MENJELANG musim belanja di Amerika, pada September dan Desember mendatang, para eksportir pakaian jadi Indonesia bakal dapat kesibukan tambahan. Bukan melayani membanjirnya pesanan melainkan harus menghadapi bentuk baru tindakan proteksi Presiden Ronald Reagan. Mulai 7 September nanti. demikian di umumkan Washington pekan lalu, para eksportir diharuskan menjelaskan proses pembuatan pakaian jadi: menyebut dan mana asal bahan baku dan menguraikan ongkos apa saja yang membebani mata dagangan itu. Semua uraian itu, yang harus dimuat dalam Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) barang, tentu saja, membuat pemerintah dan para eksportir agak gerah. Sebab, menurut Menteri Perdagangan Rachmat Saleh, ketentuan itu akan memaksa para eksportir harus bisa membuktikan bahwa pakaian jadi mereka benar-benar dibuat di Indonesia. Selain hanya merepotkan. kata: beleid Reagan itu cuma akan, menghabiskan waktu saja arena itulah Menteri Rachmat Saleh beranggapan, peraturan yang berbelit-belit tadi, "Merugikan produsen kita, sebab bisa menghambat kelancaran arus ekspor." Apa boleh buat, menjelang pemilu November mendatang, Reagan tampaknya merasa perlu mengumpulkan simpati dari kalangan buruh industfi tekstil dan pakaian jadi, yang berjumlah 2,2 juta orang itu. Beleid berhawa politis itu mulai kentara ketika Washington, belum lama ini, memaksa Jakarta merundingkan kembali soal penambahan kategori pakaian jadi yang terkena kuota - dari semula tujuh menjadi sepulu kategori. Volume pakaian jadi yang boleh dlkapalkan para pengusaha Indonesia yang baru belajar jalan itu pun kemudian diperkecil. Dasar akal pengusaha. Sekalipun beberapa kategori pakaian jadi terkena kuota, mereka toh masih bisa meningkatkan ekspor pakaian jadi dari kategon yang tak terkena kuota. Tapi, ketika pada kuartal pertama tahun ini ekspor pakaian jadi Indonesia mendadak naik 235% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, AS mulai curiga. Hong Kong dan Taiwan dianggap berdiri di belakang kenaikan spektakuler itu, mengingat bahwa kenaikan ekspor mereka pada periode yang sama hanya sedikit. Sudah sejak lama, memang, para pengusaha di kedua negeri itu diketahui banyak melakukan usaha penyelundupan kuota. Caranya: Potongan-potongan pakaian yang terkena kuota mereka jahitkan di negara ketigalalu pengapaian (transshippig) juga mereka lakukan dari sana. Karena merasa terpaksa sejumlah pengusaha di Bonded Warehouses Indonesia (BWI) Tanjung Priok, seperti PT Indo Hinson, mau juga bertindak sebagai tukang jahit upahan (maklon) pakaian jadi semacam itu. Upah maklon dari cukong seberang laut itu ternyatcukup lumavan. Menurut Abdul Halim, direktur Indo Hinson, upah menjahit celana jin sederhana dan jaket, misalnya masing-masing US$ 16-18 dan US5 22-40 per lusin sampai di atas kapal (fob). Karena nilai tambah dari usaha smacam itu sangat kecil, dan bisa dianggap malah merusakkan citra pengusaha Indonesia, maka pada 1979 pemerintah secara resmi melarang pengusaha di BWI menerima upah jahitan. Tapi tidak semua pengusaha mampu menghentikannya saat itu juga. Indo Hinson, misalnya, "Baru setahun lalu secara murni bisa membuat pakaian jadi sendiri." ujar Abdul Halim kepada TEMPO. Alasan semacam itu, rupanya, tak jadi bahan pertimbangan AS, terutama sesudah pengusaha Hong Kong secara membabi buta diduga juga menyebarkan maklon tadi ke para penjahit di RRC. Karena itulah Bea Cukai AS pekan lalu, juga melarang para pengusaha melakukan transshipping dari negara ketiga. Berdasarkan ketentuan itu, pihak Bca Cukai AS hanya mau menerima pakaian jadi yang dibentuk, dipotong, dijahit, dan diekspor - dari negara bersangkutan dengan bahan yang mungkin diimpornya. Kata sebuah sumber, ketentuan Bea Cukai AS itu, pada hakikatnya, saling melengkapi dengan keharusan pengusaha mencantumkan semua detail pembuatan pakaian jadi dalam Surat Keterangan Asal yang akan berlaku 7 September nanti. Dengan serangkaian tindakan itu, AS juga ingin membuktikan anggapan bahwa negara-negara industri haru tadi telah melakukan praktek dagang tidak wajar: Memberi subsidi, baik secara langsung maupun tak langsung, hingga pakaian jadi mereka murah harganya. Kabarnya, Gedun Putih menganggap, pemberian Sertifikat Ekspor (SE) dan Kredit Ekspor berbunga rendah itu merupakan suatu tindakan subsidi secara langsung. Benarkah? Jawabannya, tentu, bisa banyak. Yang jelas, Washington kelihatan tetap notot jika Jakarta masih saja meneruskan memberikan SE, yang hakikatnya merupakan pengembalian atas bea masuk yang dibayar pengusaha yang membeh tekstil dari dalam negeri kepada para eksportir. "Sebab, kapas yang diimpor untuk membuat tekstil di sini 'kan bea masuknya nol persen," ujar sumber di kedutaan besar AS kepada TEMPO. "Jadi, kenapa eksportir itu harus diberi subsidi macam-macam . " Anggapan itu, tentu saja, masih bisa diperdebatkan. Kredit ekspor, yang sebelum Juni 1983 bunganya rendah karena mendapat subsidi bunga dari Bank Indonesia, kini tak ada lagi. PT Busana Rama, misalnya, yang menerima kredit jenis itu dari Bank Dagang Negara sebesar Rp 700 juta, baru mendapat bunga 9,5% kalau ekspornya dianggap berhasil. "Tapi jika tidak memenuhi target, tingkat suku bunga yang dikenakan adalah 15%," ujar E.A. Pravinata, direktur Busana Rama. Kenyataan itu jelas menunjukkan bahwa pemerintah menginginkan agar para pengusaha bisa bekerja lebih efisien, dan mampu bersaing sendiri secara wajar. Untung, bagi mereka, upah tenaga kerja di sini masih lebih murah dibandingkan buruh AS. Tapi, berabenya, dalam situasi dipepet demikian rupa, "Amerika toh masih mau juga menaikkan bea masuknya." Halo Amerika ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini