THE YELLOW LADY,AUSTRALIAN IMPRESSIONS OF ASIA Penulis: Alison Broinowski Pengantar: Jamie Mackie Penerbit: Oxford University Press,1992, 260 halaman "APAKAH kita bagian dari Asia? Apakah kita mau menjadi bagian dari Asia?" Hal ini menjadi pertanyaan yang sedang ngetop di Australia saat ini. Alison Broinowski, dalam bukunya The Yellow Lady, Australian Impressions of Asia, mencoba membeberkan mengapa kedua pertanyaan itu sering menghantui benak orang Australia, mau menjadi bagian Asia atau Eropa (terutama Inggris). Australia memang tak pernah berperang untuk kemerdekaannya. Namun, ternyata negeri ini tak hentihentinya berperang dengan bangsa lain. Semua perangnya "atas pesanan" Inggris, negara persemakmuran lain, atau Amerika Serikat. Perang yang dianggapnya benar-benar untuk membela diri hanya dengan bangsa Asia. Memang, gambaran bahwa Asia sebagai musuh sudah lama menggores hati mereka. Asia dianggap sebagai merupakan sebuah wilayah yang mengancam dan berbahaya bagi Benua Kanguru itu. Para pemimpin mereka seperti John Latham (1934) dan Robert Menzies (1939) menggambarkan Asia sebagai ancaman dari "tanah utara yang dekat". Australia sendiri digambarkan sebagai nirwana, yang menganga terhadap bahaya dari utara, seperti tenaga kerja murah, kaum kafir, dan komunis. Image ini tertanam dan menjadi sikap resmi sampai akhir 1960-an. Pada awal 1970-an, sikap resmi -- paling tidak pemerintahnya -- mulai bergeser. Perdana Menteri Gough Whitlam menyatakan bahwa Australia tak perlu takut dengan musuh dari Asia itu. Namun, apakah sikap masyarakat luas dapat diubah begitu cepat? Untuk itulah Broinowski mencoba meneropongnya lewat karya seni, baik seni lukis, pahat, teater, maupun karya sastra. Metode ini digunakan bukan tanpa alasan. Justru lewat karya seni ini ia berkeyakinan bisa menangkap sikap murni bawah sadar para penciptanya. Musuh dari Asia yang mereka ungkap pada karya seni paling dini adalah orang Cina dan Jepang. Ketika orang putih Australia lagi berbangga dengan ke"putih"annya sekitar tahun 1850-an, orang-orang Cina sudah membanjiri tambang emas di Ballarat, Victoria. Industrialisasi Jepang dan kemenangannya atas Rusia di Shimonoseki pada 1905 membuat orang Australia waswas. Pada 1913, dalam film Australia Memanggil, Raymond Longford memperingatkan rakyat agar waspada terhadap "bahaya kuning". Dalam film itu digambarkan orang-orang Cina yang dibantai orang kulit putih Australia dan Aborigin. Hal sama ditampilkan film Lahirnya Australia Putih lima belas tahun kemudian. Ketakutan ini rupanya erat kaitannya dengan kukuhnya hubungan Australia dan Inggris serta AS. Tapi ketakutan akan Asia itu juga membuat Australia menarik Inggris dan AS. Untuk itu, Australia harus "bersih" dari warna kulit. Karyakarya fiksi pada era itu penuh kecurigaan dan ketakutan pada Asia. Ini terlihat pada juduljudul novel seperti Gelombang Kuning, Kuning dan Putih, LakiLaki Kuning. Norman Lindsay, pelukis terkenal saat itu, mengabadikannya dengan lukisan Wanita Kuning (The Yellow Lady). Fiksi "penyerbuan kuning", baik Cina, Jepang, maupun orang berkulit cokelat, membanjiri pasaran buku cerita. Namun, mata dan hati para seniman pun kemudian semakin terbuka. Ada seniman yang berkelana di berbagai negara Asia dan Pasifik. Sepanjang abad ke-20, karya para komponis Australia banyak dipengaruhi musik Jepang, Cina, negara-negara Pasifik, dan Indonesia. Gamelan dan angklung menyusup ke dalam musik-musik Australia. Pelukis, penulis, dan pemahat Norman Lindsay, selain melukis Wanita Kuning juga memahat Penari Bali, walau pose duduknya lebih mengesankan bergaya Eropa ketimbang Bali. Tatkala para seniman mencoba menyeberangi jurang AustraliawAsia, mereka dianggap berlaku aneh. Sampai tahun 1950-an, mereka yang mengagumi budaya Asia Tenggara dan Pasifik dinilai telah kehilangan akal sehatnya. Untuk menunjukkan keindahan perpaduan antara seni Barat dan Timur, Broinowski menampilkan beberapa karya yang berunsur Asia sejak 1970-an. Robert Drewe dengan A Cry in the Jungle Barnya (Filipina), Bruce Grant dengan Chery Bloom (di Singapura), Blanche d'Alpuget dengan Monkeys in the Dark (Indonesia), dan Turtle Beach (Malaysia) memasukkan tokoh-tokoh Asia dalam suasana lokal. Dalam dua dasawarsa terakhir, sudah ada beberapa pengarang Asia yang menulis cerita dengan membawa kebudayaannya ke Australia. Mereka antara lain Brian Castro (keturunan Portugis, Cina, dan Inggris yang lahir di Hong Kong), Achdiat K. Mihardja, Idrus, Dewi Anggraeni (Indonesia), dan Yasmine Gooneratne (Sri Lanka). Alison Broinowski menyiapkan dan meriset The Yellow Lady selama betahun-tahun, sambil mengamati berbagai karya seni yang muncul di Australia. Sebagai diplomat, dan sekarang Direktur Wilayah Victoria dari Departemen Luar Negeri dan Perdagangan, Broinowski mempunyai kedudukan ideal untuk mendapatkan perspektif yang seluasluasnya. Keberaniannya untuk menelanjangi psike rakyat Australia dan senimanseniman yang terpandang di negeri ini telah melahirkan sebuah buku yang bukan saja enak dibaca, tapi juga mendidik. Suatu ritual yang sangat perlu, bagi siapa saja yang merasa tak rasialis. Dewi Anggraeni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini