Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keberuntungan selalu datang tiba-tiba. Hal itu pula yang dialami Teguh Peristiwady, ahli taksonomi ikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Awal November lalu, bersama para peneliti di Unit Pelaksana Teknis Loka Konservasi Biota Laut Bitung di Bitung, Sulawesi Utara, ia tengah asyik berdiskusi. Tiba-tiba telepon seluler Teguh berdering. Seorang nelayan dari Pulau Talisei, Kabupaten Minahasa Utara, mengabarkan: ada ikan purba coelacanth tersangkut di jaring di perairan Pulau Gangga, Minahasa Utara, pada Rabu, 5 November lalu.
Tak percaya begitu saja, Teguh meminta si penelepon menyebutkan ciri-cirinya. "Saya kaget. Ternyata nelayan tersebut tahu ciri-ciri morfologi ikan coelacanth," kata Teguh dalam surat elektroniknya kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Laporan awal nelayan menyebutkan panjang ikan sekitar 60 sentimeter. Namun, setelah diukur ulang di Bitung, panjangnya 128,5 sentimeter dengan berat sekitar 22 kilogram. "Setelah melihat langsung warna, sirip ekor, sirip dada, dan sirip punggungnya, saya yakin ikan itu adalah coelacanth," kata Teguh. Warga setempat menjuluki coelacanth si raja laut.
Ikan tangkapan nelayan Pulau Talisei ini merupakan spesimen coelacanth ketujuh yang diperoleh di perairan Indonesia. Para peneliti gembira karena kali ini mereka berhasil mendapatkannya dalam kondisi utuh dan bagus. Teguh melaporkannya dalam lokakarya tentang coelacanth di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta, 12 November 2014.
Coelacanth muncul di bumi sekitar 400 juta tahun silam. Mereka sempat dikira punah 65 juta tahun lampau bersamaan dengan musnahnya dinosaurus. Fosil coelaÂcanth yang ada berusia 80-360 juta tahun. Saking tuanya, ikan ini dijuluki fosil hidup. Coelacanth hidup ditemukan pertama kali di perairan Afrika pada 1938. Peneliti J.L.B. Smith menyebutnya dalam laporan pada 1939.
Selama bertahun-tahun habitat mereka diyakini cuma di perairan timur Afrika hingga sekitar Kepulauan Komoro di Samudra Hindia. Namun ikan itu terdeteksi ada di Indonesia, 9.600 kilometer dari Komoro. Adalah Mark V. Erdmann, peneliti dari Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat, yang mengenalinya. Dia tak sengaja melihatnya di dalam gerobak pedagang saat berjalan-jalan bersama istrinya di Pasar Bersehati, Manado, pada 1997.
Erdmann mengirim potretnya ke beberapa iktiolog alias peneliti ikan. Laporan yang diterima Erdmann mengkonfirmasi ikan itu adalah coelacanth. Ikan itu diberi kode CCC-174. Itu adalah tanda Coelacanth Conservation Council, yang mendata coelaÂcanth di seluruh dunia.
Pada 1998, coelacanth ditemukan lagi di Sulawesi Utara. Riset menunjukkan bahwa ikan itu berbeda dengan spesimen dari Afrika. Spesies baru itu dinamai Latimeria menadoensis, dan spesimennya tersimpan di Museum Zoologi LIPI, Bogor.
Dua spesies itu terpisah jauh diduga akibat pergeseran lempeng benua. Peneliti biologi kelautan asal Jepang, Yoshitaha Abe, mengatakan pergeseran kontinen diduga selesai sekitar 60 juta tahun lalu. Kontinen yang bergerak ke utara itu ikut membentuk kepulauan Nusantara. Jarak dengan Afrika pun menjauh. "Coelacanth perenang yang lambat, tapi mereka jelas punya waktu banyak untuk menyeberangi Samudra Hindia," kata Abe, yang juga Direktur Aquamarine Fukushima, Jepang, dalam lokakarya tentang coelacanth di Jakarta.
Posisi coelacanth dalam sejarah evolusi vertebrata terus diteliti. Coelacanth sempat dikira berkerabat dengan ikan tulang rawan, seperti hiu dan pari. Uniknya, Âcoelacanth juga memiliki ciri mirip tetrapoda atau organisme bertungkai empat. Ikan ini diduga sebagai mata rantai penghubung yang hilang di dunia tetrapoda yang diisi reptil hingga mamalia.
Kepala Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI Augy Syahailatua mengatakan karakter fisik coelacanth mengindikasikan relasi dengan tetrapoda. Struktur sirip perut coelacanth memiliki rangka sehingga mirip tungkai. "Ikan biasa siripnya menempel di tubuh tanpa terhubung kerangka," katanya. Ayunan sirip coelacanth juga selaras, mirip dengan gerakan tungkai yang dilakukan tetrapoda. "Coelacanth diperkirakan berevolusi dari reptil laut menjadi ikan," ujarnya.
Proses reproduksi coelacanth juga unik. Di luar dugaan bahwa coelacanth hermafrodit, ada yang menyebutkan bahwa tipe reproduksi coelacanth tergolong ovovivipar: pematangan telur terjadi di dalam tubuh induk. Menurut Augy, proses pembuahan ikan biasanya terjadi di luar tubuh. Ikan betina melepaskan telur-telurnya ke air kemudian dibuahi oleh pejantan.
"Sedangkan pembuahan coelacanth diduga terjadi di dalam tubuh, tak ada yang tahu berapa lama sampai anaknya lahir," katanya. Hingga saat ini, baru dua spesimen coelacanth di dunia yang tengah bunting saat tertangkap, satu di antaranya membawa 26 bayi berukuran 35 sentimeter. Selama ini spesimen coelacanth yang didapat berkelamin betina.
Peneliti ikan dari Aquamarine Fukushima, Masamitsu Iwata, bersama ilmuwan Indonesia melacak coelacanth di Indonesia sejak 2005 menggunakan wahana penyelam nirawak. "Kami temukan 23 individu di berbagai lokasi," kata Iwata. Temuan terpenting mereka adalah coelacanth muda (juvenile) yang terekam berenang di antara bebatuan di Teluk Manado pada 2009. Panjang ikan itu 31,5 sentimeter. "Itu adalah juvenile pertama dan satu-satunya yang terekam," tuturnya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan coelacanth merupakan satwa yang dilindungi. Namun baru spesies dari Afrika yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang satwa dilindungi di Indonesia. "Saat aturan dibuat, nama coelacanth Manado memang belum ada," kata Kepala Bidang Pengelolaan Sumber Daya Genetik KLH dan Kehutanan Vidya Nalang. Menurut dia, regulasi satwa itu perlu diperbaiki secepatnya. "Nama coelacanth Manado segera dimasukkan," ujar Vidya.
Peneliti ekologi molekuler LIPI, Irma Shita Arlyza, mengatakan coelacanth tidak boleh sengaja ditangkap meski untuk riset dan farmakologi. Riset coelacanth selama ini hanya menggunakan ikan yang tak sengaja tertangkap, mati, dan terseret ombak ke pantai, atau memakai fosilnya. "Mustahil kita sengaja menangkapnya karena sudah dilindungi," katanya.
Gabriel Wahyu Titiyoga
Pantang Menangkap Si Raja Laut
Penampilannya mirip ikan kerapu, tapi ukurannya jauh lebih besar. Gerakan di dalam air lamban. Namun masyarakat nelayan di pesisir Sulawesi, Maluku, hingga Papua tahu ikan itu pantang ditangkap. Mereka tak mau melanggar hukum perlindungan satwa, apalagi terkena "kutukan" si raja laut.
Lantaran keberadaannya dilindungi, menurut Kepala Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI Augy Syahailatua, nelayan dilarang menebar jaring lebih dari kedalaman 150 meter. "Demi konservasi, karena di kedalaman itulah habitat ikan purba," kata Augy.
Dalam 17 tahun terakhir, tujuh spesimen coelacanth ditemukan di Indonesia. Spesimen terakhir diangkat dari dalam jaring sepanjang 50 meter milik nelayan dari Pulai Talisei, awal November lalu. Jaring mereka bisa mencapai kedalaman 400 meter. "Namun, dilihat dari panjang tali yang menahan jaring saat mengayun ke bawah, kedalamannya mungkin kurang dari 400 meter," ujar ahli taksonomi LIPI, Teguh Peristiwady.
Coelacanth bukanlah target nelayan. Namun ikan itu sudah ada dalam cerita rakyat sejak puluhan tahun lalu. Di Manado Tua ada kepercayaan yang menyebutkan, siapa saja yang menangkap apalagi sampai memakan coelacanth, seluruh keluarganya menderita gatal dan sakit. "Cerita itu membantu usaha melindungi coelacanth," kata Teguh.
Penelitian menunjukkan daging coelacanth ternyata mengandung lemak yang bisa menyebabkan gatal dan diare jika dikonsumsi. Menurut Teguh, lemak itu sukar dibersihkan. "Saya cuci berkali-kali tetap saja terasa licin seperti pelumas," ujarnya.
Gabriel Wahyu Titiyoga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo