TAMPILLAH 60-an pemain orkes ditambah 60-an anggota paduan suara "memuja ke hadapan Tuhan". Mereka membawakan Simfoni Kantata Nyanyian Pujaan Opus 52 karya Felix Mendelssohn, komponis Jerman keturunan Yahudi. Maka, gedung Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 11 dan 12 Agustus lalu, bersuasana religius. Dengarlah dua sopran - PranawengrumKatamsi dan Renata Liem: Aku telah menantikan Tuhan/Ia menaruh perhatian padaku/Ia mendengarkan keluh kesahku/O, berbahagialah mereka yang menaruh harapan dan kepercayaan pada Tuhan. Di kalangan pencinta musik klasik di Indonesia, karya Mendelssohn (1809-1847) ini cukup dikenal - setidaknya bagi kalangan paduan suara gereja, Sebab, lirik-lirik dipilihkan oleh sang komponis sendiri dari bait-bait mazmur Kitab Perjanjian Lama. Adapun musiknya dibuka dengan liukan alat tiup, disambut dengan alat gesek. Banyak mengandung perubahan ekspresi. Karya ini menuntut para pembawanya, baik anggota paduan suara maupun pemain orkes, agar selalu siap dengan perubahan emosi. Seperti lazimnya karya romantik, ekspresi musik Mendelssohn ini terkadang pelan gemulai dan tiba-tiba berubah cepat bersemanat. Kadang mengalun lembut, sewaktu-waktu jadi menderu keras. Itulah tantangan yang harus dihadapi Frans Haryadi, 53, dirigen pertunjukan ini. Untuk itu, ia mengundang 15 mahasiswa Akademi Musik Indonesia (sekarang Fakultas Kesenian Institut Seni Indonesia), Yogyakarta, guna memperkuat Orkes Simfoni Jakarta. Dan 68 anggota Paduan Suara Jakarta, yang khusus dibentuk untuk pergelaran ini diseleksi dari berbagai grup paduan suara di Jakarta ini. Sementara itu, solis vokal terdiri dari dua sopran (Pranawengrum dan Renata Liem) dan seorang tenor (Harry Haryadi). Tiga bulan latihan vokal (koor dan solis) dianggap cukup. Untuk kefasihan ucapan bahasa Inggris (lirik dipilihkan versi Inggrisnya, bukan Jerman, seperti aslinya), Frans dibantu Anton Mulyono, bekas pengasuh pelajaran bahasa Ingris di TVRI. Toh, pada malam pertama terasa paduan suara dan orkes kurang kompak. Memang, lirik-lirik terbawakan dengan baik. Gerak emosi mewarnai suasana gedung. Tapi orkes tampaknya kewalahan dalam memainkan komposisi yang mengandung banyak perubahan mendadak ini. Permainan Orkes Simfoni Jakarta meskipun ada bantuan dari Akademi Musik Indonesia, terasa datar Keagungan suara koor, sayang sekali, jadi susut. Tapi apa yang mau disuguhkan dari pertunjukan seharga Rp 13 juta ini? "Untuk memberikan alternatif pada masyarakat, bahwa musik banyak jeriisnya," kata Frans. Dan khusus musik klasik, dari segi ekspresi musik, adalah yang paling kaya. Dari ekspresi yang halus sampal yang memekakkan telinga ada. Dari sudut ini, untuk berbicara besarnya biaya mungkin tak relevan. "Idealisme berkesenian dan kekayaan spiritual,"kata Frans, "sulit dihitung dengan rupiah." Satu setengah jam, diselingi sekali istirahat sekitar sepuluh menit, berlalu dengan cepat. Sehabls istirahat, dengan suara tenornya, Harry Haryadi menyanyikan kecemasan manusia terhadap maut. Harry disambut gemuruh koor yang mewartakan bahwa Tuhan "penuh kerahiman dan adil". Lalu manusia pun menyerukan nama Tuhan lewat duet suara sopran dan tenor. Akhirnya, gemuruh paduan suara, diiringi suara gesekan 33 biola dan empat cello, yang sesekali didukung alunan dua klarinet, menggambakan seluruh semesta menyanyikan nama Tuhan. "Nyanyilah bagi Tuhan. Aleluya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini