Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Ay, Caramba!

Hanya The Simpsons yang bisa mencuri perhatian penonton sedunia begitu lama. Delapan belas tahun kita bersetia menyaksikan kisah keluarga disfungsional yang saling mencintai itu di layar kaca, akhirnya memenuhi layar besar di bioskop. Kita melihat Homer, Marge, Bart, Lisa, dan Magie dalam ukuran gede, lengkap dengan kebodohan sang ayah, kesabaran sang ibu, kejailan si sulung Bart, dan tentu saja si jenius Lisa yang akhirnya jatuh cinta. Tempo menuliskan kesetiaan kami pada serial animasi yang heboh ini. Ay, Caramba!

6 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BART Simpson sungguh durjana cilik tanpa urat malu. Tak pernah terjadi dalam sejarah film kartun dan animasi, ada tokoh yang mempertontonkan alat kelamin mereka secara terang-terangan. Baru bocah inilah yang menjadi ekshibisionis murni. Sintingnya, kelakuan itu berlangsung tak sebentar karena dilakukan Bart sambil meluncur di skateboard dari rumahnya ke Krusty Burger, resto junk-food terkenal di kota mereka.

Lebih gila lagi, hal itu dilakukan Bart untuk menjawab tantangan ayahnya yang tak kalah gendeng, Homer. Bayangkan, betapa jengkelnya murid kelas 4 SD Springfield itu ketika akhirnya ia ditangkap polisi akibat ”burungnya” yang melambai-lambai, eh, sang ayah malah tidak mengakui bahwa hal itu adalah akibat ide konyolnya.

Pola komunikasi Bart-Homer memang tak lazim, bahkan untuk ukuran keluarga Amerika sekalipun. Bart lebih sering memanggil ayahnya dengan ”Homer” saja ketimbang ”Dad”. Sebaliknya, sang ayah lebih suka memanggilnya ”The Boy” ketimbang Bart, apalagi nama lengkapnya Bartholomew. Hanya ibu Bart, Marge, yang memanggilnya dengan sebutan mesra, ”My special little guy.”

Tapi Bart memang lain, terutama jika Anda belum kenal lebih jauh si bengal yang, menurut informasi dari The Bart Book, lahir pada 1 April 1980 ini. Kendati Bart seorang ambidextrous (mahir menggunakan kedua tangan untuk mengerjakan berbagai urusan, meski untuk menulis biasanya dengan tangan kiri) seperti kebanyakan bocah sekotanya, minatnya berlimpah ruah, baik yang diakuinya maupun tidak.

Mulai dari membaca komik (favoritnya adalah Radioactive Man), menonton serial TV The Itchy and Scratchy Show (yang mengingatkan pada Tom and Jerry), meluncur dengan skateboard (tentu saja berpakaian lengkap, Bart hanya telanjang untuk ”kebutuhan” film layar lebar The Simpsons Movie yang sedang beredar), bermain game komputer dan video, bersobat karib dengan pemilik Krusty Burger, Pak Tua Krusty The Klown (pada episode Bart The Fink bocah itu baru tahu bahwa nama lengkap sahabatnya adalah Herschel Schmoekel Pinkus Yerucham Pintofski, lahir pada 1935, dan bekas pembawa acara televisi terkenal era 1960-an yang pernah ”mewawancarai” Robert Frost, Elisabeth Taylor, The Beatles, Ravi Shankar, sampai pendiri majalah Playboy Hugh Hefner).

Sementara itu, hobi yang tak pernah diakui Bart tapi dilakukannya setiap hari, antara lain, meneror adiknya yang cantik dan jenius Lisa Marie (mahir meniup saksofon bariton dan mencatat IQ 159), membuat jengkel gurunya Edna Krabappel (yang sempat bingung karena naksir Homer, ya ayah Bart, dan pemain drum grup Aerosmith, Joey Kramer, pada saat bersamaan dalam episode Flaming Moe’s), serta—nah, ini dia—”penyimpangan” dari kebiasaan Bart yang destruktif: selalu menolong sahabatnya Milhouse Mussolini van Houten.

Milhouse berdarah Italia, pengidap rabun dekat dan alergi terhadap banyak makanan ”yang baik dan benar”, seperti tepung, madu, susu, bahkan juga hampir semua minuman non-susu. Karena itu, Milhouse sering dikerjai murid-murid lain, dan tentu saja selalu Bart yang menolong. Yang bikin Bart mangkel, Milhouse ini dengan segala ”cacatnya” itu masih sering pamer sebagai pengendara Vespa yang canggih, dengan berkali-kali membawa skuter itu ke sekolah meski berkali-kali juga dilarang oleh Pak Kepala Sekolah Seymour Skinner. Toh, Milhouse dan Bart punya ”prestasi” lain yang tak pernah dilakukan murid lain di sekolah itu… menjadi mak comblang antara Pak Skinner dan Bu Krabappel!

Minat lain atau, lebih tepatnya, kemampuan lain yang dimiliki Bart namun juga tak terlalu disadarinya adalah kemampuan mempelajari bahasa asing. Pada episode The Crepes of Wrath—ini plesetan dari novel John Steinbeck The Grapes of Wrath—Bart mengikuti program pertukaran pelajar dan ditempatkan di Prancis. Ketika keluarga Simpson berencana liburan ke Brasil, Bart dengan cepat belajar bahasa Spanyol. Namun, setelah sampai di sana dan mengetahui masyarakat Brasil berbahasa Portugis, Homer meminta anaknya agar membenturkan kepalanya ke dinding. ”Supaya kamu lupa dengan bahasa Spanyol yang baru kamu pelajari!” katanya. Berdasarkan pelbagai episode The Simpsons, digambarkan Bart juga bisa bercakap-cakap dalam bahasa Jepang, Cina, dan Latin. Konon, kemampuan menyerap bahasa asing itu diwarisi Bart dari ayahnya yang, meski sekilas terlihat bloon, moncer dalam hal menghafalkan kata-kata asing—termasuk bahasa penguin!

Dalam buku How a Cartoon Masterpiece Defined A Generation, jurnalis Kanada Chris Turner, penerima hadiah penulisan jurnalistik tertinggi The President’s Medal for General Excellence 2001, menggunakan pendekatan budaya untuk membedah ”rahasia” keberhasilan Homer anak-beranak dalam membetot perhatian pemirsa televisi dan dampaknya bagi masyarakat, terutama di Amerika Serikat.

Gaya pemberontakan Bart terhadap norma-norma yang lazim berlaku di masyarakat dan pembangkangannya terhadap pihak berwenang, ciri yang dikelompokkan Turner sebagai kaum nihilis, berakar pada dua tokoh fiktif ikonis Tom Sawyer dan Huckleberry Finn yang digabung menjadi satu. ”Sifat-sifat itu juga mengingatkan pada karakter dasar banyak Bapak Bangsa Amerika,” tulisnya.

Turner juga membuat peta psikologis empat tokoh utama yang menjadi pilar keluarga ini: Homer, Marge, Bart, dan Lisa Marie. Si bayi Margaret ”Maggie” Simpson tak mendapat ulasan Turner karena sifatnya yang hanya pelengkap. Homer, dalam pandangan Turner, menunjukkan karakter mau menang sendiri, tiranis, tak begitu cerdas (kecuali untuk urusan bahasa asing), namun selalu dengan senang hati merangkul semua anggota keluarga, meski sering dengan gayanya yang norak (adegan yang kerap menggambarkan hal ini dengan beberapa variasi adalah saat ia mencoba ”bersahabat” dengan Bart dengan cara menyorongkan pipi, yang segera disambut lengkingan Bart, ”Kiss you? But dad, I’m your kid!”)

Bart adalah tipe bocah yang selalu menimbulkan masalah di mana pun ia berada, namun sebenarnya sangat penuh perhatian pada lingkungan sekelilingnya. Lisa, adik Bart, adalah ”calon feminis perusak (junior feminist crusader)”, sedangkan Marge merupakan arketipe ibu-ibu kelas menengah Amerika Serikat yang selalu meminta anggota keluarga agar memperhatikan etika dan moralitas dalam setiap kegiatan mereka. Lewat beragam contoh, Turner sampai pada kesimpulan bahwa The Simpsons sudah mencapai tahapan sebagai sebuah ”institusi kultural” yang sangat berpengaruh bagi sebuah generasi seperti halnya… The Beatles!

Klaim itu mungkin berlebihan, mungkin juga tidak. Pada 1998, Time menabalkan Bart pada peringkat ke-46 dari ”100 Tokoh Paling Berpengaruh di Abad Ke-20”. Tentu saja, si bocah bengal itu adalah satu-satunya tokoh fiktif yang masuk dalam daftar prestisius itu. Empat tahun kemudian, Bart dan Lisa bercokol di peringkat pertama dari ”50 Tokoh Kartun Terbesar Sepanjang Masa” yang dirilis oleh TV Guide.

Sukses spektakuler The Simpsons tak pernah sekalipun muncul di benak penciptanya, Matthew Abram Groening. Saat itu ia berusia 33 tahun ketika dipanggil untuk mengikuti pitching sebuah proyek animasi di kantor produser-sutradara James L. Brook (Terms of Endearment memberinya tiga Grammy pada 1984).

Groening datang dengan segepok karya orisinalnya berupa komik strip Life in Hell yang sudah diterbitkan sebuah mingguan. Namun, sambil menunggu panggilan untuk melakukan presentasi, Groening yang menimbang-nimbang kesulitan untuk pengurusan hak cipta, memilih melakukan jalan pintas yang baru dipikirkannya saat itu: dengan menciptakan tokoh-tokoh dari sebuah keluarga disfungsional dan ”meminjam” nama-nama serta kombinasi karakter dari anggota keluarganya sendiri. Dengan cepat ia membuat sketsa dasar masing-masing tokoh, dan saat presentasi dimulai Groening nyerocos dengan mahir sehingga membuat Brook setuju untuk menjadi produser serial itu.

Klan Simpson akhirnya muncul pertama kali pada 19 April 1987 sebagai sisipan acara The Tracy Ullman Show (juga Brook produsernya). Formatnya masih berupa ”cerita pendek” yang tak sepanjang episode-episode setelah dibuat sebagai serial independen seperti sekarang yang dimulai pada 1989.

Tiga kali pemunculan keluarga eksentrik itu sudah cukup untuk membuat publik Amerika bertekuk lutut. Penyebab pertama, tayangan ini mendobrak semua tabu yang belum dilakukan film televisi sebelumnya, dengan menjadikan seorang anak yang berperilaku menyimpang (delinquent) sebagai protagonis ketimbang sebagai penjahat.

Ketika liputan tentang serial ini makin menggila di bulan-bulan pertama penayangan, kecaman pun mulai berdatangan dari kalangan konservatif yang merasakan Bart tak layak menjadi role model bagi anak-anak mereka. Termasuk di antara para pemrotes keras saat itu adalah Presiden Bush Senior yang berseru, ”Kita harus memperketat nilai-nilai keluarga Amerika dan membuat anak-anak lebih menyukai serial seperti The Waltons (ditayangkan 1972-1981—Red.) ketimbang The Simpsons.”

Tapi para penyuka tontonan ini, terutama para remaja, merasa Bart jauh lebih realistis dan ”hidup” sebagai generasi yang tumbuh di era pasca-Perang Dingin. Para pendukung tayangan ini membalas kampanye Bush dengan mengenakan T-shirt bergambar keluarga Simpson dengan sebagian besar hanya gambar Bart bertulisan Underachiever. (And proud of it, man!) dengan huruf-huruf menyolok.

Dan, selebihnya, seperti kata ungkapan, adalah sejarah. Delapan belas musim tayang dilibas tanpa ampun. Sebuah generasi berjalan dengan caranya sendiri, tak peduli apa kata Pak Presiden. Kalaupun Bart bisa memberikan komentarnya tentang tahun-tahun tersulit pada awal kelahirannya tersebut, paling-paling ia hanya menjawab dengan frase favoritnya yang ketus, tapi membuat kangen penonton, ”Eat my shorts!”

Bocah ini sungguh durjana cilik yang tak tahu malu.

Akmal Nasery Basral

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus