Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Senopati dan SCBD menawarkan tempat party yang memiliki karakter pengunjung, musik, dan suasana berbeda.
Wisatawan Bali mulai membidik kawasan Canggu yang memiliki pemandangan bagus dengan harga lebih murah.
Anak muda Yogya mulai meninggalkan pusat kota menuju kawasan Sleman yang memiliki banyak kafe dan resto kekinian.
ADA Senopati ada Senoparty. Jangan keliru. Ini julukan baru bagi kawasan Senopati di Jakarta Selatan yang menjadi tempat kongkow baru anak muda dalam lima tahun terakhir. Selepas pandemi, kawasan ini menjadi tempat party yang asik. Banyak bar-bar asik untuk nongkrong malam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti malam itu, seorang valet berseragam hitam langsung bergegas menghampiri dan menawarkan jasa parkir kepada pengunjung yang membawa mobil ke The Cocktail Club, salah satu bar di kawasan Senopati, Jakarta Selatan. Ia berupaya mencegah kendaraan pengunjung yang berhenti menambah kemacetan yang selalu terjadi di sepanjang Jalan Gunawarman-Senopati-Suryo tiap akhir pekan. Polisi lalu lintas dan petugas Dinas Perhubungan juga tampak di beberapa sudut untuk memecah kepadatan lalu lintas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengunjung itu adalah Vinni Octaviany Utami, 28 tahun, yang datang bersama empat temannya pada Jumat, 5 Agustus lalu, sekitar pukul 22.00 WIB. Vinni dan teman-temannya masuk melalui lorong yang mengarah ke tangga menuju lokasi klub di lantai 2. Mereka langsung disambut lantunan musik akhir 1990-an yang dimainkan seorang disc jockey atau DJ di salah satu sudut ruangan.
The Cocktail Club sudah ramai dengan pengunjung yang didominasi orang-orang berpakaian kerja seusai jam kantor. Semua kursi dan meja pun telah penuh oleh pengunjung yang memesannya. Vinni mengatakan memang jarang memesan meja. Dia lebih sering walk in alias datang langsung sehingga bisa menikmati minuman di meja bar atau dekat bingkai jendela.
“Walaupun walk in, kami pasti diperbolehkan masuk karena sudah sering ke sini. Satu pekan itu bisa sampai tiga hari ke The Cocktail Club. Pegawainya sudah hafal,” kata finalis ajang Abang None 2015 tersebut kepada Tempo, Jumat, 5 Agustus lalu.
Vinni Octaviany Utami/Dok Pribadi
Malam itu, Vinni masih mengenakan pakaian kerjanya berupa kemeja dan celana berwarna hitam dengan sepatu heels setinggi 5 sentimeter. Dia baru saja meninggalkan kantornya di gedung Pacific Place, Sudirman Central Business District (SCBD), Jakarta Selatan, sekitar pukul 8 malam. Dia kemudian memacu kendaraannya menuju rumah sahabatnya di kawasan Brawijaya yang selalu menjadi titik kumpul sebelum nongkrong di tempat gaul di Senopati.
Vinni mengatakan kerap mengunjungi Cocktail Club karena klub ini memiliki desain dan konsep bar yang nyaman dan homey—seperti rumah sendiri. Dia juga merasa lebih cocok dengan penampilan live music dan DJ di bar yang berdiri pada akhir 2021 itu karena tak terlalu keras dan berisik. Tempat hiburan ini juga menyajikan suasana dan penampilan yang eksklusif.
“DJ di sini tak hanya main. Dia memutar lagu sesuai dengan profil pengunjung yang datang. Makin malam, nanti akan makin naik ritmenya,” ujar Vinni, yang memesan dirty M—racikan martini dengan buah zaitun.
Selain di Cocktail Club, Vinni sering berkumpul dengan rekannya di sejumlah bar di SCBD dan Senopati. Di antaranya Roma Osteria and Bar, Nara Resto and Lounge, Potato Head Garage, Beer Garden, dan Beer Hall. Dia kerap menghabiskan waktu bersama rekannya sejak jam pulang kerja hingga pukul 12 malam atau 1 dinihari. Biasanya, gaya pergaulannya ini bisa menghabiskan dana Rp 800 ribu-1 juta per malam.
“Awalnya itu ke SCBD sekitar 2014-2015. Sekarang bisa tiga-empat kali hangout setiap minggu,” tutur mantan model yang berdomisili di Menteng, Jakarta Pusat, ini.
Maria Anneke, 33 tahun, juga mengatakan pertama kali mengikuti acara party di kawasan SCBD dan Senayan. Usianya kala itu 16 tahun. Dia awalnya sering datang ke Equinox Club, Plaza Senayan; dan Lucy in the Sky, SCBD. Kegiatan ini lantas makin rutin ia lakukan karena lokasinya dekat dengan tempatnya kuliah, London School of Public Relations, Karet Tengsin, Jakarta Pusat.
Anneke baru melirik sejumlah bar dan klub kecil yang tumbuh di kawasan Senopati dan sekitarnya lima-enam tahun lalu. Di antaranya Zodiac Space and Bar dan Duck Down Bar. “Live music-nya enak. DJ-nya juga main serius. Aransemen musiknya cocok,” ucap Anneke.
Anneke mengungkapkan, sebelumnya dia mendatangi sejumlah bar dan klub di kawasan lain, seperti Kemang, Jakarta Selatan. Terutama saat dia bekerja sebagai account executive yang bertugas mencari dan menjalin kerja sama dengan klien. Menurut dia, tempat gaul di Senopati dan SCBD memiliki atmosfer yang lebih nyaman bagi pengunjung. “Di Kemang itu entah bagaimana kurang oke. Aransemen musiknya kuno. Beberapa tempatnya juga kurang bersih,” ujarnya.
Sedangkan tempat nongkrong di Senopati dan sekitarnya justru berlomba mengusung interior dan eksterior yang memberi kenyamanan. Mereka menawarkan desain yang memanjakan mata dan Instagram-able. Hal ini membangun hype bagi para pengunjung, terutama kelompok anak muda.
Namun, Anneke menambahkan, belakangan ia jarang menghabiskan waktu dengan party di klub dan bar. Pertambahan usia membuatnya menjadikan tempat nongkrong itu sebagai lokasi menjalin relasi dan komunikasi dengan rekannya. Hal ini berbeda dengan saat dia bisa pergi dansa setiap dua hari hingga akhir usia 20-an tahun.
Meski demikian, dia mengaku tak pernah mengeluarkan uang untuk membeli minuman atau makanan di tempat hiburan tersebut. “Ada masa pergi dengan pacar. Kadang juga ada teman pria yang mentraktir. Atau ada saja orang yang tiba-tiba membelikan minum,” katanya.
Alvian Cahya, 27 tahun, yang kerap gaul di Senopati, mengatakan bisa pergi ke restoran, bar, dan klub di kawasan itu hingga tiga kali dalam satu pekan. Dia biasa nongkrong di The Brotherhood. Dia memilih Senopati karena kawasan itu menawarkan warna musik yang berbeda dengan tempat hiburan lain. Meski tiap bar mengusung aliran musik tertentu, semuanya memiliki aransemen dan sound system berkualitas tinggi.
“Lebih cocok dengan telinga kekinian. Bass berasa banget. Enak dibuat goyang. Benar-benar melepas penat,” tutur warga Depok, Jawa Barat, yang biasa menghabiskan uang Rp 400-500 ribu per malam ini.
CEO Zodiac, Michael Killian, Jakarta Selatan. Kamis, 4 Agustus 2022/TEMPO/ Febri Angga Palguna
Profil pengunjung bar dan klub di Senopati ternyata juga turut mempengaruhi pertumbuhan tren party. Shafinaz Nachiar, 26 tahun, mengatakan sejumlah kawasan hiburan di Jakarta memiliki profil pengunjung yang sangat beragam dari sisi pekerjaan, status sosial, dan ekonomi. Hal ini tampak dari gaya penampilan, perilaku selama party, juga potensi terjadinya perkelahian. Sebagian besar pengunjung kawasan Senopati, kata dia, berasal dari kelompok pekerja dan masyarakat kelas menengah ke atas.
“Harga makanan dan minuman juga mahal sehingga pelajar atau mahasiswa jarang. Kalaupun ada, pasti mereka dari keluarga ekonomi tinggi,” ujarnya.
Dia biasa berkumpul dengan enam sahabatnya di Beer Hall, Beer Garden, G101, Lucy in the Sky, dan Duck Down Bar. Para pengunjung tempat hiburan ini pun tak pasti dalam kondisi mabuk seusai acara. Banyak pengunjung yang datang untuk sekadar berkumpul dan berbagi cerita dengan rekan-rekan mereka.
“Saya juga sebenarnya social drinker, minum alkohol karena bersama teman-teman saja,” ucap perempuan yang biasa menghabiskan uang Rp 300-400 ribu per malam tersebut.
•••
KAWASAN Senopati berkembang menjadi lokasi hiburan malam dalam lima tahun terakhir. Popularitasnya di media sosial turut melahirkan sebutan yang sangat catchy: Senoparty. Senoparty adalah rujukan tiga jalan utama, Gunawarman-Senopati-Suryo, yang hanya berisi restoran dan kafe. Sejumlah klub dan bar lahir dan menjadi destinasi party baru di Jakarta.
Salah satunya Zodiac Space and Bar yang berdiri di sebuah bekas area parkir rumah pada Desember 2018. Bar ikonik Senopati ini nyaris tak pernah sepi sepanjang hari operasional, Senin-Sabtu. Mereka pun rutin menggelar acara khusus berkolaborasi dengan sejumlah jenama lokal.
Michael Killian, 39 tahun, co-founder Zodiac, mengaku tak menyangka dunia hiburan malam di Senopati bisa berkembang begitu masif. Dia bersama beberapa rekannya memilih Senopati semata karena kawasan ini dekat dengan SCBD dan memiliki akses yang mudah dari berbagai wilayah di Jakarta Selatan. Sejak awal dia pun tak memiliki ekspektasi tinggi karena barnya mengusung musik kolektif beraliran disko dengan pasar yang tersegmen.
“Senopati sudah bukan lagi jalan, ini sudah menjadi distrik atau kawasan,” kata pemilik usaha Pizza Dealer dan Slits Bar tersebut.
Menurut dia, Zodiac, yang hanya berkapasitas 50 orang, nyaris selalu penuh. Dia mengklaim pengunjung bar tersebut bukan hanya orang-orang dari kelompok usia milenial atau akhir 20-an hingga 30-an tahun. Tempat hiburan ini selalu didatangi pengunjung baru dengan usia sangat muda. Beberapa di antaranya merasa cocok dan menjadi pelanggan reguler. Beberapa lainnya sekadar mencoba karena bar dengan meja mixer vintage ini kerap viral di media sosial. “Bahkan ada pengunjung yang hampir setiap hari datang. Mukanya kan saya kenali,” ujar Michael.
Dia menilai fenomena Senoparty akan terus berkembang karena merupakan gerakan organik anak muda yang mencari dan memilih tempat gaul. Popularitas kawasan ini pun berkembang dari percakapan dan media sosial. Menurut dia, setiap kota besar pasti memiliki satu atau beberapa area hiburan malam yang belum tentu saling menghilangkan. “Pasarnya beda. Pertumbuhan usaha di Senopati juga cepat. Selalu ada tempat baru,” ucap Michael.
•••
PERTUMBUHAN distrik gaul baru juga terjadi di sejumlah daerah lain, seperti Bali dan Yogyakarta. Pusat party Pulau Dewata bukan lagi hanya Kuta, Ubud, dan Seminyak. Sejumlah wisatawan mancanegara dan lokal mulai melirik kawasan baru di barat Kuta, yaitu Canggu.
Geliat wisata kuliner dan hiburan di kawasan Kuta memang belum pulih total setelah dihajar pandemi Covid-19 selama dua tahun. Sejumlah kios dan restoran masih tutup. Meski areanya ramai, dentuman musik disko yang biasa menggema di setiap sudut kawasan tersebut masih sangat langka terdengar.
Situasi berbeda didapati saat wisatawan memasuki kawasan Canggu. Hampir semua kafe dan restoran di kawasan tersebut telah beroperasi dan dipadati pengunjung. Sejumlah turis juga terlihat lalu-lalang dengan berjalan kaki atau mengendarai sepeda motor sewaan. Canggu, sebagai destinasi alternatif, mulai mendominasi okupansi kebutuhan hiburan dan pesta turis di Bali. “Mulai ramai sekitar 2018. Ketika pandemi pun Canggu tak pernah sepi seperti Kuta,” kata Fitri, salah satu pegawai Cafe Beer Cave di kawasan tersebut.
Wisatawan menikmati suasana dan bir di Cafe Beer Cave di Jalan Raya Pantai Batu Bolong, Canggu, Bali 26 Juli 2022/TEMPO/Made Argawa.
Keberadaan beberapa bar dan klub di kawasan ini turut memicu pertumbuhan jumlah pengunjung. Salah satunya bar besar yang viral dengan nama Holywings. Setelah terjadi sejumlah polemik, bar ini mengganti namanya menjadi Atlas Beach Fest dan tetap ramai dikunjungi di Canggu.
“Saat ini memang lebih asyik nongkrong di sini (Canggu),” tutur Fredy Hutabarat, 38 tahun, turis asal Medan yang sebenarnya menginap di kawasan Kuta.
Anna, 23 tahun, pengunjung asal Amerika Serikat, mengatakan salah satu keunggulan Canggu adalah harga sewa tempat tinggal dan makanan yang lebih murah daripada kawasan wisata Bali lain. Resto dan kafe di distrik gaul baru ini juga menyediakan banyak menu makanan Barat. “Pilihannya banyak. Nikmat di sini,” katanya.
Lokasi nongkrong anak muda Yogyakarta pun mulai bergeser ke sisi utara, yakni Sleman dan sekitarnya. Di antaranya kawasan Condongcatur dan Sindudadi yang menjadi lokasi favorit kelompok mahasiswa dan pekerja muda untuk berkumpul bersama.
Selain menyajikan suasana baru, sejumlah kafe dan resto di area ini mematok harga makanan dan minuman yang terjangkau. “Satu kali nongkrong paling habis Rp 50 ribu per orang,” ucap Putri Ayas, 21 tahun, pengunjung Kaktus Coffee Place.
Deddy Heriyanto, pengelola Sirkel de Koffie, mengatakan mereka memang menyasar anak muda sebagai pasar utama karena lokasi tempat usaha itu dekat dengan sejumlah universitas negeri dan swasta. Hal ini juga yang membuat mereka kemudian membangun interior kafe dan resto dengan konsep kekinian, seperti coworking space. Menu yang disajikan juga kegemaran anak muda, seperti kopi, salad, serta makanan ringan.
Sirkel de Koffie di kawasan Sinduadi, Sleman, Yogyakarta, 16 Juli 2022/TEMPO/Shinta Maharani
Seperti Senoparty di Senopati, menurut Deddy, perkembangan jumlah pengunjung dan kafe di kawasan Sleman dipicu media sosial. Bahkan direktur sebuah koperasi ini menyewa tim ahli media sosial untuk menggencarkan promosi kafenya di kelompok anak muda. Saat ini jumlah pengunjung yang menghabiskan waktu di lokasi usahanya mencapai 40-80 orang. “Anak-anak muda dari kalangan kelas menengah yang tersebar di berbagai kampus menjadikan kafe sebagai tongkrongan favorit,” katanya.
MADE ARGAWA (BALI), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo