SEKOLAH tua tersebut tampaknya biasa saja seperti gedung-gedung sekolah lain di Dili. Tampak tinggi, berlantai dua, di atas tanah seluas enam ratus meter persegi, dengan warna arsitektur Portugal yang terasa dominan. Namun, masyarakat di sekitar Jalan Liceu, tempat sekolah itu berdiri, mempunyai sebutan khas. Sejak Oktober tahun lalu, gedung yang tadinya digunakan oleh SPS Negeri itu dijuluki SMA Pintar. Sebutan itu tak mengada-ada. Ini adalah sekolah khusus putra asli TimTim yang dianggap terbaik. Murid yang bersekolah di SMA Putra Tama, demikian nama resmi sekolah itu, adalah 45 murid terbaik yang diseleksi dari 13 kabupaten di Timor Timur. Murid-murid yang direkrut adalah anak kelas dua yang hendak naik ke kelas tiga. Seandainya peringkat terbaik bukan anak asli TimTim, yang diambil adalah putra daerah yang ada di bawahnya. Para murid kelas dua ini kemudian digabung ke dalam sebuah "kelas tiga bersama" dua semester lamanya. Memang, SMA Putra Tama sebenarnya bukanlah sebuah SMA dalam arti sesungguhnya. Sekolah ini hanya menyediakan kelas tiga dan bukanlah sebuah lembaga sekolah yang mandiri. Putra Tama hanya mendidik dan tak menerbitkan ijazah sendiri. Menjelang ujian akhir SMA, ke45 murid tadi dikembalikan ke sekolah asalnya. Kepala sekolah tak dikenal di sini. Yang ada hanyalah seorang koordinator yang sekarang dijabat oleh Sukardi, kepala Seksi Kurikulum di Kantor Wilayah P dan K Tim-Tim. Sekalipun demikian, fasilitas untuk murid-murid terbaik ini amat hebat untuk ukuran Dili. Asrama, sekalipun seadanya karena menggunakan tiga ruang kelas yang diubah menjadi kamar tidur, dilengkapi dengan almari dan meja belajar untuk tiap siswa. Makan tiga kali, plus penganan kecil yang juga tiga kali. Buku, sepatu, sampai seragam, mereka tinggal memakai, uang saku Rp 15.000 sebulan. Jalannya pelajaran mungkin bisa disamakan dengan sekolah-sekolah hebat yang ada di film-film televisi. Susunan tempat duduk dibuat seperti huruf U, sehingga murid bisa aktif berdiskusi. Itu masih dilengkapi video yang digunakan untuk memutar bahan pelajaran. Untuk pelajaran penting yang akan diuji secara nasional atau Ebtanas, masih diberikan les tambahan. Sedangkan gurunya adalah mereka yang dianggap terbaik di Tim-Tim. Sebagai imbangan fasilitas terbaik tadi, para siswa belajar dalam disiplin yang ketat. Setiap pagi ada apel mengerek bendera. Sore hari pun demikian, untuk penurunan bendera. Pukul sembilan malam, sebelum naik ke tempat tidur, sekali lagi ada apel. Para siswa juga diminta belajar kesamaptaan, sebuah pelajaran rasa kebangsaan yang biasa diajarkan di kalangan ABRI. Tentu saja itu tak murah. Setiap tahun, Pemerintah Daerah Tim-Tim mengeluarkan uang Rp 100 juta, yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dana sebesar itu, menurut Gubernur Carrascalao, tidaklah siasia. "Supaya putra daerah Tim-Tim lebih siap masuk perguruan tinggi," katanya. Ia lantas membandingkan dengan kondisi pada zaman Portugal dulu, ketika jumlah sarjana di seluruh Tim-Tim hanya tercatat 10 orang. Saat ini, kondisi sudah jauh membaik. Lulusan perguruan tinggi di Tim-Tim, dalam catatan Departemen P dan K, sudah lebih dari seribu orang. Namun, bukan rahasia bahwa lulusan SMA Tim-Tim masih sulit bersaing jika harus menembus perguruan tinggi terbaik di Pulau Jawa. Di luar soal perguruan tinggi ini, Putra Tama tampaknya juga ditujukan untuk mendidik para putra terbaik Tim-Tim supaya lebih dekat dengan Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Sukardi, sang koordinator, "Tujuannya adalah untuk menciptakan kader yang mempunyai wawasan kebangsaan." Di sinilah terjadi sedikit kontroversi. Menurut Carrascalao, ada beberapa orang yang tak setuju dengan ide itu. "Mereka adalah orang yang tak menghendaki putra daerah Tim-Tim maju dan pintar," katanya. Tapi, Carrascalao tak menyebut identitas para penentang ini, yang hanya dilukiskannya sebagai orang Tim-Tim dari kelompok tertentu yang ingin berkuasa tapi tak mendapat kesempatan. Akibatnya, sekolah yang sedianya ia resmikan akhir November lalu itu hingga kini berjalan begitu saja tanpa upacara. Namun, ada juga yang menghubungkan kontroversi dan batalnya peresmian itu dengan keterlibatan siswa Putra Tama dalam demonstrasi 12 November lalu, yang akhirnya marak dan menelan korban sekitar 50 orang itu. Pada pukul 3 dini hari, sebelum peristiwa itu meletus, asrama Putra Tama sudah diributkan oleh dua siswa yang membuat aksi protes dengan mematikan lampu. Esoknya dua siswa tadi, Abrao dan Filomeno, menghilang. Carrascalao mengakui, dua siswa itu belakangan diketahui ikut dalam demonstrasi tersebut. Sekarang, setelah para murid dikembalikan ke sekolah masing-masing untuk mengikuti ujian akhir pekan lalu, muncul satu pertanyaan besar. Apakah sekolah elite ini bakal diteruskan, mengingat Carrascalao yang punya ide, tinggal tiga bulan lagi menduduki kursinya? Carrascalao sendiri menegaskan bahwa ia bakal meneruskan sekolah ini. "Soal pengganti saya memutuskan lain, itu urusan dia," tuturnya. Persoalan ini memang tak mudah diputuskan. Maklum, menanamkan rasa kebangsaan bukan soal mudah yang bisa dilakukan dua semester saja. Mungkin keluhan salah seorang siswa ini perlu disimak. Semua pelajaran lengkap diajarkan, termasuk pelajaran sejarah perjuangan bangsa, yakni versi terbaru dari sejarah Indonesia yang dicetuskan pada era Nugroho Notosusanto menjadi Menteri P dan K dulu. Namun, "pelajaran sejarah integrasi Tim-Tim tak diajarkan," kata siswa tadi. Jangan-jangan, inilah yang membuat anak sekolah di Tim-Tim tak merasa menjadi bagian dari Indonesia. Yopie Hidayat (Jakarta) dan Ruba'i Kadir (Dili)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini