Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan bangga, siang itu Ciputra menunjukkan dua karya pelukis Hendra Gunawan yang terpasang di dua bidang dinding Museum Ciputra Artpreneur, Jakarta Selatan. Kedua lukisan berukuran besar itu berjudul Arjuna Menyusui dan Pangeran Diponegoro Terluka. Dua karya inilah yang menjadi ikon pameran seabad pelukis Indonesia itu dalam 100 Years Hendra Gunawan bertajuk "Hendra Gunawan: Prisoner of Hope".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua karya ini sangat dikagumi oleh Ciputra di antara 32 karya Hendra yang dipamerkan di Museum Ciputra Artpreneur pada 4-16 Agustus 2018. "Saya kira Diponegoro ini paling bagus. Lihat kudanya, dinamis geraknya. Yang misterius adalah mukanya tidak selesai. Istrinya pun tak tahu mengapa tak diselesaikan," ujar Ciputra kepada Tempo di Museum Ciputra Artpreneur, Senin lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lukisan itu memperlihatkan Pangeran Diponegoro yang menunggang kuda, mukanya masih belum terbentuk tapi menghadap ke belakang. Di sekitarnya, terlihat 10 kuda dengan posisi di atas angin, 10 kuda lain terlihat jatuh atau terjungkal lengkap dengan prajurit pribumi dan pasukan berkulit putih. Lukisan berukuran 5 x 2 meter itu akan diserahkan sebagai hadiah kepada pemerintah daerah Jawa Tengah.
Sebelumnya, Hendra, dalam buku Surga Kemelut Pelukis Hendra yang ditulis Agus Dermawan T., menyebutkan sudah menyumbangkan lukisan besar lain ke beberapa museum di Jawa Barat dan Bali. "Karena saya cinta kepada Tanah Air dan pahlawannya," ujar Hendra, seperti dikutip dari suratnya kepada Ciputra.
Tapi, bagi Ciputra, lukisan ini bermakna lebih. Lukisan Diponegoro ini memperlihatkan kecintaan Hendra yang mau bersusah payah untuk seni hingga dipenjara. Di kemudian hari, lukisan ini diwujudkan dalam bentuk patung dan menjadi ikon di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat. Ciputra sendiri memilih 32 lukisan yang dipamerkan dan dikurasi oleh Agus Dermawan dan Aminudin T.H. Siregar.
Lukisan lain yang tak kalah membuat pengusaha properti ini kesengsem adalah Arjuna Menyusui, yang reproduksinya terpasang di bidang dinding Ciputra Artpreneur. Lukisan ini menjadi tantangan tersendiri bagi Ciputra. "Semula, lukisan ini mau dimiliki keluarga sebagai kenang-kenangan, tapi mereka butuh uang dan mereka tahu saya sangat suka lukisan itu, maka dijuallah," ujar Ciputra.
Tahun ini, keberadaan pelukis Hendra Gunawan genap 100 tahun. Ia lahir di Bandung dari keturunan bangsawan Raden Prawiradilaga dan Raden Odah Tedjaningsih pada 11 Juni 1918. Anak semata wayang yang mengenyam pendidikan dengan baik, tapi jiwanya memberontak dan gemar bertualang karena keluarga yang kurang harmonis. Ia kemudian belajar melukis kepada sejumlah orang, salah satunya Abdullah Suriobroto (putra tokoh pergerakan Dr Wahidin Sudirohusodo), ayah pelukis Basoeki Abdullah. Ia juga belajar kepada Wahdi Sumanta.
Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan sejumlah pelukis lain, seperti Affandi, Barli, dan Sudarso. Kemudian mereka membentuk Kelompok Lima pada 1935. Mereka selalu beriringan ke mana-mana untuk melukis. Hendra kemudian ikut dalam revolusi kemerdekaan dengan membuat poster-poster perjuangan dan ikut turun ke medan perang di sejumlah wilayah di Jawa Barat sampai Jakarta. Nama Hendra melambung, tapi pada puncaknya ia dijebloskan ke penjara karena bergiat di Lembaga Kebudayaan Rakyat. Ia menemui ajal beberapa tahun selepas dari penjara pada 1983.
Lukisan-lukisan Hendra sejak semula tak lepas dari kehidupan sehari-hari, terutama kehidupan rakyat jelata yang sangat Indonesia. Dia memotret kegiatan-kegiatan yang ditemui. Misalnya, perempuan yang sedang mencari kutu, menunggu suami, menangkap ikan, menyusui, berkegiatan di pasar, mencuci, melakukan jual-beli durian, kehujanan, berebut topeng, mandi, dan masih banyak lagi. Ciputra mengaku mempunyai getaran frekuensi yang sama dengan Hendra dari lukisan-lukisan itu. Selain karena tema kerakyatan, ada semangat yang sama dengannya dalam perjuangan dan penderitaan sejak masa kecil.
Ciputra tergetar pertama kali saat melihat lukisan Hendra di tempat seorang temannya. "Lukisan pemandangan. Sejak itu mulai suka," ujarnya. Menurut dia, lukisan Hendra tersebut asli, proporsional, gerak obyeknya dinamis, warnanya pun menarik dilihat dalam spektrum warna tipis. "Lukisannya spontan, obyek masuk dalam sanubari jiwa, lalu ditumpahkan, sekali jadi. Bukan obyek yang diam."
Saat ini Ciputra sudah mengoleksi 130 lukisan dan sketsa Hendra. Dia pun mengembangkan lukisan itu dalam bentuk patung, antara lain oleh pematung Moenir Pamoentjak. Puluhan patung ini dipajang di berbagai gedung dan kediaman Ciputra. Yang terbaru, dua patung akan diperkenalkan kepada publik saat pembukaan pameran, yang diambil dari lukisan istri Hendra Gunawan, Nuraeni, dan kebersamaan Hendra saat dijenguk istrinya, Karmini.
Agus Dermawan T. mengatakan ini pameran terbesar karya Hendra. "Pameran ini akan menampilkan sejumlah karya yang belum pernah dipamerkan kepada publik," ujar Agus saat konferensi pers di Museum Ciputra Artpreneur, 19 Juli lalu. Dua tahun lalu ia sudah merencanakan pameran karya Hendra, tapi belum mendapatkan tema yang spesifik.
Seiring waktu, mereka pun bersepakat memamerkan karya Hendra yang selama ini tak banyak dilihat masyarakat umum. Sebagian besar karya itu dibuat Hendra semasa ia berada di penjara Kebon Waru, Bandung (1965-1978), dan setelahnya. Mengiringi pameran utama, juga dipamerkan karya 70 seniman yang menyelami Hendra Gunawan dengan beragam medium. Pameran bertajuk "Spektrum Hendra Gunawan" itu dikuratori Rifky Effendi. DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo