemindahan kekuasaan, yaitu Rendra dengan Panembahan Reso-nya dan Suyatna dengan Raja Lear yang pernah dipentaskan satu tahun lalu di Bandung dan Yogya. Sayang sekali, tak banyak pihak yang tergugah menanggapi pertunjukan Suyatna. Padahal, kualitas pementasan Studi klub Teater Bandung (STB) itu cukup bermutu dibandingkan umumnya grup di Jakarta. Sang Raja dimainkan sendiri oleh sutradaranya, Suyatna Anirun, dengan permainan dan tempo yang selektif-ekonomis sekali. Pada bagian pertama lakon itu, barangkali, Suyatna sangat ekonomis. Sehingga, timbul kesan terlalu buru-buru dan suasana dramatik belum sempat tercipta. Tapi setelah itu, boleh jadi ia termasuk tipe aktor yang lambat pentas - Suyatna lalu tampil dalam setiap adegan dengan daya pikat yang sangat kuat. Dan puncak keseniannya tampil pada saat Lear berada pada puncak kegilaannya. Hampir boleh dikatakan, seluruh pertunjukan diborong sendiri oleh Suyatna. Dan tak berlebihan kalau dikatakan, umumnya nonton juga bersedia duduk lebih dari tiga jam. Terutama karena selalu menunggu sajian permainannya - di samping menunggu kalimat-kalimat Shakespeare yang Jenaka tapi cendekia. Pemain-pemain lain belum mampu mengimbangi permainan Suyatna - kendati umumnya memiliki alat-alat luar yang siap, baik tubuh maupun suara, hanya saja mengesankan kurang terpelihara dan kurang didukung alat dalam (intellectual dan emotional) yang memadai. Tapi Godi Suwarna yang memainkan tokoh Badut boleh dicatat, karena hampir bisa melayani Suyatna bersama Sis Triaji yang memainkan Kent. Yang paling mengganggu selama pertuniukan adalah tata cahaya yang amat kikir dan sering sekali tidak melayani daerah permainan. Juga terlalu seringnya melakukan black ot, ditambah musik yang sangat monoton, bukan saja mengesankan tak terampil. Malah menunjukkan teknik penyajian STB yang berhenti berkembang sejak tahun-tahun kejayaannya. Namun, semuanya teratasi karena seni akting Suyatna serta penanganan segi lainnya yang cukup profesional. Dan dibanding pementasan-pementasan Suyatna terdahulu, Raja Lear adalah pementasannya yang terbaik dan temponya tidak lamban. Permainan Suyatna Anirun tak luar biasa, tapi sangat patut dicatat. Dan kehadirannva di TIM segera akan menjadi penting mengingat belakangan ini pentas-pentas teater seperti kesepian dari seni akting bermutu. Juga, seperti Panembahan Reso, akan semakin penting kehadirannya setelah pentas-pentas teater mulai suka menjajakan banyolan murahan (bodoh) dan jorok. Paling tidak, jenis-jenis pementasan STB akan memberikan koreksi. Atau imbangan terhadap pementasan-pementasan ombyokan alias kodian, atau teater kelompok yang sering mengaburkan perkembangan seni akting - kalau tak mengaburkan nilai sebenarnya pada kemampuan perorangan para aktor. Dan yang paling pahit adalah kenyataan: lagi-lagi tokoh "tua" seperti Suyatna vang bertahan. Aktor-aktor muda masih belum mampu menyatakan kepribadiannya. Arifin C. Noer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus