Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Sebuah ulang tahun untuk mazhab

Upacara haul, ulang tahun kematian, syaikh ali ibn husain al-maliki al-makki dari mekah, yang diselenggarakan di jakarta. mengingatkan pada masalah mazhab dalam islam. pro & kontra tentang mazhab.

9 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JADINYA, ini persembahan seorang murid kepada guru yang berbeda mazhab. K.H. Djunaidi, 76, yang tinggal di Menteng Atas, Jakarta, selalu menyelenggarakan selamatan haul (ulang tahun kematian) bagi seorang ulama besar yang dulu mengajarnya. Itu normal saJa d hngkungan klan Tapi bahwa yang dihaul-i itu seorang ulama Arab, meninggal 40 tahun yang lalu dan bermazhab lain dari mazhabnya (Maliki, bukan Syafi'i seperti mazhab Pak Kiai dan umumnya kiai Indonesia), boleh memberi gambaran aktual tentang hubungan antarpemeluk mazhab-mazhab yang berbeda dalam tradisi umat Islam. Upacara haul itu, diselenggarakan untuk yang ke-40 kalinya Senin pekan lalu, ditujukan kelada Svaikh Ali ibn Husain Al-Maliki Al-Makki, alias "Kiai Ali bin Husain dari mazhab Maliki kelahiran Mekah". Ulama yang juga meninggal di Mekah (1947) ini kebetulan pula punya porsi tertentu dalam perkembangan ilmu agama Islam di sebagian muslimin kita. Ia salah seorang guru para kiai Indonesia sebelum Perang Dunia 11. "Kita tidak menyangka, banyak ulama kita mendapatkan ilmu agama dari ulama bermazhab lain," kata Zaini Ahmad Noeh, seorang pengamat masalah sosial keagamaan dan bekas staf ahli Menteri Agama. Dalam satu edisi harian Saudi, Al-Bilad, 1983, Syaikh Ali Al-Maliki sendiri disebut "Syibawaih zamannya". Imam Syibawaih adalah Bapak-Bahasa Arab. Sedang Al-Maliki, di samping ahli bahasa, pernah menjabat sebagai kepala Lembaga Fatwa mazhab Maliki, selama beberapa tahun sejak 1910. Hubungannya dengan beberapa ulama Indonesia terutama menjadi dekat setelah beliau diminta mengajar di Perguruan Darul Ulum, Mekah, yang didirikan oleh Sayid Husain Musawa, seorang ulama bermazhab Syafi'i. Di situ banvak belajar pemuda kita. Pada angkatan Kiai Djunaidi saja (tokoh ini bekas hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi Agama Islam) terdapat sekitar 250 santri kita yang menimba ilmu dari Syaikh. Belum lagi terhitung santri-santri halaqahnya (lingkaran diskusi) seperti H. Imron osyadi, S.H., tokoh NU dan PPP, dan Prof. K.H. Anwar Musaddad yang juga tokoh NU. Hampir bisa dipastikan, ulama Indonesia yang pernah bermukim di Saudi scbclum 1947 pernah merasakan sentuhan didikannya. K.H. Zaini Miftah, imam besar pertama Masjid Istiqlal, Prof. K.H. Zainal Abidin Fikri, bekas Rektor IAIN Raden Patah Palembang, Prof. K.H.M.O. Bafadal bekas Rektor IAIN dan Ketua Majelis Ulama Jambi, antara lain. Di antara murid Al-Maliki dari Indonesia, yang kemudian menjadi ulama di Saudi, adalah Syaikh Yasin bin Isa Al-Padangi dan Syaikh Zakaria Bila. Boleh pula disebut sebuah kitab yang diberi nama Inaratud Duja. Ini tak lain karangan Syaikh Maliki, sebuah syarah (komentar) terhadap kitab syair dalam ilmu fiqih berjudul Tanwirul Hija karya Syaikh Ahmad bin Shid-diq Alfasuruani (dari Pasuruan, Jawa Timur), 1941. "Syaikh ingin lebih mendekatkan hubungan dengan umat Islam Indonesia melalui buku itu, meskipun mazhab berbeda," tutur Kiai Djunaidi, yang dikatakan dulu merupakan murid yang dekat. Nyatanya, karya Syaikh Maliki itulah yang kemudian lebih banyak dibaca para ulama Indonesia. Muhammad Abubakar Basalamah, dalam tulisannya di koran Al-Bilad itu, menyatakan bahwa Sultan Iskandar Syah, putra Sultan Idris Syah dari Malaysia, menyambut hangat kedatangan Syaikh Maliki ketika berkunjung ke tanah Melayu - termasuk Indonesia - di tahun 1935. Itu kunjungan yang kedua ke Nusantara - setelah tiga tahun sebelumnya Syaikh juga mengadakan perjalanan di Indonesia. Arkian, Sultan Iskandar kemudian menunjukkan majalah Syubbanul Muslimun terbitan Mesir, yang menyatakan orang Islam boleh berpakaian model Eropa serta kawin dengan wanita Kristen. "Dari sini Syaikh Ali menulis sanggahan," tulis Basalamah. Menurut Syaikh, dua tindakan itu "tetap haram berdasar hadis-hadis." Ini mencerminkan jenis pandangan keagamaannya - yang sangat berbeda dari pandangan ulama pembaru dari kelompok Abduh dan Rasyid Ridha maupun Ikhwanul Muslimun yang menerbitkan majalah itu. Bahkan, dalam karyanya Inaratud Duja yang sudah disebut, terdapat fatwanya yang mengharamkan sepak bola - yang dianggapnya bisa membuat cedera pemainnya, serta, lebih penting, karena ia "permainan orang kafir" .... Yang ini memang bukan pendapat yang berhubungan dengan soal mazhab. Berbeda dengan, misalnya, ketika ia berpolemik tentang masalah rukyat (penentuan tanggal dengan melihat bulan, khususnya untuk Idulfitri) dengan K.H. Muhammad Mansur dari Jakarta yang terkenal ahli falak alias astronomi. Seperti dituturkan Z.A. Noeh, Syaikh Maliki tidak bisa menyetujui prinslp pengukuhan rukyat oleh pemerintah, yang menjadi ciri mazhab Syafi'i. Rukyat sudah sah tanpa pengukuhan. Tapi yang lebih menarik ialah ini: dalam jawaban kepada muridnya, K.H. Ja'far Nagari Al-Banjar, dalam kitab itu, Syaikh betapapun kurang menyetujui upacara selamatan orang mati - termasuk, logisnya, upacara haul yang diselenggarakan untuk arwahnya. Aneh, bukan ? Bukan. Sebab, proses belajar-mengajar antarmazhab itu sendiri sebenarnya sudah menunjukkan keunikannya, setidaknya bagi orang luaran. Lihatlah: orang Maliki bersembahyang seperti orang Syiah, dalam hal tidak bersedekap. Mereka tidak menyerukan basmalah, seperti orang Wahabi. Anjing merupakan pemandangan yang biasa di masyarakat Maliki meskipun Syaikh Ali Maliki sendiri kebetulan tak piara anjing. Dan, seperti juga orang Persis di Indonesia, mereka yakin bahwa binatang yang haram dimakan hanya babi dengan catatan bahwa anjing itu "najis ludahnya". Tetapi, "Perbedaan mazhab itu 'kan hanya masalah pengamalan saja" - bukan kepercayaan, misalnya seperti dengan Syiah, kata K.H. Ali Syibromalisi, yang juga bekas murid Ali Maliki. Meskipun sang Syaikh dulu, tentu saja akan menyatakan pandangannya sendiri jika ditanya, dalam pengajaran, seperti dituturkan tokoh Majelis Ulama DKI Jakarta itu, pada umumnya "Syaikh hanya memaparkan perbedaan-perbedaan pandangan, kalau ada, tanpa mentarjih", alias menentukan mana yang harus dipegang". Bahkan, dalam sernua pertanyaan hukum yang diajukan ulama atau murid-muridnya dari Indonesia, ia senantiasa menjawabnya dengan pendekatan mazhab Syafi'i. Tak heran. Syaikh sendiri juga murid Sayid Abu Bakar Syatha yang Syafi'i, pengarang I'anatut Thalibin yang sampai sekarang dipakai di pesantren kita, misalnya. Adapun ulama kita sendiri, mereka dulu banyak menimba ilmu dari Syaikh dalam hal Hadis, Tafsir, dan Ilmu Bahasa - dan bukan Fiqih, yang lebih menentukan masalah amalan dan kemazhaban. Itu tentu sejalan dengan kenyataan bahwa, meskipun-Psecara formal NU mencantumkan pengakuan pada keempat mazhab, belum pernah terdengar orang mengubah mazhabnya karena pendidikannya di Mekah kala itu. Padahal, dalam pada itu, para ulama Indonesia juga ternyata punya guru-guru dari mazhab lain pula di sana: Syaikh Amin Kutbi Al-Hanafi dan Syaikh Hasanain Makhluf Al-Hanafi, misalnya. Nama-nama mereka itu sudah sendirinya menunjukkan mazhab masing-masing. Di masa-masa yang akhir, masalah kemazhaban memang tidak selalu terasa relevan. Itu terutama akibat arus baru kalangan Abduh yang sudah disebut, yang seperti juga kaum Wahabi di Saudi mutakhir, atau Muhammadiyah dan kawan-kawan di Indonesia - mendukung ajaran Ibn Taimiah yang menyerukan kembali langsung kepada Quran dan Sunah. Kalangan mazhab, sebaliknya, tetap memegangi prinsip ber-ijma' alias konsensus para ulama klasik, yang mewajibkan kemazhaban demi menjaga kejernihan otoritas dan penghindaran "suasana kacau". Dengan prinsip itu, orang dari suatu mazhab tak akan ikut-ikut beramal seperti orang dari mazhab lain yang tak diketahuinya - dan tak akan mencampuradukkannya bila ia orang berilmu, misalnya karena inginkan keringanan - atau sekalian saja ia berpindah mazhab. Meski begitu, kesadaran akan kesatuan umat di kurun yang lebih akhir dalam garis besarnya menjadikan masalah ini makin melonggar. Akan hal Syaikh Ali Al-Maliki, Kiai Djunaidi menganggapnya pengikut Sayyid Zaim Dahlan - tokoh yang dulu mencoba mencari jalan keluar perbedaan mazhab, yang di masa-masa lalu (bukan di Indonesia, yang praktis hanya ada mazhab Syafi'i) memang bisa meruncing. Tetapi pelan-pelan, dan mungkm hanya sedikit disadarl yang sedang dikerjakan beramai-ramai sekarang ialah justru mencari jalan keluar antara yang mazhab dan yang tidak. Musthafa Helmy

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus