Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Canaletto Dipuja, Keliki (Jangan) Dilupa

Lukisan mini karya Canaletto yang berukuran sejengkal tangan berharga miliaran rupiah. Di Indonesia, lukisan berukuran kecil kurang diperhatikan.

4 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Lukisan mini diburu dan mahal.

  • Indonesia punya lukisan keliki.

  • Mengapa harganya bisa mahal?

KECIL-KECIL cabai rawit, cabai mungil pedasnya menggigit. Itu komentar yang cocok untuk isi pengumuman lelang yang dilakukan oleh Gorringe’s Auction House pada Kamis, 19 Agustus lalu. Betapa tidak. Lelang di Kota Lewes, Inggris, itu bakal melego lukisan Canaletto yang hanya berukuran 28 x 22 sentimeter dengan harga awal 150 ribu pound sterling (sekitar Rp 2,90 miliar). Karya berharga amat tinggi tersebut berjudul The Dogana from The Bacino, San Marco. Diperkirakan buatan 1765.

Tingginya estimasi harga awal yang disampaikan tim kurator masuk akal lantaran memang didukung oleh beberapa aspek menarik. Sebagai lukisan realis-klasik, The Dogana from The Bacino, San Marco menyimpan pesona bagi mata. Keterampilan tangan Canaletto—yang bernama lengkap Giovanni Antonio Canal—melahirkan sunggingan detail. Sementara itu, ketajaman penglihatannya menghasilkan presisi analitis yang menakjubkan. Di kanvasnya, Canaletto mengekspos sebuah bangunan pabean tua yang sedang tertumbur cahaya matahari menjelang senja. Tumburan itu menghasilkan impresi emas pada dinding arsitektur yang berposisi di tepian laguna. Lantaran cahaya itu digambarkan datang dari arah kanan, bagian kiri bangunan segera saja menawarkan warna gelap. Ini adalah kontras yang menyiratkan kesan dramatik.

Meskipun Canaletto (kelahiran Venesia, Italia, pada 1697) menciptakan banyak lukisan berukuran semeteran, setelah meninggal pada 1768 ia dilegendakan sebagai pencipta lukisan mini yang hebat. Hal itu pada kurun kemudian menstimulasi minat beberapa institusi untuk menghimpun “semua” lukisan mini Canaletto. Museum Ca’Rezzonnico di Venesia salah satunya. Tapi sebagian besar lukisan mininya sudah tak diketahui rimbanya. Bersamaan dengan itu, karya mini seniman ini jadi buruan berbagai biro lelang di Eropa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kerinduan para kolektor atas lukisan Canaletto yang berukuran sejengkalan tangan terus berlangsung dari waktu ke waktu,” kata Philip Taylor, Managing Partner Gorringe’s.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lukisan Keliki karya I Ketut Sana yang berukuran 18 x 12. Agus Dermawan T

Kisah lukisan mini Canaletto pada ujungnya mengajak kita berpikir bahwa lukisan berukuran kecil pun sesungguhnya memiliki kekuatan besar. Sementara itu, kita tahu pada tiga dasawarsa terakhir masyarakat seni rupa di Asia, termasuk Indonesia, begitu terbius karya seni yang berukuran besar, bahkan sangat besar. Apalagi ketika wacana seni lukis kontemporer Tiongkok diam-diam mengesahkan anggapan bahwa karya seni yang gigantik lebih memiliki vibrasi sensasi.

Dari sini saya jadi teringat pada lukisan mini mazhab Keliki, Ubud, Bali. Menyedihkan, lukisan mini Keliki yang menakjubkan craftmanship dan detailnya ini tidak pernah punya tempat di berbagai museum besar di Indonesia. Bahkan di Bali sendiri, tanah airnya. Padahal lukisan di atas kertas itu sungguhlah unik dan mencengangkan. Bayangkan, di atas bidang yang hanya berukuran 5-30 sentimeter bisa tergambar sangat banyak figur, disertai renik alam lingkungan. Lukisan-lukisan itu diciptakan dengan pena, kuas, atau penelak (bambu yang diruncingkan) di atas kertas. Butir-butir padi digubah volumetris dalam ukuran seperempat milimeter. Mata barong tampak bersinar walau digambar sebesar dua kali penampang rambut. Daun-daun perdu dipresentasikan sehalus kutu!

Pelopor seni lukis mini ini adalah I Ketut Sana, seorang buruh tani di Dusun Keliki Kawan, Desa Payangan, Ubud. Pada 1970, Sana berkenalan dengan maestro I Gusti Nyoman Lempad. Dari sini tumbuh minatnya untuk melukis. Sana lalu belajar kepada I Gusti Nyoman Sudara, putra Lempad. Saat pulang ke dusunnya, Sana membawa sobekan-sobekan kertas sisa dari Sudara, yang lebarnya sekitar separuh jengkal tangan. Di atas sobekan kertas itulah ia membuat lukisan. Karya-karya Sana ternyata bagus dan bisa dijual di kios pasar Ubud dengan harga lumayan sekali—bisa untuk makan dua hari.

Wawasan visual Sana makin berkembang tatkala ia mendapat pekerjaan di art shop Dewata, Desa Batuan. Di sini ia bersua dengan lukisan I Wayan Rajin yang ngerumit dan sebagian besar berukuran kecil. Sana segera saja “mencuri” spirit Rajin. Perjumpaan dan “pencurian” itu menguatkan konsep Sana untuk mentradisikan lukisan dalam ukuran kecil. Sementara itu, dalam corak, gaya Ubud dan Batuan ia “curi” untuk kemudian diasimilasikan.

Dengan potensi itu Sana lalu terus melukis sambil mengajarkan seninya kepada penduduk Dusun Keliki. Menjelang 1980, Keliki sudah menjadi “dusun lukisan mini”. Puluhan anak dan remaja yang tadinya buruh tani segera beralih menjadi pencipta lukisan mini. Lantaran mengandalkan detail, mereka bekerja di teras rumah pada pagi hari sampai menjelang sore, di bawah terang matahari. Lukisan mini pun menjadi aliran besar dengan dihiasi berderet tokoh, seperti I Made Astawa, I Made Ocen, dan I Wayan Lanus. Ketika lukisan para muridnya seru terjual, karya Sana yang berukuran 20 sentimeter sudah berharga jutaan rupiah.

Aktivitas pelukis Keliki, di Keliki, Ubud, Bali. Agus Dermawan T

Pada 1993 saya menunjukkan lukisan Keliki kreasi I Made Jongko kepada kurator biro lelang Christie’s Belanda dan Singapura. Mereka curiga bahwa lukisan berukuran 11 x 13 sentimeter itu merupakan reproduksi pengecilan dari lukisan besar. Mereka meminta izin untuk mengeluarkan lukisan tersebut dari piguranya. Setelah mengamati sejenak, kurator Joop Ubbens terentak. “Ketelatenannya tak masuk akal. Seni lukis Keliki adalah bagian yang paling ajaib dalam dunia seni lukis Bali!” Ia lantas menyetarakan pesona lukisan Keliki dengan lukisan mini Jose Jimenez Aranda dan Canaletto pada abad ke-18. Nah!

Popularitas si mini Keliki serta-merta diketahui pencinta seni mancanegara yang datang ke Bali. Dan sejak menjelang 2000, promotor seni dari Eropa dan Amerika membawa ratusan lukisan Keliki ke negerinya untuk dipamerkan secara berkala. “Lukisan saya dan lukisan Keliki lain pernah dipamerkan di Paris, dan habis dibeli tamu dalam dua jam pertama. Hari-hari selanjutnya tinggal pertunjukannya saja,” ujar I Wayan Surana, asal Banjar Bangkiangsidem, yang juga berprofesi guru biologi.

Seni lukis Keliki mulai dikenal masyarakat Jakarta setelah Kupu-kupu Art Project memamerkannya di gedung Center of Strategic and International Studies di Jakarta pada April 2008. Untuk menyimak detail, di ruang pameran disediakan kaca pembesar. Di sini karya seniman Keliki oleh majalah Tempo dikomentari sebagai “kreasi tangan dewa”. Kolektor pun berebut. Namun setelah itu promotor luar negeri kembali datang menyerbu. Para pelukis Keliki pun dikontrak untuk berpameran di berbagai negara. Bukan di Indonesia.

Di sisi lain, ribuan lukisan kecil dari mazhab modern juga sering luput dari perhatian masyarakat seni Indonesia. Walaupun demikian, Galeri Edwin, Jakarta, pernah mengingatkannya lewat serial pameran “Kecil itu Indah”. Begitu juga kurator Didier Hamel, pengelola Duta Fine Arts Foundation, Jakarta, yang menggagas museum lukisan kecil. Didier mengumpulkan amat banyak lukisan mini (easel painting) yang diciptakan sejak era Hindia Belanda. Namun, belum sempat museum itu populer, tren lukisan kontemporer yang gigantik menerjang. Lukisan mini, lagi-lagi, hilang dari horizon pandang!

Untung pada minggu-minggu ini lukisan mungil Canaletto mengingatkan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus