DALAM hal kesempatan menonton film, terutama film bermutu, orang
Indonesia termasuk golongan sial. Bandingkanlah dengan
Singapura. Film mutakhir yang dinilai bagus dengan cepat bisa
ditonton di sana -- itu pun dengan karcis murah, sekitar Rp 300.
Di sini? Jangan harap bisa cepat tahu bagaimana Close Encounter
of The Third Kind atau Coming Home. Bioskop kita cuma asyik
memutar film kelas tiga gobang dengan harga melangit. Orang
asing yang kesini dan melihat poster gambar hidup, bisa menduga:
ini bangsa yang boros dan tak berbudaya.
Sejarahnya agak panjang.
Pengganyangan Lekra/PKI terhadap fihn Amerika di awal tahun enam
puluhan menutup kemungkinan orang banyak untuk menikmati
film-film baik di bioskop.
Untunglah sejumlah kecil seniman Jakarta waktu itu mendapat
kesempatan sesekali menonton film di kantor sensor. Setiap
pertunjukan selalu diikuti sebuah diskusi.
Kebiasaan itu meluas setelah pemberontakan PKI ditumpas.
Berbagai kantor kebudayaan -- terutama Cekoslovakia dan Perancis
-- secara teratur menyediakan film dan tempat pemutarannya. Film
mereka rata-rata bernilai tinggi. Dan para seniman serta
sejumlah peminat lainnya menjadi pengunjung tetap. Kegiatan
kecil-kecil ini menjadi semakin penting tatkala bioskop-bioskop
Jakarta -- dan Indonesia umumnya -- diserbu film a la James Bond
dan koboi makaroni.
Ketika Taman Ismail Marzuki dibuka tanggal 10 Nopember 1968,
kesempatan tersedia bagi para seniman untuk mengorganisasikan
sendiri kegiatan memutar film yang sulit ditemukan di
bioskop-bioskop umum itu. "Mula-mula kegiatan dilakukan oleh
panitia khusus yang mendapat mandat Dewan Kesenian Jakarta. Tapi
melihat minat yang makin besar, DKJ kemudian menangani langsung
acara tersebut." Begitu cerita Alam Rengga Surawijaya, (anggota
DKJ), mengenai kelahiran Kine Klub Jakarta. Secara resmi tahun
1973 DKJ membentuk komite film. "Dan Kine K]ub cuma salah satu
kegiatan kami," kata Alam yang menjadi ketua komite tersebut.
Sebelum Alam secara langsung mengurusi acara itu, kegiatan
pemutaran film khusus tersebut memang sudah berjalan sekali
sebulan. "Tapi waktu itu cuma satu atau dua film sekali
kegiatan." Kini secara tetap setiap bulan dilangsungkan sebuah
festival film.
Dari Kedutaan
Dari mana film-film itu? "Sebagian besar dari kedutaan asing,"
kata Zainuddin dari Pusat Kesenian Jakarta. Menurut cerita Alam,
pada mulanya memang sulit mendapat film. "Kita harus sampai
mengemis pada kedutaan-kedutaan itu." Tapi setelah melihat
kemajuan Kine Klub -- anggotanya kini 1600 orang-kedutaan
sendiri yang menawarkan film-film dari negara mereka. "Kita
betul-betul kewalahan sekarang menampungnya," kata Alam.
Karena dalam setahun cuma ada 12 bulan, terpaksalah sejumlah
kedutaan bersabar menanti giliran untuk memfestivalkan film
mereka. Yang menarik dari Kine Klub ini -- selain filmnya yang
pilihan -- juga harga karcisnya yang murah. Cuma Rp 200 sekali
nonton. "Dan setiap sebuah festival berakhir, sebuah diskusi
diadakan. Ini acara menarik bagi sejumlah peminat yang ingin
lebih tahu mengenai perfilman," tutur Alam pula.
Toh meski film dari berbagai kedutaan lebih dari cukup untuk
memenuhi kegiatan Kine Klub, tidak berarti film nasional
dilupakan. Secara teratur pekan film nasional pilihan --
pemenang festival -- mendapat kesempatan. Yang lebih menarik
adalah acara memutar sejumlah film dari seorang sutradara. Acara
seperti ini juga diakhiri dengan diskusi yang dihadiri
sutradaranya.
Kerja sama Kine Klub dengan kedutaan asing di Jakarta ternyata
tidak terbatas dalam pengadaan film. Malah juga dalam
mendatangkan sutradara dari negara masing-masing. Menurut
catatan DKJ, hingga kini Kine Klub telah menjadi tuan rumah bagi
sutradara Jorn Dorner (Swedia), Albert Johnson (Amerika
Serikat), Mark Slade (Kanada), Wim Wender (Jerman Barat). Dan
dalam waktu singkat sutradara terkenal Jepang, Jozi Jamada, akan
pula menjadi tamu.
Gedung Tetap
Para sutradara itu datang dengan film mereka. Mereka pun mengisi
diskusi dengan penonton. Sayangnya, menurut kalangan Kine Klub,
minat orang film di Jakarta terlalu sedikit terhadap acara di
TIM ini.
Kini, setelah peminat berada di luar daya tampung acara tetap di
TIM itu, pihak DKJ sudah mulai berfikir ke arah mempunyai gedung
tetap untuk memutar film-film pilihan. "Kami sedang membicarakan
kemungkinan menggunakan bioskop TIM (Teater Besar)," kata Alam.
Yang kini jadi soal adalah cara mendapatkan biaya bagi
pengelolaan acara tersebut.
Sementara itu di Bandung sudah pula berkembang dua Kine Klub: di
Rumentang Siang dan ITB. "Film-film mereka datangnya dari kita
juga," kata seorang anggota DKJ. Juga di Surabaya kabarnya usaha
yang sama sedang dirintis. Kesulitannya sudah tentu pembiayaan
-sebab soal film bisa diatur lewat Kine Klub Jakarta. "Kita
betul-betul berharap agar Kine Klub ini bisa mengatasi kebutuhan
yang makin meningkat terhadap film bermutu yang tidak bisa
ditonton di bioskop umum," kata Alam akhirnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini