DIIRINGI sorak ratusan pengunjung sidang, Ketua Majelis Hakim Nyonya Nurhayati menjatuhkan hukuman empat tahun penjara untuk Nuku Soleiman. Ketua Yayasan Pijar yang juga mahasiswa Universitas Nasional Jakarta berusia 29 tahun itu dinyatakan bersalah telah melakukan penghinaan terhadap Presiden Soeharto. Nuku sendiri tampak tenang. Yang gaduh justru pengunjung karena, begitu hakim mengetukkan palu, serempak pengunjung menyambutnya dengan kor: "...huuu...." Nuku dinilai terbukti melanggar pasal 134 jo pasal 55 KUHP. Penghinaan dilakukan dengan mengubah singkatan SDSB menjadi rangkaian kata-kata yang menyerang nama baik, kehormatan, dan martabat Presiden Soeharto. Rangkaian kata itu dituangkan dalam bentuk stiker dan kemudian diedarkannya pada saat unjuk rasa anti SDSB di DPR/MPR, 25 November 1993. Vonis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu, itu lebih ringan dua tahun dari tuntutan jaksa. Yang memberatkan menurut majelis hakim (yang terdiri dari Nurhayati, Sihol Sitompul, dan Gatam Taridi), terdakwa seorang residivis yang pernah dihukum -- terlibat demonstrasi penurunan tarif listrik dan kasus pencurian -- dan bertingkah tidak sopan. Perbuatan itu, misalnya, memukul meja dan menuding-nuding majelis hakim. Faktor pemberat lain, sebagai mahasiswa ilmu politik, seharusnya Nuku mengerti bagaimana melakukan aksi kontrol sosial yang tidak melanggar norma-norma kepatutan. "Selain menghina Presiden Soeharto yang dikenal sebagai negarawan dunia, terdakwa juga sering mempersulit jalannya sidang serta tak pernah menyesali perbuatannya." Yang meringankan, terdakwa masih muda yang diharapkan masih bisa memperbaiki perbuatannya. Persidangan Nuku sendiri diwarnai kejadian-kejadian menarik. John Pieter Nazar dkk., pengacara Nuku, melakukan aksi walk out. Saat pembacaan vonis, John Pieter datang, tapi hanya duduk di kursi pengunjung, tak lagi mendampingi pembela. Ia tetap beranggapan persidangan berlangsung tidak fair. Terdakwa juga melakukan aksi bisu, tak mau menjawab pertanyaan hakim. Diam itu kemudian diartikan hakim sebagai menyetujui dakwaan. Peristiwa aneh -- tapi lucu -- juga terjadi pada persidangan yang menyedot banyak pengunjung itu. Tak jelas siapa orangnya yang jail, majelis hakim yang mengadili Nuku dikerjain. Aksi pertama "penjail", yang mungkin luput dari perhatian orang banyak, adalah pemasangan iklan lowongan kerja di harian Pos Kota edisi 21 Februari 1994. Pada iklan mini itu, dimuat Nurhayati yang beralamatkan di Jalan Gajah Mada 17 lantai 3 Jakarta Pusat, memerlukan sopir untuk perusahaan. "Pengalaman tidak mutlak, akan dibuatkan SIM, hubungi Nurhayati hari Kamis 24 Februari 1994 jam 09.30," demikian bunyi iklan itu. Kemudian di kolom lain koran itu ada iklan lowongan untuk tamatan SLA, pengalaman tidak mutlak. "Bawa lamaran hubungi Sihol S. Jl. Gajah Mada 17 lantai 3 Jakarta Pusat Kamis 24 Februari jam 09.30." Siapa pun di Jakarta tahu bahwa alamat itu adalah gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Lantai 3 dan jam 09.30 adalah tempat dan waktu yang biasa dipakai untuk persidangan Nuku. Sedangkan nama Nurhayati dan Sihol adalah hakim yang mengadili Nuku. Apakah ini sebagai pola baru upaya pengerahan massa? Entah. Yang pasti, Kamis pagi itu, kantor pengadilan diserbu pelamar. Kendati sudah dijelaskan bahwa iklan itu palsu, banyak pelamar tak percaya. Mereka tetap menunggui Nurhayati dan Sihol sampai selesai sidang. Suasana pun tambah meriah dengan hadirnya anak- anak muda membawa stop map. Belum lama persidangan berlangsung, terjadi keributan kecil di luar pengadilan. Ini urusannya juga "jail-menjaili". Sebuah ambulans datang, mengaku dipanggil Sihol untuk membawa Nurhayati yang sedang sakit keras. Petugas medis baru mau membawa pulang ambulansnya, setelah sejumlah petugas keamanan menjelaskan bahwa Nurhayati segar bugar dan sedang memimpin sidang. Kiriman bunga dan penganan untuk Nurhayati juga meramaikan kejailan itu. Seorang petugas pengantar pizza celingukan mencari Nurhayati. "Kiriman untuk Nurhayati dari Sihol," kata si pengantar. Seorang sopir taksi juga ikut terkecoh, terkena pesanan palsu dari orang yang mengatasnamakan Sihol. Kabarnya, pihak keamanan sedang mengusut perjailan ini. Dalam sejarah peradilan, barangkali baru kali inilah ada hakim dijaili oleh orang-orang yang tidak dikenal, yang memanfaatkan kemudahan-kemudahan pelayanan modern itu. Sementara itu, baik jaksa maupun terdakwa -- kendati sebelumnya menyatakan akan mengajukan banding -- sampai akhir pekan lalu belum menyatakan sikap resminya. Nuku sendiri, yang dikawal ketat petugas -- dan diiringi nyanyian Padamu Negeri oleh teman-temannya saat menuju mobil tahanan -- hanya berkomentar, "Saya mau pikir-pikir dulu." Buyung Nasution, yang ikut menyaksikan sidang, menilai bahwa sejak awal sudah ada sikap apriori, sikap yang memihak dari hakim. "Ini menunjukkan kemerosotan peradilan kita sekarang sudah sangat luar biasa," komentarnya.Aries Margono, Nunik Iswardhani, dan A. Kukuh Karsadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini