PIALA Citra itu diarak, dipayungi, ditating oleh wanita cantik. Paling depan berdiri Menpen Harmoko melambaikan amplop cokelat. Hadirin berdebar menunggu. "Dan pemenangnya. . . ," kata Harmoko, "tidak ada." Demikianlah antiklimaks itu telah terjadi pada malam penutupan FFI ke-12 di Yogya, Rabu malam pekan lalu. Keputusan Dewan Juri yang dibacakan Menpen itu lansun membenarkan desas-desus sehari sebelumnya: film terbaik tidak ada. Walau begitu, banyak juga yang terperanjat. Sutradara Teguh Karya tampak memukul-mukulkan tangannya ke dahi. Aktor Slamet Rahardjo sempat menggeleng-gelengkan kepala untuk kemudlan bersama orang film lainnya mengakak sambil bertepuk tangan. Ketua Parfi (Persatuan Artis Film Indonesia) Ratno Timoer berkomentar: "Saya akan mengadakan rapa mengoreksi diri, kenapa sampai tidak ada film terbaik." Mengapa? Alasannya sudah dikemukakan ketua Dewan Juri Ki Suratman dalam pidatonya malam itu. Dikatakannya, hampir semua film unggulan mempunyai kekurangan-kekurangan, lagi pula tidak ada kejutan artistik. Menurut seorang anggota juri, Dewan terlibat perdebatan sengit, malah beberapa film sempat diputar ulang. Tapi hasil penilaian mereka tidak berubah karena, "Tidak satu pun film memenuhi kriteria buku putih." Sutradara D. Djajakusuma mendukung keputusan itu. "Wajar kalau tidak ada pemenang tahun ini," ucapnya datar. "Kalau ada, Justru FFI sekarang mengalami kemunduran." Teguh Karya sambil lalu berkata, "Sudahlah. Mau apa? Masa tambang dibilang kawat, kawat dibilang tambang." Ki Suratman, yang berusaha menahan diri, masih menyesalkan tiadanya penggalian tema, dan film umumnya mengabalkan isi cerita. Konon, tajamnya kritik masyarakat terhadap film seks dan kekerasan ikut jadi pertlmbangan. Apakah karena itu film Budak Nafsu, yang memenangkan empat Citra (penyutradaraan, sinematografi, pemeran utama pria, dan penata musik), gagal terpilih sebagai film terbaik? Mungkin saja, menginat film bertemakan perjuangan kemerdekaan ini, yang kabarnya sudah "hampir-hampir terpilih", memberi porsi cukup besar untuk seks dan kekerasan. Sehingga, dikhawatirkan penonton memperoleh cerita yang kabur. Judulnya saja bahkan dianggap ikut mengurangi angka. Tapi kriteria juri memang tidak sesederhana itu. Bukti putih, pedoman penjurian yang dikeluarkan dengan SK Menpen, menetapkan beberapa kriteria. Pedahan itu di antaranya menilai soal teknis, sosio-kultural, artistik, dan edukatif. "Lebih ketat dari kriteria tahun lalu," kata Djajakusuma. Hanya saja patokan itu ternyata tidak dirumuskan secara kongkret. MENGAPA? Karena pedoman itu masih tergantung pada penafsiran juri atas tiap-tiap kriteria. Menurut kritikus film Rosihan Anwar, kelima kriteria itu tidak bisa ditafsirkan secara kuantitatif, tapi secara kualitatif. Jadi, bisa sangat subyektif. Tapi ditegaskannya, "Secara formal Dewan Juri sudah benar." Rosihan membandingkan kriteria FFI 1984 dengan FFI 1977, yang juga tidak memilih film terbaik. Dahulu penilaian bisa kuantitatif dalam arti sebuah film yang memenangkan minimal empat Citra otomatis menjadi film terbaik. Dasar penilaian Oscar kabarnya demikian pula. Sekarang, seperti kata Ki Suratman, "Juri memang memilih lima film baik, tapi dari yang lima itu tidak ada yang terbaik." Djajakusuma menimpali, "Film bukan sepak bola yang pemenangnya bisa ditentukan dengan penalti." Dengan cara penilaian yang sama Dewan Juri memutuskan, tidak ada pemeran pembantu wanita terbaik dan penata suara terbaik, kendati di antara calon tercatat Rima Melati dan Nani Wijaya, yang punya nama kuat. "Tapi permainannya belum tentu," tukas seorang juri yang tidak bersedia disebut namanya. Tentang penataan suara, meskipun secara teknis sebagian film-film itu hasil karya laboratorium di Tokyo dan Hong Kong, toh, itu tak mempenaruhi Dewan Juri. Sebab, yang dinilai adalah film-film yang diproses di dalam negeri. Kaena itu, jangan heran kalau tidak ada yang menang. Terlepas dari kriteria juri dan kekecewaan insan film, tidak adanya film terbaik bukanlah suatu hal yang luar biasa. Yang menarik ialah bahwa kenyataan itu ditanggapi serius oleh pengamat kebudayaan di negeri ini. Ada yang prihatin, ada yang mengecam, tapi banyak juga yang mencoba mendudukkan masalah pada proporsi sebenarnya. Disebut-sebut pula campur tanganpemenntah dan kesewenangan produser sebagai penyebab yang langsung ikut memerosotkan mutu film. Kreativitas sineas jadi terhambat karenanya. Benarkah? Tidak seluruhnya betul. Campur tangan pemermtah seharusnya mendorong kreativitas. Tidak seperti sekarang, mengatur. Sementara itu, sikap produser kurang berorientasi sama berat, baik kepada mutu maupun pasar. Di luar itu, masalahnya kini terpulang pada kreativitas orang film. Jika saja kreativitas itu tinggi, maka peran sineas sesungguhnya bisa lebih menentukan ketimbang produser atau pemerintah. Tapi kalau Ki Suratman sudah mengatakan tidak ada kejutan artistik, berarti kreativitas masih rendah. Tampaknya para sineas belum mampu mengembangkan gaya yang karaktenstik dalam pengolahan film. Di samping itu, wawasan sosio-kultural agaknya juga kurang, sedangkan misi diabaikan pula. Tidak heran bila Djajakusuma setengah berang berkata, "Tidak ada film yang utuh, terlalu banyak tempelan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini