TANAH Amerika mengizinkan orang untuk melakukan apa saja, termasuk bermimpi. Bahkan seorang putri tuan tanah kaya raya yang jelita, seperti Shanon Christie (Nicole Kidman), lebih suka lari ke Amerika yang begitu jauh dan asing daripada "makan dari sendok dan garpu perak tapi dijodohkan dengan pria yang membosankan." Amerika di abad 19 tentu saja belum menjadi Amerika kini. Ia masih merupakan tanah yang kosong, luas, asli, dan penuh janji. Tapi Shanon, yang besar di sebuah rumah mewah di Irlandia, sudah muak dengan kehidupan lingkungannya yang penuh tatacara. Tak aneh jika pemberontak macam Shanon langsung bergairah ketika bertemu dengan petani bernama Joseph Donnelly (Tom Cruise) yang mencoba membunuh ayah Shanon. Kedua remaja itu meninggalkan Irlandia dengan kapal laut dan bermimpi untuk memiliki tanah di Amerika. Dan mereka mengharap kebebasan itu bisa ditemukan di Amerika. Bukan hanya petualang~an romantis ini yang membuat Far and Away menjadi film yang menarik. Selain fotografi yang menarik dari panorama Irlandia dan Amerika abad 19, kita juga disajikan konflik antargenerasi sekaligus konflik kelas. Shanon mewakili generasi kelas atas yang tak bersedia menjadi alat penerus tradisi orang tua~nya. Ia berharap untuk bisa me~nentukan nasibnya sendiri. Sedangkan Joseph bermimpi untuk hidup merdeka tanpa sistem kelas. Pertentangan kelas dan generasi ini digambarkan de~ngan kocak, lincah tanpa mengorbankan kedalaman persoalan. Seperti dalam film Cocoon dan Backdraft, Howard selalu mencoba menyajikan persoalan yang serius dengan gaya yang jenaka dan menolak untuk menjadi getir. Ia selalu menunjukkan tokoh-tokoh yang mampu menertawakan persoalannya sendiri untuk bertahan dalam hidup. Itulah sebabnya Shanon dan Joseph tidak lantas menjadi pahlawan generasi muda hanya karena mereka berani memberontak melawan sistem. Mereka tetap anakanak muda yang berkibar dengan cita-cita yang besar dan mulia tapi masih kaget begitu bertabrakan dengan kenyataan hidup. Begitu mereka mendarat di Boston, Amerika, mereka terkejut melihat Amerika yang kotor, berantakan, dan hampir bagaikan hutan. Barulah kedua anak muda ini menyadari betapa mimpi mereka masih jauh dari jangkauan. Mereka dirampok, mereka harus menginap di hotel yang kumel, jorok, dan penuh pelacur yang MDNMcekakakan mengganggu tidur. Lebih gila lagi, tanah kosong yang mereka cita-citakan cuma ada di negara bagian Oklahoma. Untuk itu mereka harus bekerja menjadi pekerja pabrik supaya bisa membeli kuda untuk bertanding memperebutkan tanah itu. Untuk menambah penghasilannya, Joseph masih bersedia jadi petinju piaraan yang kerjanya hanya bertinju untuk menjadi obyek taruhan. Sesungguhnya perjalanan nasib Joseph dan Shanon yang begitu pahit bisa terjerumus ke dalam kecengengan, tapi sekali lagi Howard menunjukkan kekuatan anak-anak muda ini untuk bertahan dan tidak kembali ke Irlandia. Mereka tahu bahwa meski mereka hidup dalam kemiskinan di Amerika, mereka terbebas dari peraturan-peraturan sistem kelas yang mengungkung seperti di Irlandia. Tentu saja elemen Hollywood tidak bisa dihindari. Harus ada percintaan antara pasangan yang ganteng dan cantik, harus ada perjuangan, dan harus ada happy ending. Jadi cukup mudah ditebak. Joseph yang petani itu harus mengajari Shanon bagaimana cara~nya mencuci baju, cara berhadap~an dengan kuli kelas bawah yang penuh dendam dan kehidupan "kelas bawah" lainnya, dan bercintacintaan dengan Shanon. Tapi tentu saja Joseph harus dibikin seperti pahlawan. Artinya, dia harus berjuang setengah mati untuk memiliki cinta Shanon. Dia harus berlomba melawan Stephen (Thomas Gibson), yang menyusul dari Irlandia, untuk mendapatkan tanah yang mereka cita-citakan. Dan sudah pasti Stephen yang datang dari kelas atas itu harus kalah karena dia adalah tokoh yang jahat. Sudah pasti pula Shanon buru-buru turun dari kuda~nya dan menghampiri "pahlawannya". Memang sayang jika jalan cerita yang sudah diba~ngun dengan bagus, dialog yang lincah, dan editing yang rapi mempunyai ending yang klise. Tapi karena film ini tampaknya lebih mementingkan segi humor dalam kehidupan maka happy ending yang menggambarkan sejoli berciuman di atas tanah impian mereka itu bisa dimaafkan. Howard memang selalu mengajak penonton untuk menghadapi kesulitan hidup dengan tersenyum. Tapi justru karena Howard tidak ingin membuat persoalan hidup tampak berat, ia sering melupakan hal-hal yang begitu vital dalam film-filmnya. Misalnya, apa yang terjadi dengan bangsa Indian yang dibunuhi ketika para imigran Irlandia, Italia, dan sebagainya itu datang. Howard hanya cukup menyorot mereka dalam satu shot ketika adegan kelompok Irlandia berlomba mencari tanah di Oklahoma. Film ini memang kelihatan tidak ingin mengangkat kompleksitas persoalan, dan kehidupan terlalu sederhana. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini