Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah musikus muda punya semangat kuat mempertahankan musik gambang kromong.
Warisan bakat orang tua menjadi senjata anak muda pegiat gambang kromong.
Upaya anak muda mengikis anggapan gambang kromong sebagai musik kuno.
SAMBIL duduk bersila, tangan Wibi Kanafa lincah memukul tiga gendang yang tersusun rapi di depannya. Bocah laki-laki berusia 12 tahun itu tampak santai mengikuti irama lagu Manuk Dadali dan Jali-jali yang dibawakan sanggar gambang kromong Sinar Muda saat berlatih di Gedung Pusat Pelatihan Seni Budaya KH Usman Perak di Cengkareng, Jakarta Barat, Jumat, 21 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebetulan, sanggar tersebut sedang berlatih untuk tampil di salah satu acara lari maraton di Jakarta dalam waktu dekat. Saat latihan tersebut, penampilan Wibi menjadi salah satu yang terbaik. Siswa kelas VI SD Negeri 05 Petukangan Selatan itu bermain nyaris tanpa kesalahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal yang unik, Wibi masih bisa menunjukkan ekspresi wajah ceria sembari beberapa kali berteriak di tengah wajah pemain musik lain yang tampak lebih serius. Memang latihan kali ini cukup berat. Sebab, Sanggar Sinar Muda harus memainkan lagu yang tak umum. Sementara biasanya mereka memainkan lagu-lagu gambang kromong, kini mereka mendapat tantangan membawakan lagu daerah Nusantara.
Wibi mengenal alat musik gendang sejak berusia 6 tahun. Bakat seninya turun dari sang ayah, Abdul Wahab, pemimpin sekaligus pendiri Sanggar Sinar Muda. "Sejak 6 tahun, ayah yang ajarin saya," kata Wibi malu-malu.
Seniman anggota sanggar gambang kromong Sinar Muda, Wibi Kanafa, saat ditemui di Balai Kesenian Jakarta Barat, Jakarta, 21 Juni 2024. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Menariknya, Wibi tak cuma belajar gendang. Ia juga belajar alat musik tradisional lain, seperti gambang, kromong, kecrek, dan gong. Namun hanya gendang yang paling ia suka. "Keren saja bisa mainkan irama."
Wibi tak sedikit pun malu dengan predikatnya sebagai pemain musik tradisional gambang kromong. Bagi dia, gambang kromong tak kalah hebat dengan jenis musik modern sekalipun. Maklum, ia sudah jatuh hati betul dengan gendang dan gambang kromong.
Ayah Wibi, Abdul Wahab, bangga luar biasa atas kemampuan anaknya. Wahab mengibaratkan anaknya seperti spons yang mudah menyerap air. Menurut dia, Wibi sangat mudah diajari cara bermain gendang. Ia masih ingat ketika Wibi berusia 6 tahun, hanya butuh waktu dua-tiga bulan bagi bocah itu memainkan gendang untuk lagu Kicir-kicir.
"Sekarang saya sudah bingung mau mengajari dia apa lagi. Bahkan, untuk gendang, dia sudah lebih jago dari saya," ujar Wahab sambil tertawa.
Sebagai seniman betawi, khususnya musik gambang kromong, Wahab menaruh harapan besar kepada anak-anak muda, termasuk anak, adik, dan keponakan yang ia ajak bergabung ke dalam Sanggar Sinar Muda. Bagi dia, gambang kromong tak boleh sampai punah di tanah Betawi.
Pendiri sanggar gambang kromong Sinar Muda, Abdul Wahab, saat ditemui di Balai Kesenian Jakarta Barat, Jakarta, Jumat, 21 Juni 2024. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Musikus muda gambang kromong memang terus lahir. Misalnya Abdul Rahim, yang menjadi pemain alat musik gesek tehyan di Sanggar Alunan Silibet. Pria 27 tahun itu sudah akrab dengan alat musik khas Betawi sejak masih anak-anak. Saat berusia 7 tahun, ia kerap diajak kakeknya yang merupakan musikus topeng Betawi tampil di beberapa lokasi.
Minat memainkan alat musik tehyan pun muncul saat itu. Namun rasa penasarannya saat itu belum terlalu besar. Hingga beberapa tahun kemudian ia ditantang sepupunya yang sudah mahir memainkan tehyan. Walhasil, Abdul Rahim belajar sendiri alias autodidaktik memainkan beberapa lagu menggunakan tehyan.
"Kesulitannya adalah sinkronisasi gesekan dengan penjarian. Jika salah, suaranya akan terdengar pales," kata pria berkacamata itu.
Alih-alih minder, Abdul justru bangga bisa menjadi pemain musik tradisional. Alasannya sederhana, tak banyak anak muda yang tertarik untuk memainkan alat musik tradisional. Karena alasan itu, Abdul semakin tertantang untuk aktif di dunia gambang kromong.
Penampilan sanggar gambang kromong Alunan Silibet dalam festival Haul Sunan Gunung Jati di Museum Bahari, Jakarta Utara, 20 Juni 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Menurut Abdul, sejatinya musikus muda gambang kromong di Jakarta jumlahnya cukup banyak. Bahkan mereka bisa membentuk komunitas di beberapa wilayah di Jakarta dan sekitarnya. Ia pun memanfaatkan komunitas tersebut untuk menambah kawan dan ilmu bermain alat musik gesek gambang kromong.
Ada juga Muhammad Ikhwan, 31 tahun, yang menjadi pemain gambang di Sanggar Alunan Silibet. Ikhwan juga musikus serba bisa. Selain gambang, ia mahir memainkan alat musik gesek seperti tehyan dan kongahyan. Minat dan bakat tersebut ia dapatkan dari kakeknya yang merupakan musikus kesenian ondel-ondel.
Ikhwan mengaku belajar musik gambang kromong sejak kelas III sekolah dasar. Kini ia bertekad akan terus aktif di dunia gambang kromong hingga masa depan. "Intinya, jangan malu lestarikan musik tradisional," tutur Ikhwan.
Sejumlah seniman Sinar Muda memainkan kesenian Gambang Kromong di Balai Kesenian Jakarta Barat, Jakarta, 21 Juni 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis
Lagi pula, Ikhwan sama sekali tak menganggap gambang kromong sebagai musik yang kaku. Justru, menurut dia, gambang kromong salah satu musik yang paling luwes dan bisa masuk ke sejumlah kalangan musik. Salah satunya dengan mengkombinasikan musik gambang kromong dengan lagu hingga alat musik yang lebih modern. "Karena kesenian tradisi pun harus berkembang," kata Ikhwan.
Budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra, optimistis dengan keterlibatan anak muda yang mampu menjaga kesenian gambang kromong dari kepunahan. Sebab, di kalangan anak-anak seperti di sekolah, kesenian ini masih diajarkan dalam format Kurikulum Merdeka.
Alasan lain, Yahya melihat masih cukup banyak maestro musik gambang kromong yang masih hidup. Walhasil, para senior masih hadir untuk membimbing yang muda-muda. "Jadi, gambang kromong ini memang kesenian yang aman kelestariannya."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo