Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Fajar Merah dan Sajak Ayahnya

Fajar Merah meluncurkan album musik Dia Ingin Jadi Peluru yang melagukan larik-larik sajak yang ditulis ayahnya, Wiji Thukul. Meniupkan nyawa pada kata yang sudah berkobar-kobar.

4 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bagaimana Fajar Merah menafsirkan sajak-sajak ayahnya, Wiji Thukul, ke dalam musik?

  • Sajak hampa dengan hanya gitar dan piano.

SEHARUSNYA Fajar Merah merayakan ulang tahun ke-58 ayahnya pada hari itu, 26 Agustus lalu. Namun, kita tahu, Wiji Thukul—sang bapak—tak pernah kembali sejak sekitar seperempat abad lalu. Raib tanpa berita. Yang tertinggal untuk dikenang oleh Fajar, kini 27 tahun, adalah sajak-sajak terserak dari si penyair.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada hari yang seharusnya menjadi peringatan sukacita itu, Fajar mengemas hadiah berupa album musik. Puisi-puisi Wiji menjelma lirik. “Ini adalah penghormatanku sebagai anak terhadap karya bapaknya, yang aku aplikasikan lewat musik,” tutur Fajar dalam acara virtual peluncuran albumnya.

"Momok Hiyong" menjadi lagu yang langsung menohok. Wiji menulis sajak tentang birokrat korup yang ia jelmakan sebagai momok atau hantu-hantu dalam mitologi Jawa itu pada 30 September 1996. Puisi ini termuat dalam antologi Nyanyian Akar Rumput. Oleh Fajar, larik-larik puisi itu diberi iringan ketukan gamelan yang pelan dan terasa mistis. Ketajaman kata-kata Wiji dalam sajak ini dijaga dengan meminta aktor teater Gunawan Maryanto membacakan puisi. Baru menjelang akhir, suara Fajar masuk dan berlagu. Nyanyian Fajar yang berdempetan dengan suara teatrikal Gunawan membuat lagu ini dua kali lipat lebih kuat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Momok hiyong, momok hiyong
Apakah ia abadi
dan tak bisa mati?

Momok hiyong, momok hiyong
Berapa ember lagi darah yang ingin kau minum?

Gunawan Maryanto—aktor Yogyakarta—dengan senang hati membantu Fajar Merah dalam album ini. Gunawan memerankan Wiji Thukul dalam film Istirahatlah Kata-kata pada 2016. Sejak saat itu, ucap Gunawan, tercipta kedekatan khusus antara dirinya dan Fajar. Mereka sering bertemu dan spontan berkolaborasi. Fajar bernyanyi, Gunawan membaca puisi. “Fajar juga sering menginap di rumah saya tiap kali datang ke Yogyakarta,” ucap pentolan Teater Garasi itu. “Sepanjang pandemi, Fajar intens di Yogyakarta untuk merekam album ini.”

"Momok Hiyong" sebenarnya sudah lebih dulu diperdengarkan. Februari lalu, Fajar menggelar konser online atau daring untuk merilis single Puisi untuk Adikdan saat itu dia turut menampilkan lagu “Momok Hiyong”. Fajar mengatakan proyek album ini dipicu kebosanan karena pandemi yang tak kunjung usai. Selain itu, inilah caranya mengingatkan. “Ini memang harus dilakukan untuk mengingatkan pemerintah sekarang bahwa dulu pernah ada tragedi seniman harus diburu dan hilang hanya karena sebuah karya,” ucap putra Wiji dan Siti Dyah Sujirah ini.

Ada delapan lagu di dalam album berjudul Dia Ingin Jadi Peluru (Tribute to Wiji Thukul) ini. Enam di antaranya diaransemen sendiri oleh Fajar, sementara yang lainnya diaransemen oleh Adi Tius dan Dialog Dini Hari. Judul album penuh pertama Fajar itu tak lain merujuk pada salah satu buku kumpulan puisi Wiji, Aku Ingin Jadi Peluru. Dengan mengganti subyek di awal judul, Fajar memastikan bahwa kata-kata yang berdering lantang itu tetap milik Wiji.

Dia Ingin Jadi Peluru (Tribute to Wiji Thukul)

Dalam proses pengalihan sajak-sajak Wiji menjadi lagu, Fajar berupaya agar kesan puisi ayahnya tetap kentara. “Hal yang paling menarik adalah membuat iringan musik yang mampu mewakili latar belakang puisi tersebut agar pendengar lagu dapat merasa seperti berada di dalam situasi saat puisi ditulis,” kata Fajar.

Instrumen pengiring untuk tiap lagu sederhana saja untuk menonjolkan suara mentah Fajar. Sebagian besar adalah gitar atau piano, lalu penebal warna seperti gamelan yang dimainkan kelompok Artaxiad. Dalam acara peluncuran, Fajar memainkan sendiri sebagian besar lagu hanya dengan iringan gitar akustik.

Nuansa kehampaan yang lamat-lamat menjadi kemarahan muncul dalam “Sajak Suara”. Suara Fajar meninggi saat mengimbau perlawanan.

Dia ingin bicara
Mengapa kau kokang senjata
Dan gemetar ketika suara-suara itu menuntut keadilan?
Suara-suara itu
Tak bisa dipenjarakan
Di sana bersemayam kemerdekaan
Dan apabila engkau tetap memaksa diam
Kan kusiapkan untukmu: pemberontakan!

Keputusasaan terpendam yang sama juga mengemuka dalam “Aku Dilahirkan di Sebuah Pesta yang Tak Pernah Selesai”.  

aku dilahirkan di sebuah pesta yang tak pernah selesai
selalu saja ada yang datang dan pergi hingga hari ini 

ada bunga putih dan ungu dekat jendela
di mana mereka dapat

memandang dan merasakan kesedihan
dan kebahagiaan tak ada menjadi miliknya 

Larik terakhir sajak itu dilagukan berulang-ulang oleh Fajar. Lagi dan lagi.

Tuhanku, aku terluka di dalam keindahanmu
Tuhanku, aku terluka dalam keindahanmu
Dalam keindahanmu
aku terluka dalam keindahanmu Tuhan
aku terluka... 

Keriangan sedikit terdengar dalam lagu “Kucing, Ikan Asin dan Aku”. Ini adalah sajak penuh ironi tentang kemiskinan dan kelaparan tak terperi, tapi si penderita masih menyisakan ruang untuk berbagi. Petikan gitar yang mengingatkan pada musik rock n roll 1980-an mengiringi kisah tentang:

Seekor kucing kurus
Menggondol ikan asin
Laukku untuk siang ini
Aku meloncat
Kuraih pisau
Biar kubacok dia
Biar mampus! 

Satu lagu berasal dari puisi yang ditulis Wiji agak lama. Sajak “Semenjak Aku Berkenalan denganmudibuat Wiji di Solo, Jawa Tengah, pada akhir November 1983. Sementara puisi-puisi revolusinya penuh gebu, sajak ini adalah renungan personal tentang relasi dengan Tuhan.

semenjak aku berkenalan dengan-Mu
inilah yang kukerjakan
mengutungi lengan dan kaki
yang tumbuh di umur sekujur 

Tatkala dinyanyikan Fajar bersama denting piano yang sendu, larik-larik puisi itu terdengar seperti jeritan rindu yang menyayat. Dari anak yang tak dapat lagi menjumpai bapaknya.

Lengan dan kakiku selalu tumbuh
Sedang untuk memelukmu tak perlu jari ini 

Seribu lenganku
Seribu kakiku
Menjauhkanku padamu

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus