PENDIDIKAN formal seni rupa mereka tempuh di Yogyakarta. Kemudian bermukim di Bandung hingga sekarang. Secara tidak teratur beberapa kali muncul depan khalayak. Kini, 20-29 Januari, mereka berdua tampil di Erasmus Huis Takarta: Luckman Syarifuddin dengan 30 lukisan, Bambang Sudarto 22. Luckman menyerap arus penjelajahan seni lukis yang bangkit dalam masa tahun 60-an dan menjadi besar dalam masa 70-an di negeri kita. Ia menggunakan pasir, kaca serat (fiberglass), dan styrofoam untuk membuat barik dan relief. Ia menyerap corak dekoratif, juga corak abstrak dan simbolisme. Bentuk tertib dengan garis tegas dan raut geometrik tampak pada sejumlah pekerjaannya. Begitu pula bentuk acak. Raut dengan tepi tak beraturan, atau garis yang gemetar meliku dengan arah tak terduga. Beberapa pokok yang tidak jarang kita temukan pada pelukis lain juga tersua padanya: gunungan pohon hayat, menong. Kelihatan pengaruh perupa di kanan-kiri, khususnya dari A.D. Pirous dan Sunaryo. Dengan mengemukakan penyerapan, kita hendak menunjuk kepada keterampilan tangan, kepekaan cerapan, dan kelenturan pikiran, yang dimiliki Luckman. Dan ini adalah modal penciptaan yang tidak kecil, dan yan semakin penting bila disertai tumbuhnya keashan dan kelancaran menghasilkan gagasan. Penjelajahan seni lukis telah menyebabkan sejumlah istilah tak lagi memadai. Misalnya istilah "abstrak" dan "abstraksi" yang menggoda kita untuk memakainya berkenaan dengan lukisan Luckman. Coraknya yang dekoratif, serta motif-motif tertentu yang terdapat di dalamnya, menyebabkan kita sulit pcrcaya bahwa Masih Ada Bara (I dan II) dan Membara adalah "abstrak" (sari), atau hasil "abstraksi" (proses menyarikan), dari rupa obyek atau gelala nyata tertentu. Tampaknya, tanpa model nyata, pelukis membuat dan menggubah unsur-unsur rupa. Mungkin secara improvisasi, mungkin dengan skema kasar tertentu (skema dekoratif) mungkin dengan menggabungkan keduanya. Pada hasil akhir, nada gelap kemerahan, serta merah terang pada bagian yang menjadi pusat perhatian, memungkinkannya melihat kesejajaran dengan sifat bara. Bahkan mungkin ia punya gagasan lanjut, tentang tekad atau semangat. Dengan demikian, rupa lukisan, bara, dan semangat atau tekad, dihubungkan oleh kias. Sama halnya dengan Citra Parahyangan (I sampai X). Pclukis tidak membuat abstraksi pemandangan tertentu di Parahyangan. Tetapi kekayaan raut yang terjadi oleh perpotongan garis-garis, serta cemerlangnya warna, memungkinkan kita melihat kesejajajaran dengan kekayaan atau kesuburan alam dan cemerlangnya warna kesukaan orang di Parahyangan. Berbeda dari Luckman, Bambang bekerja dalam kerangka arus baru (TEMPO, 23 Januari). Cermin adalah potret diri yang naturalis atau realis, sekiranya tidak tersua keanehan. Pada kaca mata yang dipakai pelukis, terbayang dua kenyataan yang berbeda. Pada kaca sebelah, tampak orang-orang miskin terdampar di kota besar, yang lainnya, pemandangan gedung-gedung bertingkat. Bambang menggarap tema-tema sosial: kontras kaya-miskin di kota (Merdeka, Kejayaan), lingkungan hidup (Monster I - VI, Lingkungan Hidup, Hak Hidup), perang (Peradaban, Slogan, Nasib), kemerosotan moral dan martabat manusia di kota besar (Jalan Pintas, Jendela, Metropole). Kerusakan akhlak dan kemerosotan martabat manusia dilukiskan, misalnya, dalam Jendela. Dengan gaya arus baru Bambang menyampaikan keadaan di mana wanita itu pakaian dan topeng. Dalam keadaan telanjang di luar jendela, tampak penderitaan dan kehinaan: wanita bergelimang darah, tergolek di tengah padang sampah, sedang di latar belakang gedung-gedung bertingkat. Jalan Pintas, cat minyak pada papan kayu, menyajikan seorang muda tertelungkup, hanyut dalam mabuk dan mimpi, sedang dekat di depannya sebuah peti mati. Kayu peti ini sungguhan, bukan dilukis seperti yang kita sangka mula-mula: kematian itu nyata, sedang keadaan orang muda itu lukisan selebihnya -- semu. Kemampuan, yang tampak dalam pekerjaan Bambang, menjanjikan banyak. Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini