Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Apresiasi seni rupa secara langsung

Delapan perupa berpendidikan seni rupa ITB dan ISI yogyakarta memamerkan karya instalasi di arkade plaza bintaro, jakarta. sebuah penawaran apresiasiseni rupa secara langsung.

5 Maret 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPETAK tanah merah berukuran sekitar dua meter persegi, ditutupi kain putih tipis, dan empat sosok manusia terkapar di sekelilingnya. Itu bukan manusia betulan, hanya patung dari tanah liat, dan di dekat kepala patung diletakkan begitu saja caping. Di hamparan tanah itu ditebarkan kacang merah, beberapa biji sudah bertunas. Di sekitar "pemandangan" itu tergeletak secarik kertas bertulisan. Isi tulisan kira-kira demikian: modernisasi bagi sebagian orang bisa berarti berkah, bagi lainnya bisa jadi sebuah malapetaka pembangunan yang dijalankan tanpa pertimbangan kemanusiaan akan membawa korban. "Pemandangan" itu dapat dilihat di satu tempat di arkade atau lorong jalan di Plaza Bintaro Jaya, sebuah pertokoan mahal di Jakarta Selatan. Bersama sejumlah "pemandangan" yang lain, sepetak tanah merah itu berada di plaza tersebut sejak 7 Februari lalu sampai Senin pekan ini. Mudah dilihat, "pemandangan" itu bukan bagian dari kegiatan bisnis di sini: tidak ada hubungannya dengan iklan atau promosi produk konsumtif tertentu. Juga, sepertinya itu bukan upaya pengelola Plaza memperindah arkade-arkade di situ. Lalu apa? Inilah upaya delapan perupa untuk memamerkan karya seni rupa mereka agar "dekat dengan kehidupan". Pameran ini dinamakan "Eksodus". Dalam brosur yang disebarkan memang dijelaskan bahwa pameran ini merupakan kesengajaan untuk mengadakan kegiatan di tempat yang dipandang tidak lazim. Maka, seorang bapak yang mengajak keluarganya berbelanja di sana, dan kebetulan melihat-lihat karya itu, bertanya-tanya, "Apakah ini karya seni? Saya jadi tambah tidak mengerti apa itu seni, dan mengapa dipamerkan di sini?" Beberapa pengunjung yang lain tampak memperhatikan dengan serius karya-karya itu. Agak jauh dari hamparan tanah merah tadi, terlihat semacam kotak setinggi 2,5 meter. Dan seolah-olah datang dari kotak itu, merambat ke sana-kemari mendekati toko-toko sekitarnya adalah rambut yang dijalin membentuk salib. Di lantai lain, di depan restoran hamburger lantai dua, terbentang tiga buah kanvas yang masing-masing bergambar ekspresi wajah manusia kesakitan, dan bertuliskan "aku mendengar", dan "aku melihat", dan "aku merasa". Di antara ketiga kanvas tergantung sepotong batang pohon pisang yang dibalut kain, dan ditusuk dengan beberapa bilah kayu. Ketiga karya ini hanya sebagian karya instalasi karya delapan perupa yang berpameran di Plaza Bintaro itu. Berkat Eddy Sukma, programer acara radio Prambors, Jakarta, kedelapan perupa muda ini mendapat tempat untuk berpameran di tempat yang "tak lazim itu". Menurut pihak Plaza Bintaro, inilah sumbangan untuk ikut menyebarluaskan karya seni. Kata Bagus Bogadhatta, salah seorang manajer plaza tersebut, nanti juga akan digelarkan di sini musik, dan karya seni lainnya. Bisa ditebak, mereka yang kemudian "merespons" pameran ini kebanyakan adalah anak-anak. Dengan girang mereka mengelilingi, mengamati, kadang-kadang mencolek karya-karya itu. Anak-anak tampaknya tak peduli apakah mereka memahami karya itu atau tidak -- pokoknya tertarik. Para orang dewasa, barangkali saja "malu", karena tak paham mungkin, kebanyakan lewat begitu saja. "Semua itu telah menjadi perhitungan kami," begitu kata Agus Suwage, salah seorang yang memamerkan karyanya. Termasuk perhitungan bahan karya agar tak mudah rusak karena senggolan para pengunjung Plaza. Dan tentu saja termasuk "bentuk" karya, yang bisa membuat penonton menjadi bagian dari karya. Yang jelas bisa dilihat adalah penggunaan barang-barang sehari-hari pada karya instalasi ini. Ada caping, garu, telepon, tanah, kaca, kabel, jerami, sampai potongan-potongan rambut. Pada karya-karya itu barang-barang tersebut "ditanggalkan" fungsinya. Pesawat telepon itu misalnya, orang memang melihatnya sebagai telepon dan mestinya juga tahu bahwa itu gunanya untuk berkomunikasi jarak jauh. Tapi, ketika melihat telepon itu menjadi bagian dari susunan yang tak fungsional, orang tak akan timbul niatnya menelepon dengan telepon pada karya itu. Dengan kalimat lain, ketika orang melihat pesawat telepon di boks telepon dan di karya itu, persepsinya berbeda. Itulah yang menjadikan barang sehari-hari yang dipakai sebagai media karya seni tersebut menjelma elemen dari karya seni rupanya, dan tak lagi memikul beban fungsionalnya. Dari pameran ini bisa dikatakan, dengan barang sehari-hari itu para perupa tersebut menanggapi masalah sosial. Misalnya soal ketidakadilan (Aku Mendengar, Aku Melihat, Aku Merasa karya Agus Suwage, Korban karya Rahmayani). Atau tentang perubahan nilai masyarakat (Tanpa Judul karya Hedi, Mencari Cinta karya Isa Perkasa). Juga masalah religi (Di Manakah Engkau karya Setyoko). Tanpa Judul adalah karya yang menggunakan sejumlah sapu lidi. Sapu itu diberdirikan di lantai, disusun berderet tiga lapis, berjarak sekitar satu meter, diselang-seling dengan semacam antena yang terbuat dari gabus ditusuk beberapa kawat. Pada sapu itu ditancapkan cabai, bawang merah, kemiri, kunyit, dan lain-lain -- mengingatkan upacara tradisi di beberapa tempat di Jawa yang berkaitan dengan bayi atau menolak hujan. Di Plaza Bintaro, karya itu menimbulkan suasana aneh. Sebuah hubungan antara upacara tradisi dan pasar modern, yang umumnya dipahami sebagai dua zaman yang terpisah oleh jarak yang jauh, ketika itu menjadi tanpa jarak. Dan ini menyadarkan kita bahwa kenyataannya di Indonesia jarak antara yang tradisi dan modern itu sering memang tak ada. Bukan hal aneh, pada peletakan batu pertama sebuah gedung yang direncanakan berarsitektur sangat mutakhir ditanam kepala kerbau. Ditilik dari karya-karyanya itu sendiri, "Eksodus" di Plaza Bintaro ini bukan merupakan hal yang baru. Desember lalu dibuka Bienniale Seni Rupa di Taman Ismail Marzuki, menampilkan banyak karya instalasi -- antara lain diikuti oleh sebagian dari delapan perupa "Eksodus" ini. Dan kalau mau dicari awalnya, tentulah ada kaitannya dengan pameran Seni Rupa Baru di pertengahan 1970-an di Taman Ismail Marzuki juga: sebuah awal ketika sejumlah perupa Indonesia merasa tak lagi perlu memisah-misahkan seni lukis, patung, grafis, iklan, dan lain-lain. Seni rupa lebih luas daripada itu, dan silakan memakai apa pun sebagai mediumnya. Juga, dilihat dari tempatnya, yakni tempat umum, bukan baru sekali ini pameran seni rupa memilih tempat di luar ruang pameran. Pada akhir tahun 1970-an, Jim Supangkat (yang sekarang lebih aktif sebagai kurator seni rupa) pernah melakukan pameran patung di lobi bioskop termegah (waktu itu) Paramount, Bandung. Sekelompok seniman muda juga pernah memamerkan karya rupanya di emperan Gedung Asia Afrika, di Bandung. Pada tahun 1970-an, sekelompok perupa muda Jakarta, diorganisasi oleh, antara lain, Sulebar (kini bekerja di Institut Kesenian Jakarta) mengadakan pameran di Plaza Glodok. Dan pada awal Orde Baru, sejumlah mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia plus beberapa seniman Sanggarbambu berpameran di trotoar Malioboro, Yogyakarta. Apa pun tujuan pameran di tempat umum (ingin memberikan apresiasi pada publik secara lebih luas, kata Jim untuk memprotes sikap mapan para perupa yang biasanya mengadakan pameran di tempat-tempat elite, kata anak-anak Bandung atau untuk meruntuhkan tembok imajiner yang memisahkan masyarakat dan seniman, kata anak-anak Yogya) satu hal jelas: pengingkaran terhadap keharusan adanya ruang khusus untuk pameran. Bila kita masih percaya bahwa kesenian merupakan hal yang melengkapi fitrah manusia, dan di Indonesia apresiasi kesenian sangat terbatas diupayakan, kegiatan delapan perupa kita ini tentulah bermanfaat. Ketika kita belum berkesempatan membawa murid-murid sekolah mengunjungi museum seni rupa (kan museumnya belum ada), ketika apa dan siapa perupa kita belum diinformasikan di buku-buku yang mudah dibaca dan murah dibeli di toko-toko, kegiatan ini dapat dipandang sebagai jalan menawarkan apresiasi langsung. Kegiatan para seniman berlatar belakang pendidikan Seni Rupa ITB dan Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini pun boleh dipandang sebagai pendemokrasian kesenian: seni bukan hanya milik sekelompok orang. Bila olahraga dianggap sebagai salah satu sarana untuk membentuk sportivitas, kesenian menawarkan agar orang menghargai dan mendengarkan ekspresi orang lain dengan terbuka. Dan sekaligus ia diberi kesempatan untuk menolak, mengkritik, memuji, meninggalkannya, atau membeli, tapi jangan merusakkan, kesenian itu. Sebuah cara untuk berdialog, untuk saling lebih memahami. Maka, sungguh menarik bila delapan perupa ini tak berhenti di sini. Mereka merencanakan memamerkan karya mereka di pertokoan, di tempat-tempat umum yang lain di pekan-pekan mendatang di Jakarta dan kota lain.S. Malela Mahargasarie dan Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum