TOLONG, tolong...," itulah suara terakhir Sumarsih, warga Manggarai, Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu. Pagi itu setelah berbelanja, ibu berusia 35 tahun itu bergegas masuk rumah, lalu buru-buru menghidupkan radio. Hari itu adalah jadwal ia mendengarkan sandiwara Saur Sepuh. Karena terburu-buru itulah, mungkin, ia tak melihat kabel yang telah lecet plastiknya. Begitu kabel ia hubungkan ke stop kontak, langsung setrum 220 Volt mengalir ke tubuhnya. Suaminya, Sugiman, 40 tahun, tanpa berpikir lagi mencoba menarik tangannya. Tentu saja, setrum pun menjalar ke dia pula. Suami-istri beranak empat itu roboh bersama-sama. Nyawanya tak tertolong. Ini kasus. karena begitu fanatiknya pada sandiwara radio orang bisa lupa yang lain-lain, termasuk kabel yang mematikan. Menurut survei dari Survey Radio Indonesia (SRI), sebuah lembaga penelitian, di delapan kota besar di Indonesia baru-baru ini, pada jam-jam siaran sandiwara radio ratusan ribu penggemar nongkrong di depan pesawat masing-masing. Di Jakarta, misalnya, pada pukul 5 sore, banyak orang menyetel Radio Nusantara Jaya, yang menyiarkan serial Saur Sepuh. Sementara itu, Radio Prambors, Jakarta, yang mengudarakan Catatan Si Boy tiap Kamis malam, didengarkan, menurut SRI lebih dari 150 ribu orang. Di Bandung, sedikitnya 110 ribu pendengar asyik mengikuti sandiwara Sempal Guyon Parahyangan. Sebanyak 14 pemancar radio swasta niaga, di Bandung dan Jakarta, juga menyiarkan sandiwara berbahasa Sunda itu. Menjamurnya sandiwara radio bisa juga dipantau dari studio-studio rekaman. Sanggar Prathivi, di Jakarta, salah satu pelopor studio rekaman sandiwara radio, umpamanya. Menurut catatan Yodam Hardono, dari Bagian Produksi, pesanan sandiwara belakangan ini memang meningkat. Dua tahun lalu hanya diselesaikan dua serial, tapi sanggar ini kini menangani empat judul drama serial. "Jumlah episode yang diminta pemesan juga membengkak," kata Yodam. Salah satu produksinya yang populer adalah serial Dokter Darma. Tapi Yodam mengakui, sementara Sanggar Prathivi termasuk studio pelopor, kepopuleran Dokter Darma tak sehebat Saur produksi Studio Haravana, Jakarta. Selain itu, banyaknya pendengar bisa juga dilihat dari populernya ama-nama para pemain. Ferry Fadli, yang memerankan Brama, tokoh utama dalam Saur Sepuh, dan Elly Ermawati, pemeran Mantili, begitu dikenal pendengarnya. Setiap kali acara jumpa pemeran, pendengar yang hadir mencapai ratusan. Bahkan, dalam kampanye pemilu lalu, salah satu kontestan memanfaatkan kedua tokoh utama itu: mereka digambarkan sedang mencoblos tanda gambar tertentu. Dan di belakang boom sandiwara ini terkait bisnis yang tidak kecil. Sebuah radio swasta niaga bisa memasukkan ke kas secara rutin tiap bulan sekitar Rp 4 juta, dan ini terjamin lancar sedikitnya selama 10 bulan. Perhitungannya, tiap siaran sandiwara, yang tiap hari itu, harganya antara Rp 125.000 dan Rp 150.000. Sementara sebuah serial biasanya terdiri dari lima episode, dan setiap episode biasanya mencapai 60 kali siaran. Tapi di daerah memang lebih murah. Radio Unisi, Yogyakarta, memperoleh Rp 500 ribu per bulan dari Bayer yang mensponsori Bende Mataram, sandiwara yang digubah dari cerita silat karya Herman Pratikto. Di Medan, Radio Cosanastra setiap bulan mendapat Rp 300.000 dari Kalbe Farma dengan memutar serial Saur Sepuh. Lalu dari serial Suramnya Bayang-Bayang produksi pabrik balsem Bintang Toedjoeh, Cosanastra memperoleh Rp 250.000. Para pemain, tentu saja, ikut terkatrol. Tisna Suntara dan Andi R. Johari, pemeran utama Sempal Guyon Parahyangan, kini tiap bulan setidaknya mengantungi Rp 400.000 dari sponsor. Tak jelas, sebelum sandiwara radio jadi hiburan di mana-mana, berapa mereka terima. Survei SRI memang tak sampai menganalisa sejak kapan sandiwara radio boom. Bisa jadi, baru setelah Saur Sepuh mengudara, September 1984, orang, tua-muda, menyadari bahwa sandiwara radio ternyata bisa juga menarik. "Cerita dalam sandiwara itu mengajarkan kepada kami tentang rasa persatuan dan kesatuan bangsa, dan bagaimana meyelesaikan -persoalan dengan adil dan bijaksana," komentar Surya Astini, 17 tahun, siswi Sekolah Analis Kesehatan Mataram, Lombok, yang mengaku tak pernah ketinggalan mengikuti Saur Sepuh. Yang jelas, Saur kini memasuki episode ketujuh, disiarkan oleh lebih dari 200 radio swasta niaga di seluruh Indonesia - mungkin sandiwara radio terlaris dalam sejarah siaran radio. Saingan dekatnya, Bende Mataram, juga cerita silat dengan latar belakang sejarah, yang diudarakan oleh 60-an radio. Ini mengingatkan pada RRI Yogyakarta, pertengahan 1950-an. Grup sandiwara radio di RRI ini kala itu termasuk digemari. Menjadi benar-benar populer, setelah Sumardiono, pimpmannya, mengadaptasi karya sastra dunia, misalnya Hamlet karya Shakespeare, ke bahasa Jawa. Juga beberapa karya Tolstoy. Boom-nya, tatkala grup ini membawakan serial Joko Sudiro yang merupakan adaptasi dari cerita Cina, Sie Jin Kui. Tampaknya, bila sandiwara radio memang tergolong yang disebut kebudayaan massa, boleh ditebak, nasibnya akan mirip novel pop: meledak di satu saat, surut kembali di saat lain. Seumpama nanti, gantinya Saur Sepuh tak begitu populer, kala itulah sandiwara radio akan surut. Sampai, sebuah naskah baru yang bisa diterima di hati keluarga di lorong dan kampung-kampung, sampai yang di gedongan, ditulis orang. Yusroni Henridewanto, Laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini