Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Alternatif untuk film tiga gobang

Untuk mengatasi keterlambatan pemutaran film-film baru yang bermutu di bioskop-bioskop indonesia, dki mengadakan festival film pilihan di tim. film yang diikutsertakan diperoleh melalui kedutaan asing.

18 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM hal kesempatan menonton film, terutama film bermutu, orang Indonesia termasuk golongan sial. Bandingkanlah dengan Singapura. Film mutakhir yang dinilai bagus dengan cepat bisa ditonton di sana -- itu pun dengan karcis murah, sekitar Rp 300. Di sini? Jangan harap bisa cepat tahu bagaimana Close Encounter of The Third Kind atau Coming Home. Bioskop kita cuma asyik memutar film kelas tiga gobang dengan harga melangit. Orang asing yang kesini dan melihat poster gambar hidup, bisa menduga: ini bangsa yang boros dan tak berbudaya. Sejarahnya agak panjang. Pengganyangan Lekra/PKI terhadap fihn Amerika di awal tahun enam puluhan menutup kemungkinan orang banyak untuk menikmati film-film baik di bioskop. Untunglah sejumlah kecil seniman Jakarta waktu itu mendapat kesempatan sesekali menonton film di kantor sensor. Setiap pertunjukan selalu diikuti sebuah diskusi. Kebiasaan itu meluas setelah pemberontakan PKI ditumpas. Berbagai kantor kebudayaan -- terutama Cekoslovakia dan Perancis -- secara teratur menyediakan film dan tempat pemutarannya. Film mereka rata-rata bernilai tinggi. Dan para seniman serta sejumlah peminat lainnya menjadi pengunjung tetap. Kegiatan kecil-kecil ini menjadi semakin penting tatkala bioskop-bioskop Jakarta -- dan Indonesia umumnya -- diserbu film a la James Bond dan koboi makaroni. Ketika Taman Ismail Marzuki dibuka tanggal 10 Nopember 1968, kesempatan tersedia bagi para seniman untuk mengorganisasikan sendiri kegiatan memutar film yang sulit ditemukan di bioskop-bioskop umum itu. "Mula-mula kegiatan dilakukan oleh panitia khusus yang mendapat mandat Dewan Kesenian Jakarta. Tapi melihat minat yang makin besar, DKJ kemudian menangani langsung acara tersebut." Begitu cerita Alam Rengga Surawijaya, (anggota DKJ), mengenai kelahiran Kine Klub Jakarta. Secara resmi tahun 1973 DKJ membentuk komite film. "Dan Kine K]ub cuma salah satu kegiatan kami," kata Alam yang menjadi ketua komite tersebut. Sebelum Alam secara langsung mengurusi acara itu, kegiatan pemutaran film khusus tersebut memang sudah berjalan sekali sebulan. "Tapi waktu itu cuma satu atau dua film sekali kegiatan." Kini secara tetap setiap bulan dilangsungkan sebuah festival film. Dari Kedutaan Dari mana film-film itu? "Sebagian besar dari kedutaan asing," kata Zainuddin dari Pusat Kesenian Jakarta. Menurut cerita Alam, pada mulanya memang sulit mendapat film. "Kita harus sampai mengemis pada kedutaan-kedutaan itu." Tapi setelah melihat kemajuan Kine Klub -- anggotanya kini 1600 orang-kedutaan sendiri yang menawarkan film-film dari negara mereka. "Kita betul-betul kewalahan sekarang menampungnya," kata Alam. Karena dalam setahun cuma ada 12 bulan, terpaksalah sejumlah kedutaan bersabar menanti giliran untuk memfestivalkan film mereka. Yang menarik dari Kine Klub ini -- selain filmnya yang pilihan -- juga harga karcisnya yang murah. Cuma Rp 200 sekali nonton. "Dan setiap sebuah festival berakhir, sebuah diskusi diadakan. Ini acara menarik bagi sejumlah peminat yang ingin lebih tahu mengenai perfilman," tutur Alam pula. Toh meski film dari berbagai kedutaan lebih dari cukup untuk memenuhi kegiatan Kine Klub, tidak berarti film nasional dilupakan. Secara teratur pekan film nasional pilihan -- pemenang festival -- mendapat kesempatan. Yang lebih menarik adalah acara memutar sejumlah film dari seorang sutradara. Acara seperti ini juga diakhiri dengan diskusi yang dihadiri sutradaranya. Kerja sama Kine Klub dengan kedutaan asing di Jakarta ternyata tidak terbatas dalam pengadaan film. Malah juga dalam mendatangkan sutradara dari negara masing-masing. Menurut catatan DKJ, hingga kini Kine Klub telah menjadi tuan rumah bagi sutradara Jorn Dorner (Swedia), Albert Johnson (Amerika Serikat), Mark Slade (Kanada), Wim Wender (Jerman Barat). Dan dalam waktu singkat sutradara terkenal Jepang, Jozi Jamada, akan pula menjadi tamu. Gedung Tetap Para sutradara itu datang dengan film mereka. Mereka pun mengisi diskusi dengan penonton. Sayangnya, menurut kalangan Kine Klub, minat orang film di Jakarta terlalu sedikit terhadap acara di TIM ini. Kini, setelah peminat berada di luar daya tampung acara tetap di TIM itu, pihak DKJ sudah mulai berfikir ke arah mempunyai gedung tetap untuk memutar film-film pilihan. "Kami sedang membicarakan kemungkinan menggunakan bioskop TIM (Teater Besar)," kata Alam. Yang kini jadi soal adalah cara mendapatkan biaya bagi pengelolaan acara tersebut. Sementara itu di Bandung sudah pula berkembang dua Kine Klub: di Rumentang Siang dan ITB. "Film-film mereka datangnya dari kita juga," kata seorang anggota DKJ. Juga di Surabaya kabarnya usaha yang sama sedang dirintis. Kesulitannya sudah tentu pembiayaan -sebab soal film bisa diatur lewat Kine Klub Jakarta. "Kita betul-betul berharap agar Kine Klub ini bisa mengatasi kebutuhan yang makin meningkat terhadap film bermutu yang tidak bisa ditonton di bioskop umum," kata Alam akhirnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus